Seperti meronta-ronta, disulut mengerang tanpa daya,dijilati entah sakit atau tidak aku yang merasakannya.
Musim berganti musim,
Bila musim kemarau tiba, itu pasti terjadi.
Bara itu ada pasti ada yang menyulut,
Hutan belantara, begitu orang menyebutku.
Banyak orang menyalahkanku ketika aku dibakar, disulut hingga menjadi bara.
Bara itu membakar kulit, tubuh, rambutku.
Menjalar menyebar diakar-akar perlahan hingga cepat menyebar tak rudu (tak tentu arah),
Apa salahku, Salah kah aku?. atau siapa yang salah?. Tanpa untuk saling menyalahkan.
Aku berdiri kokoh,banyak yang bilang aku sebagai penopang.
Tetapi mengapa aku ditebang, dikulit hingga disayat-sayat berubang.
Tak jarang aku dituduh sebagai penyebar penjalar bara, bahkan sesamaku petani lokal di tuduh penyulut. Apakah itu benar?.
Rasanya, para petani tak sanggup membuka dan menyulut beribu-ribu hektar lahan. Terkadang dan acap kali mereka (di/ter) tuduh biang dari semua ini. Lalu siapa?. Entahlah, tetapi yang pasti ada penyebab semua ini. Malu pada rumput bergoyang, semestinya begitu.
Aku hanya bertanya apa salahku, salahku apa?.
Mungkin, hanya bisa berkata; bagaimana bila aku tak ada?.
Mungkinkah aku bisa memayungi kalian sesamaku?.
Deretan pertanyaanku karena ini adanya aku kini, segala fakta bicara dalam tanda dan gambaran nyatanya.
Hanya ini yang menjadi pertanyaanku. Siapa yang boleh menjawabku?.
Menjelang senja menyapa di Ketapang, Kalbar, 8 Agustus 2016
Petrus Kanisius- Yayasan Palung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI