Waktu terus berjalan tak dapat ditunda- tunda, tak mirip seperti roda dan jam berputar mengitari sepanjang ia mampu berputar  dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Tengok realita peristiwa. Para pembesar saudagar, pejabat, penguasa, pengusaha berlomba-lomba meraih untung yang terkadang merampas rimbunnya rimba raya, menginjak-injak akar rumput hingga luluh layu.
Waktu memberi tanda, kapan saatnya memulai, kapan saatnya berhenti (pagi-siang-malam).
Pagi menyapa, memberi tanda untuk bersiap bergegas mencari rejeki dengan cucuran keringat bagi para pejuang tangguh dengan keikhlasan tanpa memperhitungkan besar kecilnya rejeki, namun tetap di syukuri. Atau pun tipu daya tak ubah seperti korupsi yang seolah sulit pergi di negeri ini oleh tikus-tikus berdasi.
Siang datang, mengisi kampung tengah tiba dengan bermacam-macam lauk pauk atau seadanya.
Waktu pula memberi tanda, tanda waktunya pulang menjelang senja menyapa atau larut malam tiba.
Mengais rejeki, demi anak bini, diri sendiri atau untuk semua, untuk berbagi.
Hari dan waktu tidak terasa berlalu bagi para pekerja. Waktu seolah lamban berputar bagi yang suka menunggu dan berkata nanti, waktu masih tersisa hingga tidak tersisa. Selalu tidak ada waktu bagi yang super sibuk.
Waktu malam untuk merebah sejenak, menghilang penat yang terkadang tak jarang menyayat.
Mimpi menjadi mimpi, mimpi menjadi nyata.
Mimpi tentang harapan,
Harapan demi mengisi waktu; Â damai bersama, damai bagi diri (berdamai bagi sesama, berdamai dengan diri sendiri) damai di bumi damai di hati.