Inginku mengadu, tetapi seperti apa caraku mengadu. Mengaduh pun aku tak sanggup, hanya meringis persis tersayat sembilu ketika tubuhku terpotong dan terbelah-belah.
Jerit tangis pun seakan tiada berguna, ketika tidak sedikit yang bersorak untuk mengelabuh menuai gaduh. Ketika riuh semakin serempak menyontak akar rumput menanti di gigit. Tepatnya mungkin, gigit jari ditanah tuan negeri sendiri, tanah moyang nenek datok, tanah pusaka, alam raya yang kini tak raya.
Yang hanya ada kini hanya; Bercermin pada cermin namun hanya berkaca tidak melaksana. Terlena pada kaya raya rimba raya hampir lupa pada masa.
Tua renta menyana, menggema!!!... Â
Mengapa dirundung duka?. Kapan tersenyum tertawa, seindah pelangi?.
Entahlah, sampai kapankah terus seperti ini. Rebah tak berdaya, dituduh biang bencana.
Bertutur, bercerita, mengadu, berselisih itu yang selalu tampak tanpa bayang-bayang ketika nasibku benar-benar tak seindah pelangi selepas hujan yang juga menjadi warna sekaligus payung bagi segenap penghuni bumi.
Hanya waktu, hanya berharap !!!...
Menanti,
Sangat dinanti,
Tetapi, hingga aku terkikis habis?.