Hujan turun membawa banjir bandang, bukan ikan bandeng.
Batuk terbatuk ketika jago memerah alias si jago merah menghampiri dan memusnahkanku.
Aku tidak berdaya, aku tidak punya kuasa. Dihiraukan? Atau tidak?. Setahuku, Kuasa sesungguhnya adalah Yang Maha Kuasa (Sang Pencipta), tetapi mengapa kini Sang Pencipta bisa dengan mudah diakali dan terus dikadali?
Dari pagi menjelang siang hingga senja menyapa, malam dan bertemu pagi lagi terus berganti roda dan kuku tajam menggilas dari akar hingga rambut, tidak pernah lelah. Mereka terlihat semakin tamak dan terus berlomba hingga kapan berujung berhenti juga usai.
Rebah tak berdaya, terpenjara di semak belukar dan tungku-tungku perapian.
Deru dari debu serbuk kian memadati dan menyatu tanpa ragu terlihat sehabis memotong, menggergaji, mengupas, membelah hingga mengiris-iris.
Berpesan, mendengar pesan untuk meminta, memohon, menilik, apa jadinya kini.
Dimana-mana orang selalu membicarakan laba.
Secuil yang menengok juga mengintip. Tak terhitung yang ingin mengemas dan menghitung pundi lupa memikir ketika dampak ibarat genderang tak jua kunjung usai. Itulah mungkin alasanku, nasibku tidak seindah pelangi.
Batang tunggul bersatu menyatu telah rebah setelah kemudian dicincang-cincang, dipotong hingga lapuk dimakan rayap-rayap hingga tidak berbekas dimana batang, dimana kulit, dimana ranting-ranting hingga entah dimana lagi rambutku.
Tumbuh yang biasanya tumbuh menjulang berjejer rapat dan rapi mendominasi, luasan tak banyak yang tahan berdiri. Akar menjalar serabut semakin tercabut berserakan terjuntai kering lapuk bersama air berlumpur terintip dibalik semak-semak, tak terkira letih mengira berapa lebih besar hingga berlipat-lipat lapangan sepak bola.