Mohon tunggu...
Pirlo Luron
Pirlo Luron Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi,Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka. Menulis Sampai Tuhan Panggil Pulang

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Gerakan Seribu Kebenaran

17 Januari 2025   10:08 Diperbarui: 17 Januari 2025   10:08 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada masa Soekarno (1959-1967) dan Soeharto (1967-1998) sifat elitis terus bertahan. Kedua pemimpin itu mampu membangun personalisasi politik yang menyebabkan keduanya memiliki pengaruh yang sangat besar. Saat ini, aktor-aktornya telah berubah, namun keadaan serupa masih berlangsung. Bedanya terletak pada letak para elit---tidak hanya politisi tetapi juga korporat pemilik modal yang jumlahnya lebih sedikit di masyarakat.

Kelompok elite adalah kelompok minoritas superior yang berada di puncak strata dan memiliki peran yang menentukan dalam proses pembuatan kebijakan. Sedangkan massa adalah mayoritas inferior yang posisi stratifikasi sosialnya berada di bawah, dan biasanya tidak memiliki banyak dana untuk berperan dan memengaruhi perumusan kebijakan yang dibuat para elite (Munafrizal Manan. 2005: 51).

Bagi Vilpredo Pareto, kelompok elite muncul karena mereka punya kapasitas personal alami yang lebih unggul dibandingkan dengan orang kebanyakan (massa). Pareto percaya dalam lingkungan masyarakat selalu ada orang yang lebih unggul. Secara implisit, bagi Pareto kehadiran kaum elite adalah bersifat kodrati. Berbeda dengan Gaetano Mosca, kelompok elite (the rulling class) dapat berkuasa tidak hanya karena memiliki kelebihan personal, tetapi juga karena relatif terorganisir dalam berpolitik, sehingga massa sulit melakukan perlawanan kepada para elite.

Saya lebih setuju pada pandangan Robert Michels. Ia berpendapat munculnya kelompok elite akibat struktur organisasi sosial modern yang mulai kompleks dan karena itu mulai membutuhkan pembagian kerja yang jelas (Munafrizal Manan. 2005: 52). Adanya pembagian kerja secara langsung berpengaruh pada orang-orang yang memiliki kompetensi untuk menduduki jabatan yang ada. Mereka dibutuhkan oleh organisasi, baik itu politik ataupun ekonomi, untuk memelihara kepentingan dan mencapai tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, mereka mempunyai kemampuan melestarikan posisi tersebut sehingga berada di puncak strata masyarakat.

Menurut Michels, para pemimpin, khusunya pemimpin politik, diyakini dapat menjawab keawaman pengetahuan massa dalam isu politik, memeroleh kepercayaan, membuat keputusan-keputusan penting yang berdampak luas dalam masyarakat. Dengan dalih semacam itulah mereka berusaha membohongi massa agar tidak ikut campur dalam proses politik.

Ada jalan keluar bagi kita untuk mengontrol perilaku kelompok elite, yaitu lewat gerakan massa. Dalam buku Gerakan Massa, Eric Hoffer mengidentifikasi gerakan massa sebagai gerakan yang dicirikan oleh: bangkitnya kerelaan para anggotanya untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, dimilikinya fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian, intoleransi, kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal. Tentu gerakan massa yang saya maksud bukan gerakan yang memiliki ciri tersebut.

Gerakan massa yang saya maksud memiliki ciri: kerelaan para anggotanya untuk bersama-sama bergerak berdasarkan rasionalitas, beraksi secara simultan dan terorganisir, memiliki antusiasme dan harapan berapi-api untuk menciptakan pemerintahan yang pro-rakyat, memiliki kesadaran kelas dan memiliki kebencian pada pemerintahan yang otoriter.

Gerakan massa dalam konteks ini tidak melulu diartikan sebagai demonstrasi, tetapi lebih menekankan kepekaan seluruh aspek rasionalitas masyarakat pada hakikat demokrasi yang bermuara pada rakyat. Massa sebagai kekuatan populis diibaratkan sebagai 'mata tuhan' untuk mengawasi kinerja para pemimpin. Partisipasi politik sebagai segenap aktivitas warga negara yang seutuhnya berfungsi untuk memengaruhi kebijakan agar benar-benar menguntungkan rakyat, bukan sebaliknya.

Jika gerakan massa sadar akan kemampuannya melakukan kontrol terhadap kinerja dan kebijakan negara, maka masa akan memiliki posisi tawar terhadap pemerintah. Ketika rakyat ikut berpatisipasi dalam proses politik, rakyat tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para elite. Dengan demikian akan terbentuk state dan civil society yang sama-sama kuat.

Dalam konteks inilah gerakan massa di berbagai belahan dunia kerap disebut parlemen jalanan, mengingat sifatnya yang menjadi penyeimbang kekuatan di luar parlemen. Tatkala gerakan massa dilembagakan (legal) dalam proses politik, maka ia menjadi sebuah institusi oposisi yang penting; institusi politik yang oposisi terhadap kinerja dan kebijakan negara yang tidak sejalan dengan nilai dan kepentingan masyarakat (R. Eep Saefulloh Fatah, 1994).

Kekuatan populis bisa memanfaatkan modernitas sebagai transformasi kultural untuk mencerdaskan rakyat, sehingga sumbatan partisipasi politik semakin terbuka. Dalam hal ini, keberanian massa akan semakin terasah untuk menunjukkan sikap politiknya yang enggan menghamba pada kepentingan kelompok elite. Meskipun kerapkali hal tersebut sangat tidak diinginkan oleh kelompok elite yang berkuasa, karena jika hal itu terjadi dikhawatirkan membahayakan status quo mereka. Tak heran jika banyak gerakan massa sering dikatakan "ada yang mendalangi", "yang menunggangi", "yang menggerakkan", dan sebagainya (Munafrizal Manan. 2005: 370).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun