Mohon tunggu...
Pirlo Luron
Pirlo Luron Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi,Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka. Menulis Sampai Tuhan Panggil Pulang

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Gerakan Seribu Kebenaran

17 Januari 2025   10:08 Diperbarui: 17 Januari 2025   10:08 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada masa pasca reformasi saat ini, apa yang telah kita dapat dari realitas politik kita? Jawaban yang kita peroleh pastilah beragam, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Bagi 'orang kanan', dengan bangga pasti menyebut bahwa liberalisasi politik saat ini sebagai sebuah prestasi yang membanggakan. Sebaliknya, 'orang kiri' barangkali menyebut bahwa perjuangan reformasi kita telah tersandera oleh pihak korporat menuju demokrasi elitis yang dikuasai oleh sebagian orang.

Politik dalam pasca reformasi sangat sulit dijelaskan secara riil bagaimana bentuk "wajahnya". Liberalisasi politik yang telah membuka kebebasan, meminjam istilah Habermas, public sphere secara luas adalah sesuatu yang memang tengah dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Misalnya, pers yang luar biasa bebas, mempelajari berbagai buku (akhir-akhir ini mulai dilarang) dari buku komunisme sampai Leninisme, atau mengkritik pemerintah lewat media sosial sudah jadi hal yang wajar.

Akhir-akhir ini sulit rasanya untuk menampik bahwa tuntutan reformasi total yang disuarakan mahasiswa beberapa tahun lalu, akan segara tersingkir dan menjadi momen heroisme belaka. Terlihat dari sedikitnya 'aksi massa' yang menyentuh angka ribuan oleh mahasiswa. Suara keras mahasiswa mulai meredup dari era pemerintahan Habibie dan Gus Dur, terdengar sayup-sayup pada era Megawati, timbul-tenggelam pada era SBY, dan pudar saat masa Jokowi.

Meminjam istilah Benedict Anderson (1983) yang ia gunakan untuk menjelaskan politik Indonesia era Orde Baru, "Old State and New Society"---begitulah kondisi politik di Indonesia. Meski aktor-aktor lama telah banyak berganti, tetapi karakter-karakternya masih tetap sama. Masyarakat kita juga telah berubah karena perkembangan teknologi, namun negara tetap saja menampilkan sosoknya yang elitis.

Politik elitis ditandai oleh dominasi elite politik dalam panggung politik Indonesia dan tersisihnya kekuatan populis (terutama mahasiswa) yang dulu menjadi garda terdepan menggulingkan Orde Baru yang otoritarian. Sejak turunnya Soeharto, pergeseran ini telah dimulai, dan bertahan hingga saat ini.

Betul memang jika mahasiswa dan para buruh masih melakukan perlawanan pada kekuatan elitis negara. Namun, secara umum daya desaknya sudah melemah dan tidak begitu berpengaruh terhadap proses politik di tingkat elite. Bagi saya, kekuatan populis (mahasiswa dan kaum proletar) sudah mulai terfragmentasi, menyusul raibnya common enemy, momentum, dan semangat militansi yang dulu menjadi semangat kebersamaan dalam berjuang. Kekuatan populis, khususnya mahasiswa kembali ke watak aslinya, yaitu sulit untuk diajak bersatu dan mudah berselisih pada hal yang kurang prinsipil.

Hal yang ironis terjadi akhir-akhir ini. Jika pada awal perjuangan kekuatan populis gigih memperjuangkan pemerintahan yang anti-otoritarian, namun saat ini, tanpa disadari mereka justru membuka pintu untuk tampilnya kekuasaan elitis baru. Posisi mereka dengan mudah direbut oleh para elitis. Elite politik dan para korporat lah yang menikmati hasilnya saat ini. Sementara kekuatan populis menjadi terasing sebagai ujung tombak reformasi.

Hal tersebut terjadi karena aktor-aktor prodemokrasi Indonesia lebih banyak berkutat pada diskusi tentang bagaimana meruntuhkan otoritarian suatu rezim, namun ide tetang bagaimana mewujudkan demokrasi jarang didiskusikan. Alhasil perjuangan menegakkan demokrasi hanya sebatas menumbangkan rezim, tetapi bukan membangun demokrasi yang stabil (Anders Uhlin, 1998: 217).

Celakanya saat ini, tumbangnya rezim otoritarian diartikan sebagai selesainya perjuangan oleh sebagian kekuatan populis. Memang penting untuk menumbangkan rezim otoritarian, tetapi jauh lebih penting bagaimana membentuk panggung politik yang benar-benar memihak pada kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya. Jika ditelaah lebih lanjut, keputusan Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 bagi saya adalah strategi politik bermata dua, yaitu tersingkirnya rezim otoritarian sekaligus tergerus dan terpecah-belah kekuatan populis.

Muncullah tesis bahwa kekuasaan otoritarian selalu diikuti oleh berdirinya kekuasaan yang elitis. Sebagai contoh ketika bangsa Indonesia berhasil lepas dari cengkeraman kolonial, yang lahir dari peran elite yang menonjol. Peranan massa hanya terjadi pada tahun 1955-1957, yaitu saat pemilihan umum anggota parlemen dan anggota Majelis Konstituante serta wakil daerah, selebihnya massa dibiarkan tidak terlibat dalam proses politik.

Herbert Feith (1962) dalam karyanya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menggambarkan kondisi politik Indonesia pada 1950-an yang bersifat elitis, sementara massa (rakyat) selalu berada di posisi pinggiran dan terkucilkan dari panggung politik. Menurut Feith, dalam periode itu terjadi pertarungan elite antara pihak administrator yang diwakili Hatta dan solidarity maker yang diwakili Soekarno. Peran administrator lebih menonjol ketika digunakan sistem parlementer, sedangkan solidarity maker relatif kecil. Namun peran administrator mulai menyusut ketika Soekarno dengan kekuatan militernya yang memberlakukan dekrit pada 5 Juli 1959 dan praktis mengakhiri sistem parlementer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun