Cantiknya parasmu menerangi keremangan malam yang menggulita, Â Dinginnya berselimut kabut menusuk pori-poriku yang mengeriput...
Nampak terngiang dirimu bersanding di pelaminan, bak Raja dan Ratu semalam....
Sontak jantungku berdebar hebat, menghayalkan kebahagiaan dirimu dalam balutan suci pernikahan bersama lelaki sepadan...
Sesekali buliran bening mengiringi tengadahku menatap gugusan bintang menghias malam yang mencekam....
Aku hanya mampu melihatmu berbahagia bersama sandaran hatimu....
Maklumlah, aku tak bisa menggenggam setitik kasih sayang darimu....
Kini semua berbeda, kata hatiku mengatakan, hatimu tak lagi terbuka untukku....
Aku mengiklaskan itu,
Aku tak bisa memaksa kehendakmu....
Sayangku padamu ketika melihatmu bahagia, cinta dan sayangku tak selalu mengekangmu....
Sekarang bukan jaman siti nurbaya yang dipaksa saudagar kaya raya seperti Datuk Maringgih.... Â
Di tahun politik ini, tidak lagi ada pengekangan, kamu bebas memilih idaman hatinurani.....
Duhai kekasihku....
Tidakkah engkau mendengar suara relung hati yang memanggil namamu....
Jujur saja, hingga kemerdekaan ke tujuh puluh delapan indonesia, diriku belum sepenuhnya merdeka, sebab diusia senja ini, diriku belum bisa melupakan elegannya parasmu....
Biarlah aku mengintip sedikit jendela hatimu itu, agar aku dapat menyelinap dan menyelami lagi kisah kita yang sudah usai tergerus usia.....
Sekuat apapun kita bertahan, jika bukan takdirnya tak baik hasilnya untuk dipaksakan.....
Mengikhlaskan untuk melepas, namun masih membekas, perih....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H