Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Peredaran Kartu BPJS Bodong Bagai Petir di Siang Bolong

27 Juli 2016   11:44 Diperbarui: 28 Juli 2016   07:36 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 (Ilus:http://www.indragiri.com)

Ketika Pemerintah dinilai lalai mendeteksi peredaran vaksin palsu mengelabui dunia medis. Keberadaannya mengancam imunitas pertumbuhan anak-anak. Keresahan masyarakat juga dipicu akibat “kurang” ketatnya pengawasan tentang pengadaan dan peredaran vaksin tersebut. Kok bisa, selama tiga belas tahun berhasil menina bobokan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kini zona nyaman itu mulai terusik, produsen vaksin palsu terindikasi tersebar ke berbagai Rumah Sakit di Jakarta dan Bekasi.

Sejauh ini baru empat belas Rumah Sakit di Kawasan Jakarta dan Bekasi yang kedapatan menggunakan vaksin palsu. Dari keterangan tersangka yang telah diamankan polisi. Mereka berlatarbelakang berbagai profesi mulai produsen, pengepul limbah medis, distributor, penjual, bidan, hingga berbagai profesi dokter terlibat didalamnya.  

Belum reda berita peredaran vaksinasi palsu, ditemukan peredaran kartu BPJS palsu. Besarnya potensi mengeruk keuntungan dari sektor kesehatan memicu pelbagai perbuatan kotor yang menyasar lingkungan tersebut. Setelah kasus peredaran vaksin palsu bermunculan uang palsu, data palsu, identitas palsu, kuburan fiktif mengepung negeri ini. Peredaran kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Kesehatan akrab disapa (BPJS) kesehatan bodong di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat bagaikan petir di siang bolong sangat meresahkan. Dilansir berbagai berita tindakan pemalsuan kartu BPJS merupakan indikasi keteledoran pihak BPJS. Kepalsuan terungkap setelah pemegang kartu jaminan kesehatan, Budiyanto (36) merupakan warga padalarang ditolak sebuah Rumah Sakit (RSUD) Cibabat, kota Cimahi.

Padahal pembuatan kartu tersebut dilakukan secara kolektif melalui oknum sukarelawan kesehatan yang tidak bertanggung jawab. Ketertarikan warga membuat kartu BPJS secara massal, karena mendapat iming-iming premi murah, hanya dikenai Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) per orang sekali bayar berlaku selama dua tahun, kendala terjadi saat akan digunakan kartu BPJS tersebut tidak terbaca database BPJS. Kata ketua RT setempat Ade “adalah program subsidi dari Dompet Dhuafa bagi warga miskin, tega sekali oknum tadi menilep hak kaum miskin, dimana hatinuraninya gelap mata terbuai keuntungan sepihak.

Masih dari katerangan Ketua RT “uang pendaftaran dikumpulkan dulu di bendahara desa. Setiap RW rata-rata mendaftarkan 10 orang. Di desa Kertajaya semuanya ada 23 RW berarti ada 230 orang warga yang terindikasi memegang akrtu BPJS palsu,” kata Ade.

Padahal menurut pengakuan para korban rutin membayar premi tiap bulannya sebesar Rp 49.500 kepada orang tersebut. Penipuan Berkedok Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan banyak dikeluhkan berbagai pihak, hal ini perlu di waspadai calon peserta jaminan kesehatan, dimana banyak “calo” bahkan tidak menutup kemungkinan oknum BPJS ikut bermain didalamnya menyalahgunakan layanan BPJS untuk mengambil keuntungan pribadi. Pihak polisi tentu tidak tinggal diam akan melakukan investigasi atas laporan dari warga cimahi dan sekitarnya.

Sedangkan pasien terkunci dalam lingkaran medis yang berprinsip kapitalisme hanya seperti konsumen. Dijajah oleh iklan yang menghembuskan “angin surga” keprcayaan kalau hendak sehat harus minum beberapa resep obat atau suplemen makanan tertentu, sedangkan daya beli masyarakat terbilang rendah.

Undang-undang mengenai Jaminan Sosial/Kesehatan memang telah disahkan melalui perdebatan yang alot alias meeting only not action, tetapi baru berjalan setengah hati. Pemalsuan kartu BPJS Kesehatan yang menimpa warga Desa Kertajaya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) merupakan tamparan telak, kenapa hal konyol seperti ini marak di Indonesia. Tentu masyarakat kecil menjadi korbannya, modus pemalsuan seperti ini mustahil bergerak sendiri, pasti ada aktor intelektual bermain dibelakang “panggung” jelas sudah terencana, tertata secara terstruktur, masif dan sistematis.

Dikatakan menyeluruh, belum semua merasakan “kenyamanan” karena memang tidak ada yang bisa menjamin akan benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah pada waktu itu, karena sosialisasi peraturan pelaksanaannya hingga sekarang masih kabur-kaburan. Terlalu premature jika pemerintah berani mengaku “berhasil” melakukan pembenahan sektor jaminan kesehatan menjadi jaminan mutu di tengah kepungan koruptor kakap. Masih banyak pekerjaan rumah berbagai pihak yang memonopoli lahirnya jaminan sosial dan kesehatan harus diselesaikan untuk menjamin sistem jaminan sosial ini sampai kepada masyarakat yang berhak menerimanya tanpa ada unsur “pencitraan.” Kedepannya diharapkan sistem kesehatan di Indonesia akan berjalan lebih efektif dan efisien.

Keberadaan BPJS memang untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah/user bukan hanya obral-obrol di kantor sembari menanti user datang, masak para pencari “kesehatan” dibebani pontang-panting sendiri, hingga akhirnya ketika jatuh sakit masih dijumpai perlakuan diskriminatif dari Rumah Sakit, bisa-bisa pasien sekarat duluan tidak ada penanganan baiknya.

Demi meminimalisisr tindakan serupa, melalui tulisan ini justru saya berani “menantang” Pertama, petugas BPJS terjun langsung ke masyarakat, bisa melalui kecamatan, kelurahan, RW hingga RT karena perangkat desa inilah yang mengetahui seluk-beluk warganya.

Kedua, jika dalam jangka waktu satu tahun tidak ada klaim dari peserta jaminan sosial dan kesehatan, pihak BPJS mau memberi kompensasi kepada peserta kartu jaminan sosial dan kesehatan, tanpa pilih kasih.

Ketiga, karena peserta jaminan sosial kesehatan setiap bulannya selalu membayar premi, jadi sebagai rasa tanggung jawab pihak BPJS kepada nasabah/user, perlakukan hubungan simbiosis mutualisme sama-sama tidak merugikan.

Apakah harga yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada peserta layanan kesehatan sama seperti harga yang berlaku umum?, warga yang membayar iuran BPJS berhak tahu. Saya rasa hak warga untuk mengetahui bagaimana dana yang terhimpun itu digunakan untuk membayar layanan kesehatan. Sebab, perlakuan dokter, perawat, dan petugas rumah sakit kepada pasien BPJS itu ditentukan oleh bagaimana pembayaran dilakukan. Kalau harga terlalu rendah, bagaimana mendapat pelayanan yang sama dengan pasien umum dan asuransi swasta?

Entah darimana urusan kesehatan dan kecerdasan anak bangsa terus begini. Faktanya asuransi jaminan kesehatan dan Jaminan sosial yang diperuntukkan bagi rakyat, kini hanya menjadi ladang simulasi bagi para kapitalisasi produksi untuk memperbanyak modal mereka.

Mahalnya kesehatan tidak dibarengi dengan kemudahan masyarakat atau pasien untuk mendapatkan kartu jaminan kesehatan dari pemerintahnya agar bisa dilayani secara manusiawi di Rumah Sakit. Akibatnya peserta menanggung sendiri kekuarangan iuran sesuai kelas yang diambil dan terpaksa menunggu dan tidak mendapat kamar.

***

Saya terkadang merinding ketika membaca artikel tentang bagaimana proses administrasi yang berbelit dan bertele-tele pelayanan pengguna jasa layanan kesehatan hingga terkadang membuat pasien menghembuskan nafas terakhir sebelum sempat mendapatkan perawatan intensif (rumah sakit). Pelayanan Rumah Sakit di Indonesia khususnya Rumah Sakit “milik” Pemerintah selalu saja menemui “polemik classik” lazim ditemui dan memang sudah sepatutnya dikritisi. Tidak seluruhnya buruk tapi sering kali kita menerima keluhan dari pasien.  

Melihat kondisi urgent seperti ini harusnya segera mendapatkan perawatan darurat dulu tanpa ditanyakan urusan administrasi yang menyita waktu dan tenaga. Penghambat terbesar pasien mendapatkan perawatan, adalah mencari rujukan dari Puskesmas, kemudian surat rujukan diberikan ke Rumah Sakit, bukankah ini sama saja membunuh secara perlahan. Bukankah jaminan kesehatan bagi warga masyarakat untuk dapat pengobatan gratis di Negeri kita yang kaya raya ini, sampai saat ini belum sepenuhnya dapat di nikamti, buktinya keikut sertaan anggota jaminan kesehatan/BPJS masih dibebani pelayanan yang melelahkan, tolong yang bagi pihak yang berkompeten turun tangan mengurusi hal tersebut, jangan sampai aksi pemalsuan kartu BPJS kembali terulang.

Sistem kesehatan yang tidak adil dan diskriminatif, orang miskinlah aktor utama korban dari sistem kesehatan yang diktator ini. Hanya orang-orang kaya saja berhak mendapatkan fasilitas VIP, sedangkan kaum marjinal hanya mendapatkan fasilitas dan layanan bangsal kelas melati berbaur “limbah medis.” Sumberdaya dokter di indonesia tidak mengurangi animo selebriti/pejabat publik berobat ke negara tetangga demi memenuhi kebutuhan kenyamanan paramedis dalam melayani pasien berduit, perilaku seperti ini seringkali aspek kemiskinan selalu dikambing hitamkan.

Sejalan dengan semakin menurunnya kualitas kesehatan, perilaku manusia cenderung kalap terhadap budaya konsumtif egosentris memperkaya diri, tidak ada salahnya memperkaya diri selama harta yang diperoleh secara benar tidak menyakiti hati orang lain, selama ini belum ada cerminan masyarakat untuk berprilaku peduli terhadap sesama.

Sudah saatnya bagi BPJS Sebagai badan yang menjamin jaminan sosial bagi masyarakat Indonesia ikut andil dalam hal ini. Jika nanti diketahui banyak pasien BPJS yang mendapatkan BPJS palsu apakah lantas BPJS akan melemparkan tanggung jawabnya ke warga yang minim informasi mengenai posko pengaduan BPJS. Namun dari sisi peserta asuransi, maka yang pertama akan disalahkan pasien tentu saja ialah BPJS, karena masyarakatkan membayar asuransi kesehatan mereka ke BPJS. Harus ada sistem yang lebih ketat untuk menjamin masyarakat mendapatkan layanan BPJS sesungguhnya. Jika hanya mengandalkan pengecekan nomor registrasi ke website BPJS serta kondisi fisik kartu saya rasa itu masih sangat kurang.

Bukankah pihak penjamin kesehatan sudah mengantisipasi hal ini dengan memberikan nomor registrasi yang terdaftar pada server BPJS pusat, serta kondisi fisik kartu yang sangat mirip dengan aslinya. Jika uang palsu saja susah dibedakan bagaimana dengan kartu BPJS bahkan vaksin, yang kebanyakan orang tidak mengerti. Pemberdayaan masyarakat untuk tahu informasi seperti in sangat diperlukan. Agar masyarakat menjadi berdaya dan mampu untuk membedakannya sendiri. BPJS dapat saja memberikan iklan tentang cara membedakan palsu dengan asli ke masyarakat. Jangan sampai sudah banyak kasus baru kembali muncul karena itu adalah kebiasaan lembaga Pemerintah kita. Sepertinya citra program pemerintah itu adalah “gratisan dan jangan terlalu banyak berharap menuntut karena itu pemberian dan berterimakasihlah.” Inilah konsepsi yang keliru tentang pemerintah. Seolah pemerintah itu dermawan bila menyelenggarakan program. Padahal itu adalah tugas dan kewajibannya.

Aparatur Sipil Negara (ASN) digaji memang untuk bekerja meningkatkan pelayanan publik. Dana program sebagian besar berasal dari pajak dan retribusi masyarakat. Sebagian dari pendapatan yang dihasilkan oleh usaha-usaha pemerintah lain. Hutang-hutang luar negeri pemerintah pun sama saja membebani rakyat Indonesia. Kok, Pemerintah punya keterbatasan dana karena pajak yang dibayarkan masyarakat tidak seimbang dengan kebutuhan anggaran program. Atau karena terlalu banyak dikorup?.

Karena itu Program BPJS Kesehatan yang digelontorkan pemerintah pun masih menarik pungutan dari masyarakat. ini seperti masyarakat bergotong-royong mengumpulkan dana untuk membiayai orang yang sakit. Jadi, ketika ada yang sakit dan harus berobat, itu bukanlah gratis.

Tapi, apakah betul dengan kartu BPJS Kesehatan kita sudah memperoleh jaminan kesehatan? Setiap kali ke rumah sakit, akan selalu ditanya di loket “Umum atau BPJS?” Kalau menjawab BPJS, maka loket akan berbeda. Baik untuk mendaftar, membayar, bahkan mengambil obat di apotik pun dibedakan antara “umum” dan “BPJS.”

Sedangkan pasien BPJS atau seluruh program pemerintah dianggap pasien gratis. Di antara pasien gratis, lebih dihargai pemilik kartu BPJS. Meskipun sebenarnya pemilik kartu Askes sekarang menjadi BPJS juga. Saat anak lelaki ke tiga saya di opname belum pernah menggunakan kartu BPJS karena belum mengurusnya. Tapi saya biasa melihat bagaimana orang lain menggunakannya di rumah sakit.

Rupanya masih banyak masyarakat yang belum mengerti apa itu BPJS Kesehatan. Apa hak dan kewajiban mereka. Kurangnya sosialisasi seluk beluk BPJS merupakan hambatan terbesar masyarakat agar bisa memahami rambu-rambunya. Sekali lagi, meski di palsukan kartu BPJS itu bukan gratis, sebagai warga negara yang baik membayar iuran BPJS Kesehatan bagi Pegawai Negeri melalui potong gaji, masyarakat melalui cara bergotong-royong iuran setiap bulan, setiap orang, dalam keluarga. Paradoks ini mempertegas bahwa “orang miskin dilarang sakit” merupakan budaya turun temurun dengan cara yang berbeda.

Dari kasus kartu BPJS palsu ini, ada pelajaran berharga. Bahwa biangkerok kemunculan penyakit bukan semata perilaku manusia dan keturunannya, melainkan kebijakan penguasa.

Makassar, 27 Juli 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun