Demi meminimalisisr tindakan serupa, melalui tulisan ini justru saya berani “menantang” Pertama, petugas BPJS terjun langsung ke masyarakat, bisa melalui kecamatan, kelurahan, RW hingga RT karena perangkat desa inilah yang mengetahui seluk-beluk warganya.
Kedua, jika dalam jangka waktu satu tahun tidak ada klaim dari peserta jaminan sosial dan kesehatan, pihak BPJS mau memberi kompensasi kepada peserta kartu jaminan sosial dan kesehatan, tanpa pilih kasih.
Ketiga, karena peserta jaminan sosial kesehatan setiap bulannya selalu membayar premi, jadi sebagai rasa tanggung jawab pihak BPJS kepada nasabah/user, perlakukan hubungan simbiosis mutualisme sama-sama tidak merugikan.
Apakah harga yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada peserta layanan kesehatan sama seperti harga yang berlaku umum?, warga yang membayar iuran BPJS berhak tahu. Saya rasa hak warga untuk mengetahui bagaimana dana yang terhimpun itu digunakan untuk membayar layanan kesehatan. Sebab, perlakuan dokter, perawat, dan petugas rumah sakit kepada pasien BPJS itu ditentukan oleh bagaimana pembayaran dilakukan. Kalau harga terlalu rendah, bagaimana mendapat pelayanan yang sama dengan pasien umum dan asuransi swasta?
Entah darimana urusan kesehatan dan kecerdasan anak bangsa terus begini. Faktanya asuransi jaminan kesehatan dan Jaminan sosial yang diperuntukkan bagi rakyat, kini hanya menjadi ladang simulasi bagi para kapitalisasi produksi untuk memperbanyak modal mereka.
Mahalnya kesehatan tidak dibarengi dengan kemudahan masyarakat atau pasien untuk mendapatkan kartu jaminan kesehatan dari pemerintahnya agar bisa dilayani secara manusiawi di Rumah Sakit. Akibatnya peserta menanggung sendiri kekuarangan iuran sesuai kelas yang diambil dan terpaksa menunggu dan tidak mendapat kamar.
***
Saya terkadang merinding ketika membaca artikel tentang bagaimana proses administrasi yang berbelit dan bertele-tele pelayanan pengguna jasa layanan kesehatan hingga terkadang membuat pasien menghembuskan nafas terakhir sebelum sempat mendapatkan perawatan intensif (rumah sakit). Pelayanan Rumah Sakit di Indonesia khususnya Rumah Sakit “milik” Pemerintah selalu saja menemui “polemik classik” lazim ditemui dan memang sudah sepatutnya dikritisi. Tidak seluruhnya buruk tapi sering kali kita menerima keluhan dari pasien.
Melihat kondisi urgent seperti ini harusnya segera mendapatkan perawatan darurat dulu tanpa ditanyakan urusan administrasi yang menyita waktu dan tenaga. Penghambat terbesar pasien mendapatkan perawatan, adalah mencari rujukan dari Puskesmas, kemudian surat rujukan diberikan ke Rumah Sakit, bukankah ini sama saja membunuh secara perlahan. Bukankah jaminan kesehatan bagi warga masyarakat untuk dapat pengobatan gratis di Negeri kita yang kaya raya ini, sampai saat ini belum sepenuhnya dapat di nikamti, buktinya keikut sertaan anggota jaminan kesehatan/BPJS masih dibebani pelayanan yang melelahkan, tolong yang bagi pihak yang berkompeten turun tangan mengurusi hal tersebut, jangan sampai aksi pemalsuan kartu BPJS kembali terulang.
Sistem kesehatan yang tidak adil dan diskriminatif, orang miskinlah aktor utama korban dari sistem kesehatan yang diktator ini. Hanya orang-orang kaya saja berhak mendapatkan fasilitas VIP, sedangkan kaum marjinal hanya mendapatkan fasilitas dan layanan bangsal kelas melati berbaur “limbah medis.” Sumberdaya dokter di indonesia tidak mengurangi animo selebriti/pejabat publik berobat ke negara tetangga demi memenuhi kebutuhan kenyamanan paramedis dalam melayani pasien berduit, perilaku seperti ini seringkali aspek kemiskinan selalu dikambing hitamkan.
Sejalan dengan semakin menurunnya kualitas kesehatan, perilaku manusia cenderung kalap terhadap budaya konsumtif egosentris memperkaya diri, tidak ada salahnya memperkaya diri selama harta yang diperoleh secara benar tidak menyakiti hati orang lain, selama ini belum ada cerminan masyarakat untuk berprilaku peduli terhadap sesama.