Tahun kemarin tepatnya 14 februari 2021, kami "kelompok milenial" menyepakati untuk merayakan Valentine Day bersama. Cerita menjadi miris ketika yang lain absen untuk merajut kisah kebersamaan itu. Mereka enggan terlibat. Mereka terpisah. Jauh dan tak ada kabar dan alasan.Â
Entah apa yang melatarinya, kami tidak tahu. Namun yang pasti ketiadaan mereka jelas mengiris sanubari. sakit. Seperti kebersamaan yang harus terpecah. Kami tentu tak rela. Ketidak-relaan itu terungkap dalam wajah, suasan dan kata batin kami.
Semua gejolak rasa itu terungkap dalam bait-bait berikut dan divisualisasikan dalam suatu video diakhir untaian penuh isakan ini.
*****
cerita..,
Dalam baris dan hitungan cinta, kami mungkin insan yang paling tak beruntung dalam merayakan hari persabatan ini.
Kami terlalu malang yang absen dalam glamour, gebyar lagi gegap gempita Valentine Day malam ini.
Betapa tidak, kami hadir dan berteduh dibawah gubuh beratap miring dan nyaris tak terlihat karena disembunyikan malam.
Parahnya lagi, disini kami hanya temukan wajah kusam yang kecewa oleh kesepian.
Kami hanya berpijak kaki pada lantai kasar seirama nada rasa yang tak karuan.
Kami hanya mendengar nyanyian senduh yang selalu memaksa kami tuk berbalik pada kesakitan kemarin.
Luka kami pun semakin menganga, parah bahkan deruhnya mewarnai keharusan bahagia hari ini.
Kami hanya berkaroke, bertik-tok, sekedar mengelabui situasi kesenduhan yang berdiam di penghujung nubari. Ini dingin dan semakin keram.
Kami bers-selfie untuk menyembunyikan kekakuan wajah-wajah kering ini.
Kami hanya bernyanyi tetapi bukan penyanyi otentik yang menunjukkan kebolehannya.
Bodohnya lagi suara kami harus didengar begitu nyaring oleh penjaga malam.
Bodohnya suara kami harus mengusik kenyaman hati dan telinga pertiwi sehingga orang menyebut kami orang yang haus dengan bahagia.
Kami harus makan dari piring plastik kehampaan dan mimun dari gelas kekecewaan yang tak berbentuk.
Bodohnya karena ekspresi kekeraman ini harus diungkapkan. Kepalsuan ini harus digemakan.
Mengapa?
Namun itulah cerita tentang kebersamaan yang terlihat pupus dalam polesan ketakpastian. Mungkin terlihat dan terdengar demikian.
Mungkin kami ibarat orang-orang "gila" yang sedang menyalakan pelita di siang hari. Berharap akbar dengan kepastian tak tentu.
Namun kami punya sumbu walau begitu kecil tak berarti dengan terang bahagia di malam ini. Tetapi kami harus menjaga sumbu ini tuk tetap bernyala.
Bahkan harus tetap bernyala dalam gelap maupun terang.
Sebab 1 atau 2 tangan tak pernah cukup jemarinya untuk menutupi nyala pelita ketika badai angin menerpa.
Kami juga harus menjaga air tetap berpadu minyak ini.
Tetap bersama dalam kesatuan namun tak sama.
Kami tetap berbeda dalam kebersamaan.
Perbedaanlah yang akan terus membiarkan "sumbu terapung" ini tak redup oleh kedinginan malam.
Dengan perbedaan, kami menghisai cerita yang tak pernah mendua.
Cerita, Aku "ALL", tak pernah kehilangan lagi kekurangan dalam kebersamaam.
Aku "Ferdy" melihat kenyataan secara berbeda tak sama seperti kebanyakan orang.
 Aku "Florida" tak ada yang lebih tapi berjuang tuk membagi satu titik kekurangan dengan ketulusan iklas.
Aku "Wita", ternyata kekosongan bukan akhir tetapi jalan untuk menemukan terang.
Aku "Grace", tentang angka 2022, ibarat hidup adalah tentang kegenapan "2", lingkaran "0" yang mengajarkan bahwa kesabaran tak punya akhir dan tak pernah bertamu dalam angka keganjilan.
Aku "Yoris" mungkin ini kegilaan, memaksakan sumbu harus menyala di kesiangan tetapi ini bukan soal terang yang mengkerdilkan nyala sumbu ini tetapi "protes" tentang gemahan rasa yang tak bertepi lagi tak bersandar pada palungan yang tepat.
Aku "Hergi", seperti kelemahan harus membuka cerita kegelisahan, tetapi kesediaan tuk merendah seperti seorang penderita/penyakitan yang sujud pasrah dibawah kaki Sang Tabib.
Aku "Jo" aku tidak harus selalu ada yang tukmu, kelurgaku, pacarku, orang tercintaku sebab jiwaku untuk semua.
Cerita,...
Sebenarnya, "Kami hanya penjaga sumbu".
Bukan suatu kesalahan untuk merawat nadi kebersamaan ini erat terpadu untuk terus menyala.
"Kami hanya penjaga sumbu" walau kelihatannya terus terapung dipermukaan karena mustahil pelita diletakan dibawah tempat tidur padalah terangnya harus bercahaya diseluruh ruangan.
"Kami hanya penjaga sumbu" yang harus terus berharap akan kepastian hari esok. "Kami hanya penjaga sumbu" yang senantiasa bersuara dalam diam tanpa kata. "Kami hanya penjaga sumbu" yang mengikat persahabatan dengan binar dan bercak cahaya.
Itu mungkin fatamorgana namun kami bercahaya.
"Kami hanya penjaga sumbu" yang tak pernah takluk dalam terpaan angin dan gelora gelombang. "Kami hanya penjaga sumbu" yang takkan redup dibawah hawa sejuk kepalsuan. "Kami hanya penjaga sumbu" yang bukan hanya mengumbar janji atau terpaku dalam keisengan cerita tapi komitmen konkret.
Inilah sumbu kebersamaan. Sumbu persahabatan. Sumbu kasih.
Sebab perkara sumbu bukan soal perkara "satu benang" tetapi ikatan terpadu rukun dan erat dari "sekian benang" untuk melahirkan satu nyala terang bagi diri dan yang lain.
Sumbu itu adalah kami.
Walau dalam perjalanan yang terlihat keruh oleh serpihan bara yang terendam mati menghitam dalam cerita hidup namun takkan membelokan gerak batin menuju cita-cita.
Dengan kelam itu mendidik kami itu untuk merasa bahwa hitam bukan noda tetapi batu loncatan yang memurnikan perjuangan, harapan lagi cita-cita.
Akhirnya,Valentine Day adalah perkara persahabatan. Suatu perayaan kebersamaan. Thomas Aquinas berujar, persahabatan adalah hal yang paling berharga yang melebihi apapun di dunia ini. Beginilah kata-kata tiap kami tentang Valentine Day: "aku mencintai kamu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H