Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

JNE, Solusi Humanis Melukis Bahagia

31 Desember 2020   20:32 Diperbarui: 28 April 2021   11:53 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman mengajarkan bahwa kehidupan ibarat sebuah buku. Buku itu tergores aneka peristiwa dengan pola yang unik baik dalam nuansa ketakjuban maupun menakutkan sekaligus menghadiahkan rasa kebahagiaan maupun kesakitan.

Entah sampai kapanpun, walau panorama hidup terus dikisahkan, nostalgia jejak terpijak senatiasa dimaknai dan selubung peziarahan dibuka secara terus-menerus namun buku coretan itu tak akan pernah penuh apalagi rampung.

Perampungan hidup bukan soal penyelesaian agenda parsialitas namun keutuhan tugas sebagai proyek yang digeluti tak mengenal batas. Karena tak mengenal batas maka tugas itu menuntut kesegeraan dan ketepatan dalam penuntasannya.

Sebagai proyek, hidup tak pernah terbilang dalam angka matematis yang menyediakan rumusan kalkulasi yang tepat. Namun hidup tersamar sebagai bayangan yang harus dicermati secara saksama bermodalkan kemampuan dan nasib.

Walaupun orang mengatakan bahwa catatan terpurba dan terus terpelihara adalah catatan yang merangkum jejak kehidupan tetapi hidup masih tetap sebuah buku terbuka. Hidup masih tetap dalam pertanyaan mengharuskan kita untuk terus menjawab, menulis, memaknai dengan segera.

Pertanyaannya, dimanakah persoalan hidup yang menjadi pertanyaan terbuka yang harus dijawab, ditulis dan dimaknai sekarang?

Rokatenda dan Pandemi sebagai catatan Luka Terbuka

Bagi manusia sejagat, salah satu lembaran dengan catatan tebal jelas tergores tentang bagaimana kengerian Pandemi Covid-19 di tahun 2020 yang mencungkir balik normalitas kehidupan kita.

Perkara normalitas merupakan batas kebiasaan dalam segala aspek hidup. Dalam batas kebiasaan ini pun, sebagian besar orang hidup terendap dibawah patokan hidup semestinya karena persoalan yang mendahului maupun yang hadir berbarengan dengan pandemi ini.

Jauh sebelum pandemi covid-19, ada sekian banyak persoalan yang mengguyur anak-anak bangsa hingga ini. Sesuai dengan maksud tulisan ini, saya ingin menandaskan bahwa catatan tebal-hitam menyakitkan itu telah tergores dalam sejarah kehidupan orang-orang Palue ketika Gunung Rokatenda meletus tahun 2012 silam.

Bahkan jauh sebelum itu, kecukupan untuk hidup sederhana saja sulit untuk dipenuhi masyarakat Palue. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala seperti geografis, keterbatasan akses baik darat dan laut di tambah lagi sumber daya manusia yang lemah semakin memperparah dan mencekram kehidupan mereka.

Amukan Rokatenda memkasa mereka harus mengungsi. Konsekuensi dari mengungsi (berpindah) bukan saja soal merelakan kerenggangan atas kekerabatan budaya yang menjadi nadi persuadaraan tetapi juga perkara melepaskan rumah, alat tenun, ternak, kebun yang merupakan jantung ekonomi bagi mereka.

Padahal masyarakat Palue rata-rata mencari keberuntungan hidup melalui usaha-usaha ini dan selebihnya terpaksa harus pergi merantau untuk mengadu nasib di negeri seberang demi memperbaiki kondisi hidup mereka yakni membangun rumah dan merubah keterbelakangan dengan menyekolahkan anak-anak mereka.

Kondisi rumah-rumah pengungsi Rokatenda di Hewuli, kecamatan Alok Barat, Maumere (dokpri)
Kondisi rumah-rumah pengungsi Rokatenda di Hewuli, kecamatan Alok Barat, Maumere (dokpri)
Seperti jatuh tertimpah tangga itulah kebringasan tahun 2020 bagi warga Palue. Soal kemelaratan karena Rokatenda belum tuntas terjawab kini gejolak pandemi kembali mengeropos sendi-sendi pertahanan hidup mereka. Sadisnya lagi mereka harus mengalaminya di tanah pengungsian.

Secara sosial, konteks penanjakan taraf hidup akan terhambat bila setiap segmennya berjalan tidak harmonis. Gejala ketidakharmonisan itu dipengaruhi oleh perubahan dengan intesitas yang tertentu. Perubahan yang signifikan menggerus kemapanan dan memporak-porandakan agenda kehidupan yang telah dibentangkan.  

Coba kita bayangkan, bagi orang kebanyakan perubahan untuk kemajuan manusia saja selalu terendus berbagai pertentangan bahkan ditolak. Apalagi gejolak Rokatenda yang mendekap orang-orang Palue di wilayah pengungsian. Kemudian digempuri gelombang virus corona yang mematikan saat ini.

Bagaimana menderitanya orang-orang Palue yang mau tidak mau harus menerima musibah-musibah ini. Apa lagi kedua bencana ini secara langsung menggiring ke permukaan sisi negatif yang begitu tajam bagi kehidupan mereka yang memastikan pengadaptasian yang tepat. Miris lagi sakit bukan!

Narasi JNE sebagai Penyambung Harapan Bahagia

Kita sanggup melukis neraka dengan teratur dengan fakta dunia yang diamati. Namun kita dalam kesulitan besar untuk melukis surga dan kebahagiaan karena dunia kita sangat minim menawarkan bahan-bahan untuk itu. (Dante)

Sepenggal kalimat Dante dalam tulisannya "Divina Comedia" sebagaimana dikutib diatas terbaca dan terasa pesimistis. Seolah-olah dunia ini hanya sebagai panggung yang dihiasi dengan berbagai keburukan yang minim kebaikan.       

Menurut saya ungkapan Dante sebenarnya menggugat soal egoisme akut yang berkemah nyaman dalam diri kita. Egoisme itu akar. Suatu akar yang akan memberi cabang dan buah-buah busuk yang tak layak disajikan dan dinikmati publik.

Jika dunia ini dibangun berdasarkan tendensi, motivasi dan karakter egoisme maka litani merdu Dante harus diafirmasi dan catatan hitam penderitaan mendapat tempat dalam agenda harian kita.

Tentu itu bukan keinginan kita sebagai manusia. Jalan kita adalah  menyambung kemanusiaan. Berawal dari kesadaran diri untuk berbagi dan bersolider dalam upaya menyulam kebahagiaan untuk semua.

Karena kebahagiaan itu abstrak dan bisa ditelusuri dari berbagai aspek maka sebaiknya kita konkretkan dalam narasi sehingga lebih mudah dipahami dan dimaknai dalam hidup harian kita.

Untuk berlibur dimasa yang penuh kejanggalan dan ketidakpastian ini bukanlah perkara mudah. Hal ini saya alami. Walau saya sudah memenuhi aturan kesehatan yang berlaku di masa pendemi namun perasaan takut dan cemas tetap saja menggandrungi batin.

Tetapi karena rasa penasaran yang kian dalam saya memberanikan diri untuk berlibur bersama keluarga di Maumere dalam tahun 2020 ini. Saya ingin selain melepas dahaga kerinduan tetapi juga melihat dengan mata kepala sendiri kondisi hidup mereka.

Saya ingin melihat seberapa mampu mereka berdiri dan bertahan hidup di tempat pengungisan akibat meletusnya Rokatenda sejak beberapa tahun lalu dan kini tertimpa pandemi virus corona.

Saya berhasrat bahwa kalau memang disana bergelimang bahagia saya ingin senyum, kalau disana dicekam penderitaan saya ingin ikut menangis, kalau ada suara seruan minta tolong yang tak nyaring terdengar saya ingin mengeraskanya.

Saya ingat betul saat itu, kala duduk sambil bercerita menikmati kopi pagi di rumah, datanglah seorang ibu tua menghampiri sambil memeluk beberapa helai sarung hasil tenunannya. Tanpa basa-basi ibu itu menyapa kami dan langsung mengutarakan maksudnya.

Dengan nada yang kelu, kata ibu itu; adikmu (anaknya) harus membayar uang kuliah semester ini. Sambil menunjukan sarung-sarung itu, ibu itu melanjutkan bahwa ia belum bisa membayarnya karena sarung-sarung itu belum laku.

Sakit rasanya mendengar keluhan ibu itu. Namun saya tetap membuat situasi menjadi lebih ceria dengan guyonan-guyonan kecil. Melihat mereka tertawa, saya berpikir keras bagaimana menjual sarung-sarung ini.

Sarung-sarung yang akan dikirim (dopri)
Sarung-sarung yang akan dikirim (dopri)
Kemudian saya mencoba menghubungi kenalan di Jakarta dimana menurut saya mereka dapat membantu. Saya menceritakan semua kondisi apa adanya. Pertama-tama, kenalan itu meminta foto sarung-sarung itu dan setelah melihatnya ia bersedia membeli semua sarung itu.

Sebelum menutup telefon, kenalan menyarankan agar sarung-sarung itu dikirim lewat JNE. Katanya, ia sudah sejak dulu menggunakan jasa pengiriman melalui JNE. Karena lebih mudah, terpercaya dan cepat.

Tanpa berpikir panjang, saya mengemas sarung-sarung itu dalam gardus. Tak lupa saya membubuhkan alamat lengkap serta nomor kontak baik pengirim maupun penerima. selanjutnya saya sendiri pergi mengirimnya di kantor perwakilan JNE Express Maumere tepatnya di Jl. Adisucipto Waioti Alok Timur, Sikka, NTT.

Seperti kata kenalan, saya pun mengalami sendiri ketika hendak mengirimkan barang melalui JNE. Di sana saya disapa dan dilayani dengan ramah, prosesnya cepat, biayanya terjangkau dan barang memang cepat sampai ditangan penerima dengan utuh.

Ketika pulang saya merasa lega dan dalam hati saya bersyukur kepada Tuhan karena impian ibu tua itu dapat dikonkretkan oleh JNE. Terimah kasih JNE karena telah memberi senyum untuk ibu tua ini dan solusi untuk pendidikan anaknya.

JNE : titik Jumpa Aku-Engkau

Kebaikan walau itu satu titik akan sangat menyentuh dan tercatat selamanya. 

Hari ini, saya berani barkata pun mencatat dalam diary kehidupan pribadi saya sendiri bahwa JNE telah memberikan suatu solusi kreatif untuk melukis bahagia. Secara spesifik tergambar lewat pengalaman saya tentang solusi ditengah kekurangan para pengungsi Rokatenda yang hidup di tengah pandemi saat ini.

Dalam penelusuran melalui jne.co.id, saya menemukan profil lengkap perusahan dengan visi dan misi, sejarah dan milestone, nilai perusahaan, jajaran direktur, penghargaan serta CSR (Corporate Social Responsibility). saya menemukan prinsip-prinsip pelayanan yang mengagumkan.

Selain misi utama dari perusahan jasa yang telah berusia 30 tahun ini, Quotes ketiga Direktur antara lain : Mohamad Feriadi, Chandra Fireta dan Edi Santoso menekankan prinsip serupa yakni suatu komitmen pelayanan untuk memberi pengalaman terbaik kepada semua orang.

Bagi saya pengalaman terbaik adalah narasi tentang bagimana JNE memberikan solusif atas problem baik secara personal dan komunal yang secara langsung memajukan kehidupan bangsa dan negara. Ketika JNE hadir dan memberikan jalan keluar sejatinya JNE telah berjuang mengangkat harkat dan martabat hidup manusia secara keseluruhan.

Tanpa Customer tidak akan ada JNE (Quote JNE to Customer dari Edi Santoso)

Pola hubungan eksistensial antara Jne dan Customer tertata secara seimbang. suatu keberadaan yang saling menentukan dalam upaya memperoleh kehidupan yang layak. Dalam arti bahwa bangunan relasional menjadi titik dasar untuk memperkuat kepercayaan. Dan hal itu diwujudkan dalam pelayanan yang konkret.

Melalui palayanannya JNE telah bertindak selain sebagai suatu perusahaan yang memberikan solusif tetapi juga sebagai perantara yang mempertemukan pengirim dan penerima lewat barang kiriman.

Dengan kata lain, JNE sebagai titik perjumpaan wajah-wajah yang sedang saling merindukan. JNE pula sebagai pengikat relasi aku-engkau untuk saling melengkapi, berbagi, memberi dan menyantuni sebagai keluarga manusia.

Akhirnya boleh dikatakan bahwa, ketika pandemi memperlebar bahkan mengkerdilkan jarak diantara manusia, JNE hadir menyulam, mengurut kembali kusutnya hubungan itu. Walau Rokatenda menyengsarakan namun JNE memberi peluang dan nafas ekonomi yang membahagiakan.

Dengan ini, kebahagiaan berarti ketika aku merasa apa rasamu (sesama) supaya kita merasakan. Rasa kita (aku dan sesama) terpandu berkat JNE

Dalam JNE kita terikat sebagai Satu Keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun