Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kesendirian dalam Krisis Covid-19, Belajar dari Paus Fransiskus

16 April 2020   01:18 Diperbarui: 16 April 2020   01:38 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sadari bahwa wabah corona atau COVID 19 membawa suatu gelombang perubahan pada lini kehidupan. Ruang eskpresi sosial diperketat atau diminimalkan dan ruang privat dilogarkan dan dimaksimalkan.

Ada perdebatan ketika kedua ruang ini tidak diekspresikan secara seharusnya. Dalam kondisi ini muncul tegangan karakter orang introver dan ekstrover. Benar ada aksi corak aplikatif yang akan terhambat namun karakter semacam ini bukan ciri yang dasariah.

Pada hakikatnya, manusia merupakan makluk individual sekaligus sosial. Manusia memiliki elemen sosialitas dalam  individualitasnya. Kedua aspek dasar ini saling memenuhi dalam perwujudannya.

Saya mencermati dan memaknai pembatasan sosial ini justru menjadi suatu moment istimewa dalam membangun aspek interior dalam diri.

Kurang lebih dalam beberapa minggu terakhir, ada banyak aktivitas positif yang dijalankan. Kegiatan itu seperti berolaraga (berlari dalam ruang terbatas), berkebun, belajar mandiri, menulis, berdoa, mengoreksi diri.

Hal-hal ini menjadi syarat dalam membentuk kekuatan diri secara fisik maupun rohani. Karena eleman ini tidak terlalu membutuhkan suatu "kemerihan sosial" bahkan sebenarnya membutuhkan suatu keheningan dan kesenyapan.

Keresahan sosial akibat virus corona menimpa setiap orang kecuali mereka yang memang tak mengetahui informasi tentang bahaya virus ini karena keterbatasan akses media informasi dan lain sebagainya. Dan banyak orang mencari jalan tersendiri untuk mengantisipasi rasa bosan dan resah ini.

Saya mengartikan masa ini sebagai zona hening. Dalam keheningan itu, hal yang paling menarik bagi saya adalah mencari informasi, membaca, mendengar nasihat-nasihat bijak dari orang-orang yang dianggap mampu memberikan suatu pencerahan dalam kekalutan.

Dalam penilaian pribadi ada begitu banyak para pemimpin yang ramai memberikan gagasan ditengah pendemi virus corona. Namun yang manarik bagi saya adalah wawancara dari Auston Ivereigh dengan Paus Fransiskus.

Hemat saya, isi wawancara ini memuat beberapa gagasan penting tentang bahaya dan pengaruh  COVID 19, sekaligus nasehat berharga untuk dijalankan dalam pandemi ini.

Perlu diketahui bahwa Austen Ivereigh adalah seorang penulis, jurnalis dan komentator Inggris, dan salah satu pendiri Catholic Voices, sebuah proyek komunikasi yang sekarang berada di 20 negara.

Ada sekitar lima pertanyaan yang diajukan kepada Paus Fansiskus oleh Austen Ivereigh. Hasil wawancara itu kemudian diterbitkan dalam teks aslinya dalam bahasa spanyol oleh ABC News dan bahasa Italia dalam La Civilt Cattolica. Dan secara bersamaan  The tablet (London) dan Commonweal (New York) menerbitkan dalam bahasa Inggris (rabu,08/04/2020).

 Hasil wawancara itu akan diringkas tentunya sesuai dengan kapasitas sebagai pencari pengetahuan, arah pola laku, motivasi  dalam keresahan ditengah pendemi.

Keseharian di Vatican

Berdasarkan pertimbangan yang baik menurut aturan dan otoritas kesehatan, baik dikuria vatikan maupun di komunitas Santa Marta semuanya diatur secara baik. Semuanya berusaha untuk hidup secara normal entah jam kerja (dikantor masing-masing atau kamar tidur dengan bantuan media digital) maupun makan (dibagi giliran makan) diatur sedemikian rupa sehingga menghindari penyebaran virus ini.

Dalam praktek spiritual, Paus berdoa sesering mungkin, menghadiri pengakuan dan menberikan derma cukup intens melalui Limosneria Apostolica (Derma Apostolik) sebagai wujud kehadiran yang menemani mereka yang miskin dan sakit.

Saya berpikir tentang tangggungjawab saya sekarang dan setelahnya. Apa yang menjadi pelayanan saya sebagai Uskup Roma, sebagai kepala Gereja, dan pelayanan saya selanjutnya? Refleksi tentang "apa yang terjadi selanjutnya ini" mulai menunjukan kepadaku bahwa akan terjadi sebuah masa depan yang tragis, yang menyakitkan, maka alangkah baiknya dipikirkan memang dari sekarang ini.

Ada pula kecemasan yang timbul dalam doa paus sendiri. Seperti bagaimana menemani dan merasa lebih depat dengan umat Allah. Untuk itu, diadakan misa setiap jam 7 (tujuh) melalui daring yang diikuti banyak orang dan mereka merasa ditemani-dikuatkan.

Komentar tentang Novel karya Allessandro Manzoni

Novel Allessandro Manzoni berjudul "I Promessi Sposi" ("Para mempelai")  yang menarasikan tentang penyakit sampar di Milan pada tahun 1630. Ada beberapa peran tkoh pemeran seperti imam Don Abundio, uskup Boromeus dan para rahib kapusin yang melayani "el lazarote", sejenis rumah sakit yang menampung mereka yang tertular penyakit itu dan bertugas untuk memisahkan mereka sakit dari mereka yang sehat.

Sayangnya, salah satu bab dalam novel itu diceritakan ada Federico Borromeo pergi mengunjungi sebuah kampung namun dengan pintu kereta tertutup karena takut ketularan

Di tengah pendemi ini, umat Allah sangat membutuhkan kedekatan batin dengan para imamnya demi membuka cakrawala baru, membuka jendela dan membuka diri kepada Allah dan manusia serta transformasi diri sendiri.

Keterbukaan ini memberikan suatu motivasi dalam kreativitas untuk tidak menyerah. Janganlah menghindar, melarikan diri dalam keterasingan karena tidak akan berbuah apa-apa dalam hidup.

Kebijakan dalam krisis

Benar bahwa pemerintah harus dan telah mengambil tindakan yang luar biasa dengan prioritas yang jelas untuk membela masyarakat. Namun tindakan cenderung terpusat pada aspek ekonomi padahal dalam dunia finasial kelihatanya berkorban itu hal yang wajar.

Masih tercerim dalam dunia kita sebuah politik budaya "membuang". Nyaris absen dari pikiran banyak orang tentang seleksi prenatal, budaya eutanasia baik legal maupun terelubung dan kertelantaran para lansia serta para gelandangan.

Krisis sebagai kesempatan untuk berubah

Ini adalah kesempatan untuk memulihkan memori ("Meminisce iuvavit" ) karena krisis ini bukanlah yang pertama terjadi dalam sejarah dunia. Kita harus memulihkan ingatan akan akar, tradisi, yaitu memoria dan janganlah menganggap sepele krisis yang telah terjadi sebagai anekdot. Dengan mengingat kita menujukan suatu sikap pertobatan.

Setiap krisis adalah bahaya tetapi juga peluang. Dan ini adalah kesempatan untuk keluar dari bahaya. 

Krisis melanda semua orang entah orang kaya maupun orang miskin. Dan ini adalah peringatan untuk melawan kemunafikan. Janganlah kita berbicara tentang kelaparan dunia namun terus membangun senjata.

Krisis ini menjadi momentum orang-orang miskin yang mengharapkan diri untuk disentuh dan keberanian untuk melayani ditengah pandemik ini membuktikan bahwa ada pelayan-pelayan yang esensil kini. Janganlah takut karena "Saya belum pernah melihat bahwa Tuhan memulai sebuah mukjizat dan tidak menyelesaikannya dengan baik"(Non ho mai trovato yang il Signore abbia cominciato un miracolo senza finirlo bene) (kata seorang penjahit dalam novel PS)

Paskah bagi Lansia dan Orang muda

Cessi, et sublato montem genitore petivi. "Aku mengalah pada pertempuran, dan menggendong ayahku, dan naik ke gunung."

Kini para lansia mengalami kesepian. Namun para lansia tetap menjadi akar. Dan orang muda muda walau terus bertunas, bermekar, tetapi tetap membutuhkan akarnya; jika tidak, ia tidak dapat berbuah. Orang tua itu seperti akar. Ketegangan antara tua dan muda ini harus selalu diselesaikan melalui sebuah perjumpaan.

Perjumpaan itu memungkinkan adanya "mimpi yang tak terampas". Dan semua orang dipanggil untuk bertanggung jawab atas mimpi yang terampas. 

Dan satu kalimat lagi dari Virgil muncul di benak ketika Aeneas, yang dikalahkan di Troya, telah kehilangan segalanya, dan hanya memiliki dua pilihan: tetap tinggal di sana untuk menangis dan mengakhiri hidupnya, ataukah hasrat yang ada dalam hatinya untuk melangkah lebih jauh, untuk mendaki gunung agar lolos dari peperangan?

Sebuah kalimat yang indah: Cessi, et sublato montem genitore petivi. "Aku mengalah pada pertempuran, dan menggendong ayahku, dan naik ke gunung." Itulah yang seharusnya kita lakukan hari ini: menggendong akar tradisi kita dan mendaki gunung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun