Berdasarkan data Kemenkeu, secara akumulatif neraca perdagangan tanah air pada Juli lalu memang mengalami defisit sebesar 3,09 miliar dollar AS. Oleh karena itu, Menkeu pun memutuskan untuk melakukan intervensi dengan menaikkan nilai tarif impor atas sejumlah produk komsumsi.
Namun berdasarkan analisa Tony Nash, kebijakan kenaikan tarif impor sebenarnya belum terlalu diperlukan. Ekonom dan CEO Complete Intelligence AS ini menilai, kondisi Indonesia masih lebih kuat dibandingkan negara lain yang juga tengah menghadapi krisis, seperti India, Brasil, dan Afrika Selatan, sebab memiliki pasar domestik yang lebih kuat.
Dr Soedradjad Djiwandono, former central bank governor of #Indonesia, tells me the #rupiah's slide is partly due to global uncertainties. pic.twitter.com/6jIs50bhRp
--- Sarah Al-Khaldi (@SarahCNA) September 4, 2018
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Richard Jerram, analis senior Bank of Singapore. Menurutnya, tekanan dollar yang dirasakan Indonesia sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan India dan Filipina karena pemerintah mampu mempertahankan tingkat inflasi dalam negeri di tingkat yang rendah.
Analisa yang optimis dari kedua ekonom luar ini, bisa dibilang menjadi angin segar bagi keraguan masyarakat akan kondisi perekonomian dalam negeri saat ini. Tak heran bila sebagai oposisi, Riza pun yakin kalau pemerintah akan berusaha melaluinya dengan melakukan berbagai terobosan kebijakan.
Keyakinan Riza pada pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekonomi ini, sejalan dengan teori revolusi ekonomi John Maynard Keynes. Ekonom Inggris itu menekankan pentingnya pengeluaran pemerintah untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Ini terlihat dari bagaimana upaya Menkeu melalui penetapan kenaikan tarif dan pembatasan impor.
Namun bila Keynes sebelumnya menekankan pada peran IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga modal talangan, langkah Menkeu untuk menaikkan tarif impor dianggap sebagai pilihan yang lebih baik. Terlebih, AS berjanji membebaskan tarif impor baja. Begitu juga Australia yang telah membuka pintu bagi semua produk ekspor Indonesia.
Menciptakan Musuh Bersama
Jelang dimulainya masa kampanye pemilihan presiden, kondisi rupiah yang terus melemah ini, tentu akan menjadi catatan buruk tersendiri bagi pemerintahan Jokowi. Terutama di mata masyarakat yang merasakan dampaknya secara langsung, seperti para pengusaha yang mengandalkan produk-produk impor dan karyawannya.
Bagaimana tidak, nilai tukar dollar yang sangat tinggi ini tentu akan sangat memberatkan biaya produksi di sektor tersebut. Tingginya harga jual yang ditawarkan pada konsumen pun, merupakan permasalahan tersendiri. Efek domino inilah yang sebenarnya banyak ditakutkan oleh masyarakat sebab daya beli menjadi rendah.
Kondisi ini bila tidak ditangani dengan baik, pada akhirnya juga akan menciptakan krisis lapangan pekerjaan sebab banyak pabrik maupun kantor yang tidak mampu lagi membayar karyawannya. Akibatnya, PHK pun terjadi dan menghasilkan jumlah pengangguran serta kemiskinan kembali meningkat.