Ban mobil berhenti tepat di depan pabrik. Si penjaga tidak bohong, bangunan itu benar-benar kosong tanpa ada satu orangpun yang bekerja. Hanya ada tikus yang berkeliaran mencari pasangan di musim kawin. Mesin masih berdiam tanpa suara, begitu juga dengan absensi yang dibiarkan begitu saja.
Misalkan mereka tidak kembali, segalanya menjadi tidak karuan. Tidak ada petani berarti tidak ada nasi, tidak ada nelayan tidak ada ikan, tidak ada pekerja bangunan tidak ada gedung-gedung tinggi dan rumah mewah, tidak ada penjahit berarti orang akan telanjang. Siapa yang akan membersihkan toilet?, memungut sampah?, menyapu jalan?. Dan yang paling penting, bila tidak ada kaum pekerja, pabrik tidak berjalan, bisnis macet, dan industri akan mati. Uang berhenti berputar dan para kapitalis jatuh miskin.
Anjing sekarang memang menjengkelkan, bikin pusing manusia saja. Kenapa juga mereka menculik kaum pekerja?, lebih enak kalau pejabat nakal yang diciduk, bakal beres utang negara.
Telepon genggam kembali bergetar, istriku memanggil dari rumah.
“ Gawat pak...di radio pak..” suaranya getir seperti ketakutan.
“ di radio ada apa?”
“ itu di ra...” terdengar suara benda jatuh.
Klik. Saluran terputus.
Aku berlari ke arah mobil porsche yang kuparkir di halaman pabrik. Kupacu mobil bertenaga kuda itu secepat kilat. Mesin buatan Jerman memang tidak mengecewakan, mobil porche merah melesat bak meteor halley. Kuharap istriku baik-baik saja dirumah, kuharap Surti ada disana membantunya.
Kuputar radio yang menyiarkan berita terkini. Aku terkejut mendengarnya.
Radio itu berbicara,