Mohon tunggu...
Atha Earlene
Atha Earlene Mohon Tunggu... -

........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Debu dari Negeri Timur

21 Februari 2017   12:22 Diperbarui: 21 Februari 2017   12:40 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mazar-i-Sharif, 1997.

Tanah di negeri ini berselimut debu, dan angin kering bertiup dengan kencang. Sejauh mata memandang terpajang lukisan muram yang digores dengan dosa-dosa manusia. Nyawa wanita, anak-anak, ataupun orang tua tidak pernah lebih mahal dari sekeranjang buah kurma. Kemanusian sudah lama lepas dari lidah manusia, lenyap bersama cerita-cerita kuno mengenai suatu masa dimana gelak tawa berdering di penjuru kota.

Ada suatu waktu ketika bocah kecil dengan riang bermain layang-layang tanpa takut kakinya hancur menginjak ranjau atau kepalanya bolong tersambar peluru. Udara kota dipenuhi harum kebab daging sapi yang menggoda, bukan bau anyir mayat yang bergelimpangan tak terurus. Orang tua dapat tidur dengan nyeyak tanpa perlu resah ketika bangun nanti akan menemukan salah satu rumah tentangganya hancur dihantam roket. Dan debu yang datang dari timur membawa kehangatan musim panas, bukan membisikan berita kematian yang mencekik.

Bila kau berpijak di suatu titik paling tinggi di negeri ini, maka kau akan mendengar sebuah dunia asing yang menangis kesakitan. Telingamu akan menangkap bunyi letusan, teriakan, kepanikan, tembakan, ledakan bom, tangisan seorang ayah, tangisan seorang ibu, tangisan seorang anak serta kata-kata tuhan yang disalahgunakan. Baik kaum bersorban ataupun berwajah pucat, mereka sama-sama bertanggung jawab atas matinya negeri ini.

---

Masih terekam jelas di kepalaku pemandangan itu. Pemandangan yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidup.

Mereka muncul berbondong-bondong menunggangi pick up yang di belakangnya terpasang senjata kelas berat. Wajah mereka disembunyikan sorban, sehingga tidak jelas rupa sebenarnya para pembunuh itu. Debu bergelimpangan di udara digasak roda-roda yang melintasi kota dengan angkuh. Belasan kendaraan roda empat  berhenti sesuai posisi dan para penungganya turun sambil meneriakkan kata-kata suci yang terdengar kotor. Senapan meletus-letus dan kepanikan terjadi begitu saja.

Mereka mengobrak-abrik kota dengan peluru yang diterbangkan kemana saja. Memasuki rumah secara paksa sambil menodongkan senapan kesegala arah. Beberapa dari mereka memasuki rumahku, mengobrak abrik apa saja yang ditangkap mata. Mereka menyeret kedua orang tuaku dengan paksa, bahkan memukuli ibuku yang sedang mengandung. Aku dan kakaku tidak bisa berbuat apa-apa, mereka menempelkan ujung AK-47 di dahi kami berdua. Kami hanya bisa menyaksikan segalanya terjadi begitu saja.

Kaum bersorban itu menyeret kedua orang tuaku beserta ratusan penduduk lain ke daerah terbuka seolah mereka sedang memulai pertunjukan. Orang-orang yang beruntung hanya bisa menyaksikan dari jauh sambil menangis, berteriak, atau meminta ampun pada siapapun yang mendengarkan. Mereka membariskan calon korbanya sambil meneriakkan kata-kata yang tidak aku mengerti. Ketika itu, mataku bertemu dengan mata ibuku yang berselimut air mata. Segaris senyum tergores di wajahnya. Senyum perpisahan yang paling kubenci.

Orator itu selesai berbicara dan pertunjukkan dimulai. Tanpa belas kasih, mereka memberondong korbannya dengan lusinan peluru besi. Letusan-letusan senapan masih bergema ditelingaku. Bau mesiu dan darah masih tercium sampai bertahun-tahun lamanya. Lukisan sadis itu akan terpajang dibenaku seumur hidup. Dan begitulah orang tuaku pergi bersama ribuan Hazara lainnya. Pergi bersama adikku yang belum sempat aku kenal.

Menjadi yatim piatu ketika masih bocah bukanlah hal yang langka di negeri ini. Hampir semua anak seusiaku tidak punya orang tua. Seperti Ali yang kehilangan orangtuanya ketika sebuah roket jatuh di atas masjid. Atau Amir yang harus berpamitan dengan ayahnya ketika bom bunuh diri meledak 100 meter dari rumahnya. Dan yang paling klise adalah ranjau darat. Menginjak ranjau darat adalah cara mati paling membumi di tanah ini.

“ Lihat apa saja kau Hasan? “, teriak amir dari kejauhan.

“ Ke sinilah,kita sudah siap”, Ali menimpali.

Suara parau mereka menghanguskan lamunanku. Aku berlari turun dari sebuah bukit kecil tempat biasa aku memandang langit. Langit, tempat semua harapan diletakkan dan semua beban dihempaskan. Di langit pula semua doa-doaku terkumpul. Berharap tuhan mengambilnya.

Kuambil AK-47 dan kurangkulkan di punggung. Tanpa basa-basi, kami bertiga meloncat di atas mobil pick up. Mobil berdering dan roda berputar dengan kencang meniupkan debu kering dibelakangnya. Sepanjang perjalanan, raut muka Amir dan Ali terlihat tegang. Tanganya gemetar seperti orang yang kecanduan heroin. Begitu juga dengan jantungku yang berlari seperti kuda. Tidak ada jaminan kami akan pulang hidup-hidup.

“ Bagaimana kalau kita taruhan?”, Amir memecah keheningan.

“ Taruhan? “, Ali ikut berbicara.

“ Iya. Kita taruhan soal umur. Siapa diantara kita bertiga yang umurnya paling panjang, dialah yang menang “.

Baru aku ingat hari ini adalah ulang tahun kami yang ke 13. Kami lahir di tanah, waktu, dan darah yang sama. Darah yang memompa kehidupanku, juga darah yang sama yang menghisap nyawaku. Di tanah ini, perbedaan berarti permusuhan.

“ Lalu yang menang hadiahnya apa? “, aku penasaran.

“ Yang menang boleh menikahi istri yang kalah “.

Kami tertawa terpingkal-pingkal, tawa terakhir kami.

Rombongan mobil berhenti di belakang bukit kecil yang kering kerontang. Bergegas kami turun lalu mengambil posisi masing-masing. Sebagian dari kami bersembunyi dibalik bukit, sebagian lagi berkamuflase dengan pohon. Bukit ini tidak menjanjikan kemenangan, namun cukup untuk mengulur kematian. 

“ Ingat anak-anak. Pegang pelatuk, luruskan bahu, arahkan kejalan dan tembak siapapun yang melintas ”, bisik salah satu orang dewasa yang bersembunyi disebelah kami.

Kubuka pengaman besi pembunuh ini, cek amunisi, dan moncongnya kuarahkan ke jalan yang melintang di bawah. Gemetar ditanganku tidak bisa kusembunyikan, dan raut wajahku sama persis dengan raut wajah Ali dan Amir yang gelisah. Semua orang sudah siap di posisi masing-masing. Sebagian sudah selesai berdoa kepada malaikat kematian. Keheningan yang menegangkan pun muncul. Semua bibir terdiam menunggu kematian yang datang dari timur.

Dalam keheningan ingatan itu datang kembali. Wajah kakakku terpajang di depan mata. Kakaku yang pemberani dan pantang menyerah. Yang tak mau kalah oleh takdir, yang tak mau diperbudak oleh nasib. Namun kadang, nasib lebih kuat dari manusia paling tangguh sekalipun. Curahan keringat kakakku untuk membawaku pergi dari tanah ini menguap sia-sia. Berbulan-bulan kami mencoba melarikan diri, dan pada akhirnya kami berada ditangan mereka juga. Mereka menangkap kami di perbatasan, dan untuk menyelamatkanku, kakakku menukarkan nyawanya. Ketika itu, secara resmi aku menjalani hidup sebatang kara.

Kematian yang ditunggu-tunggu pun muncul dari timur, dalam bentuk rombongan mobil pick up yang berselimut debu. Jariku menyentuh pelatuk menunggu aba-aba. Moncong kuarahkan ke setiap kepala kaum bersorban itu. Kudengar Amir berdoa dengan sayup dan aku yakin Ali sudah mengompol sekarang.

Tepat ketika rombongan pembunuh itu melintas di depan kami, aba-aba di isyaratkan. Letusan-letusan terdengar nyaring dari arah bukit. Ratusan peluru berdesing di udara. Bau mesiu dan debu bersatu bersama angin. Teriakan-teriakan terdengar dari segala arah. Ledakan-ledakan berhamburan di atas tanah. Satu per satu mayat bergelimpangan tak bergerak.

Pandanganku merah karena marah. Pelatuk kutekan sekuat tenaga. Moncong kuarahkan pada siapapun yang masih bernafas. Aku melakukan ini bukan untuk negeriku, bukan untuk agama, bukan untuk perdamaian. Peluru-peluru kulesakkan untuk Ayah, Ibu dan Kakakku. Untuk ribuan kaumku yang mati sia-sia. Untuk dendam yang harus dibalas tuntas.

Muncul rombongan baru dari arah timur. Kaum bersorban itu memulai serangan balik. Peluru-peluru melayang ke arah kami, geranat dan roket mereka lempar ke atas bukit. Teriakan-teriakan suci terdengar tidak karuan, dan pandanganku kabur oleh debu yang berserakan di udara. Seorang laki-laki dewasa terlentang tak bernyawa di sampingku.

Aku menghentikan senapanku, kuisi ulang amunisinya. Saat itu, aku menyadari Ali menangis di sebelahku. Tubuhnya meringkuk gemetar, wajahnya tiris ketakutan.

“ Seharusnya.. kita.. tidak di sini..”, katanya lirih dan gentar.

“ Seharusnya kita bermain layang-layang di rumah, sekolah atau menonton tv. Seharusnya kita bermain seperti layaknya anak-anak! ”, suara Ali meninggi dan kedua tanggannya menggoyang-goyang bahuku.

“ Aku benci pada semua ini!, Aku ben..”, sebuah peluru menembus kepala Ali, sebagian darahnya tergores ke wajahku.

Mataku mematung tak percaya. Pikiranku berhenti berputar. Sebuah tangan menyeretku dari belakang.

“ Sebaiknya kita lari dari sini!. Mereka terlalu banyak! ”, suara Amir terdengar samar ditelan suara senapan dan ledakan di sekitar kami.

Amir menanggalkan senapannya dan berlari menjauh dari bukit. Tanpa berpikir, aku mengikutinya. Aku berlari dibelakang Amir. Kaki-kaki kecil kami beradu dengan kematian yang mengancam di belakang. Bau amis menyengat hidungku, bau darah sahabatku sendiri.

Sebuah roket menghantam tanah tepat di depan kami. Ledakannya mementalkan tubuh kami ke udara. Tubuhku jatuh di atas tanah berdebu dan kepalaku menghantam sebuah batu. Mataku memandang pudar ke sekeliling. Mataku menangkap mata Amir yang sudah tak bernyawa.

Aku tak ingin mati sia-sia di sini. Aku ingin hidup berpuluh-puluh tahun lagi. Aku akan memiliki istri yang cantik, anak yang sehat, dan karir yang cemerlang. Aku akan mengalahkan nasib dan keluar dari mimpi buruk ini. Kutegakkan tubuhku sekuat tenaga. Dengan apa yang tersisa aku mulai bangkit. Namun sesuatu menghantam kepalaku, dan segalanya menjadi gelap.

---

Dalam kegelapan pikiranku kembali bertanya. Apa aku menyembah tuhan yang salah?. Beribu-ribu doa sudah kukirim kelangit namun tak satupun kembali kepadaku dalam bentuk jawaban. Aku tak pernah lupa bersembahyang, dan tak sehari pun luput berdoa. Hari demi hari aku mulai ragu, apa tuhan benar Maha adil?. Apa tuhan mendengar kami di atas sana?.

Kesadaranku mulai hinggap ketika teriakan demi teriakan melayang di sekitar teliangaku. Ketika aku membuka mata, seseorang menyeretku ke sebuah panggung. Seutas tali dipaksanan melilit leherku dan dengan sempoyongan aku menyeimbangkan diri. Seseorang menangis disampingku. Seorang bocah yang bahkan  lebih muda dariku. Lehernya diikat tali sepertiku dan bibirnya dengan terisak memanggil –manggil nama ibunya.

Disinilah aku berdiri. Dipanggung yang sama ketika ayah dan ibu menghembuskan nafas terakhir. Di tempat yang sama ribuan kaumku pergi meninggalkan bumi terkutuk ini. Orator yang sama meneriakkan kata-kata yang masih tidak aku mengerti.

Kuhempaskan nafas dengan panjang, kutatap langit yang terlihat begitu jernih. Setiap hari ribuan nyawa meninggalkan bumi, setiap hari pula ribuan nyawa datang tanpa dosa. Ada orang meninggal dalam tidur tanpa rasa sakit, ada orang meninggal dengan tenang di rumah sakit, ada orang meninggal disamping istri tercintanya. Namun disini, orang meninggal dengan dada berlubang, kepala bocor, tubuh hancur, atau leher tercekik. Kami mati tidak karena sakit, namun sebagai penegasan atas kekuasaan yang tidak kenal ampun.

Orator itu selesai berbicara. Tali di leherku terikat kencang menyayat leher, nafasku tersendat di kerongkongan. Nyawaku sudah berada di ubun-ubun. Sebelum jiwaku pergi, aku tertawa terbahak-bahak.

Aku baru saja menang taruhan. Umurku 7 jam lebih panjang dari umur Ali dan Amir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun