Mohon tunggu...
Atha Earlene
Atha Earlene Mohon Tunggu... -

........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Debu dari Negeri Timur

21 Februari 2017   12:22 Diperbarui: 21 Februari 2017   12:40 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Aku benci pada semua ini!, Aku ben..”, sebuah peluru menembus kepala Ali, sebagian darahnya tergores ke wajahku.

Mataku mematung tak percaya. Pikiranku berhenti berputar. Sebuah tangan menyeretku dari belakang.

“ Sebaiknya kita lari dari sini!. Mereka terlalu banyak! ”, suara Amir terdengar samar ditelan suara senapan dan ledakan di sekitar kami.

Amir menanggalkan senapannya dan berlari menjauh dari bukit. Tanpa berpikir, aku mengikutinya. Aku berlari dibelakang Amir. Kaki-kaki kecil kami beradu dengan kematian yang mengancam di belakang. Bau amis menyengat hidungku, bau darah sahabatku sendiri.

Sebuah roket menghantam tanah tepat di depan kami. Ledakannya mementalkan tubuh kami ke udara. Tubuhku jatuh di atas tanah berdebu dan kepalaku menghantam sebuah batu. Mataku memandang pudar ke sekeliling. Mataku menangkap mata Amir yang sudah tak bernyawa.

Aku tak ingin mati sia-sia di sini. Aku ingin hidup berpuluh-puluh tahun lagi. Aku akan memiliki istri yang cantik, anak yang sehat, dan karir yang cemerlang. Aku akan mengalahkan nasib dan keluar dari mimpi buruk ini. Kutegakkan tubuhku sekuat tenaga. Dengan apa yang tersisa aku mulai bangkit. Namun sesuatu menghantam kepalaku, dan segalanya menjadi gelap.

---

Dalam kegelapan pikiranku kembali bertanya. Apa aku menyembah tuhan yang salah?. Beribu-ribu doa sudah kukirim kelangit namun tak satupun kembali kepadaku dalam bentuk jawaban. Aku tak pernah lupa bersembahyang, dan tak sehari pun luput berdoa. Hari demi hari aku mulai ragu, apa tuhan benar Maha adil?. Apa tuhan mendengar kami di atas sana?.

Kesadaranku mulai hinggap ketika teriakan demi teriakan melayang di sekitar teliangaku. Ketika aku membuka mata, seseorang menyeretku ke sebuah panggung. Seutas tali dipaksanan melilit leherku dan dengan sempoyongan aku menyeimbangkan diri. Seseorang menangis disampingku. Seorang bocah yang bahkan  lebih muda dariku. Lehernya diikat tali sepertiku dan bibirnya dengan terisak memanggil –manggil nama ibunya.

Disinilah aku berdiri. Dipanggung yang sama ketika ayah dan ibu menghembuskan nafas terakhir. Di tempat yang sama ribuan kaumku pergi meninggalkan bumi terkutuk ini. Orator yang sama meneriakkan kata-kata yang masih tidak aku mengerti.

Kuhempaskan nafas dengan panjang, kutatap langit yang terlihat begitu jernih. Setiap hari ribuan nyawa meninggalkan bumi, setiap hari pula ribuan nyawa datang tanpa dosa. Ada orang meninggal dalam tidur tanpa rasa sakit, ada orang meninggal dengan tenang di rumah sakit, ada orang meninggal disamping istri tercintanya. Namun disini, orang meninggal dengan dada berlubang, kepala bocor, tubuh hancur, atau leher tercekik. Kami mati tidak karena sakit, namun sebagai penegasan atas kekuasaan yang tidak kenal ampun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun