“ Lihat apa saja kau Hasan? “, teriak amir dari kejauhan.
“ Ke sinilah,kita sudah siap”, Ali menimpali.
Suara parau mereka menghanguskan lamunanku. Aku berlari turun dari sebuah bukit kecil tempat biasa aku memandang langit. Langit, tempat semua harapan diletakkan dan semua beban dihempaskan. Di langit pula semua doa-doaku terkumpul. Berharap tuhan mengambilnya.
Kuambil AK-47 dan kurangkulkan di punggung. Tanpa basa-basi, kami bertiga meloncat di atas mobil pick up. Mobil berdering dan roda berputar dengan kencang meniupkan debu kering dibelakangnya. Sepanjang perjalanan, raut muka Amir dan Ali terlihat tegang. Tanganya gemetar seperti orang yang kecanduan heroin. Begitu juga dengan jantungku yang berlari seperti kuda. Tidak ada jaminan kami akan pulang hidup-hidup.
“ Bagaimana kalau kita taruhan?”, Amir memecah keheningan.
“ Taruhan? “, Ali ikut berbicara.
“ Iya. Kita taruhan soal umur. Siapa diantara kita bertiga yang umurnya paling panjang, dialah yang menang “.
Baru aku ingat hari ini adalah ulang tahun kami yang ke 13. Kami lahir di tanah, waktu, dan darah yang sama. Darah yang memompa kehidupanku, juga darah yang sama yang menghisap nyawaku. Di tanah ini, perbedaan berarti permusuhan.
“ Lalu yang menang hadiahnya apa? “, aku penasaran.
“ Yang menang boleh menikahi istri yang kalah “.
Kami tertawa terpingkal-pingkal, tawa terakhir kami.