Mohon tunggu...
Atha Earlene
Atha Earlene Mohon Tunggu... -

........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Debu dari Negeri Timur

21 Februari 2017   12:22 Diperbarui: 21 Februari 2017   12:40 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rombongan mobil berhenti di belakang bukit kecil yang kering kerontang. Bergegas kami turun lalu mengambil posisi masing-masing. Sebagian dari kami bersembunyi dibalik bukit, sebagian lagi berkamuflase dengan pohon. Bukit ini tidak menjanjikan kemenangan, namun cukup untuk mengulur kematian. 

“ Ingat anak-anak. Pegang pelatuk, luruskan bahu, arahkan kejalan dan tembak siapapun yang melintas ”, bisik salah satu orang dewasa yang bersembunyi disebelah kami.

Kubuka pengaman besi pembunuh ini, cek amunisi, dan moncongnya kuarahkan ke jalan yang melintang di bawah. Gemetar ditanganku tidak bisa kusembunyikan, dan raut wajahku sama persis dengan raut wajah Ali dan Amir yang gelisah. Semua orang sudah siap di posisi masing-masing. Sebagian sudah selesai berdoa kepada malaikat kematian. Keheningan yang menegangkan pun muncul. Semua bibir terdiam menunggu kematian yang datang dari timur.

Dalam keheningan ingatan itu datang kembali. Wajah kakakku terpajang di depan mata. Kakaku yang pemberani dan pantang menyerah. Yang tak mau kalah oleh takdir, yang tak mau diperbudak oleh nasib. Namun kadang, nasib lebih kuat dari manusia paling tangguh sekalipun. Curahan keringat kakakku untuk membawaku pergi dari tanah ini menguap sia-sia. Berbulan-bulan kami mencoba melarikan diri, dan pada akhirnya kami berada ditangan mereka juga. Mereka menangkap kami di perbatasan, dan untuk menyelamatkanku, kakakku menukarkan nyawanya. Ketika itu, secara resmi aku menjalani hidup sebatang kara.

Kematian yang ditunggu-tunggu pun muncul dari timur, dalam bentuk rombongan mobil pick up yang berselimut debu. Jariku menyentuh pelatuk menunggu aba-aba. Moncong kuarahkan ke setiap kepala kaum bersorban itu. Kudengar Amir berdoa dengan sayup dan aku yakin Ali sudah mengompol sekarang.

Tepat ketika rombongan pembunuh itu melintas di depan kami, aba-aba di isyaratkan. Letusan-letusan terdengar nyaring dari arah bukit. Ratusan peluru berdesing di udara. Bau mesiu dan debu bersatu bersama angin. Teriakan-teriakan terdengar dari segala arah. Ledakan-ledakan berhamburan di atas tanah. Satu per satu mayat bergelimpangan tak bergerak.

Pandanganku merah karena marah. Pelatuk kutekan sekuat tenaga. Moncong kuarahkan pada siapapun yang masih bernafas. Aku melakukan ini bukan untuk negeriku, bukan untuk agama, bukan untuk perdamaian. Peluru-peluru kulesakkan untuk Ayah, Ibu dan Kakakku. Untuk ribuan kaumku yang mati sia-sia. Untuk dendam yang harus dibalas tuntas.

Muncul rombongan baru dari arah timur. Kaum bersorban itu memulai serangan balik. Peluru-peluru melayang ke arah kami, geranat dan roket mereka lempar ke atas bukit. Teriakan-teriakan suci terdengar tidak karuan, dan pandanganku kabur oleh debu yang berserakan di udara. Seorang laki-laki dewasa terlentang tak bernyawa di sampingku.

Aku menghentikan senapanku, kuisi ulang amunisinya. Saat itu, aku menyadari Ali menangis di sebelahku. Tubuhnya meringkuk gemetar, wajahnya tiris ketakutan.

“ Seharusnya.. kita.. tidak di sini..”, katanya lirih dan gentar.

“ Seharusnya kita bermain layang-layang di rumah, sekolah atau menonton tv. Seharusnya kita bermain seperti layaknya anak-anak! ”, suara Ali meninggi dan kedua tanggannya menggoyang-goyang bahuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun