Mohon tunggu...
Atha Earlene
Atha Earlene Mohon Tunggu... -

........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surti

23 November 2016   13:49 Diperbarui: 23 November 2016   13:53 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Payung-payung itu beterbangan memenuhi cakrawala hingga langit menjadi hitam gelap. Orang-orang menengadah takjub, bingung, cemas, serta takut. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ribuan payung hitam tiba-tiba saja muncul dan bertebaran di angkasa. Banyak orang terpana menyaksikan fenomena itu, tak sedikit pula yang lari kesana kemari mengira kiamat sudah datang.

Pelakunya tak lain adalah Surti, si penjual payung yang mati gantung diri. Sebabnya sederhana, membuktikan cinta pada lelaki pujaanya. Dia pernah bersumpah, demi cinta, maut pun akan dilewati. Dan dia tidak main-main. Masalah hati, wanita bisa lebih nekad dari laki-laki.

*

Tejo hanya pemuda desa biasa yang terpikat pesona gadis penjual payung. Begitu juga Surti yang entah bagaimana jatuh hati pada pria yang suka menggombal itu. Surti selalu tersipu malu mendengar gombalan Tejo yang kadang tidak masuk akal. Tejo memang pintar menggombal sedangkan Surti mudah digoda. Bermodal mulut manis, Tejo berhasil merampok hati Surti.

Mereka telah lama merajut kasih, dan menunggu saat yang tepat untuk meresmikan hubungan. Sayang, menikah tidak semudah dan semurah membuat anak. Semuanya serba uang. Belum lagi nanti ketika surti mengandung. Sekarang susu anak lebih mahal dari harga diri manusia. Tejo yang hanya kerja serabutan dan Surti si penjual payung tentu saja tidak sanggup.

*

Suatu sore Tejo berkunjung ke rumah reot surti. Berpamitan kepada Surti, ingin merubah nasib ke Ibu kota. Tentu saja Surti menolak mentah-mentah, tidak ingin jauh-jauh dari calon suaminya itu. Namun dengan mulut manisnya, Tejo berhasil meyakinkan Surti. Bahwa semua ini semata-mata untuk mereka berdua, untuk pernikahan mereka, untuk anak-anak mereka kelak. Dengan berat hati Surti merestuinya.

Tejo juga berpesan agar Surti tetap membuat payung. Satu hari satu payung. Guna membuktikan kesetiaan Surti padanya, juga sebagai tanda cinta mereka yang abadi. Kelak, Tejo akan pulang membawa puluhan sapi, sekarung emas, dan segerobak berlian. Saat itu tejo akan mempersunting Surti dan menghadiahi Surti kehidupan yang layak. Payung-payung itu akan diterbangkan pada hari pernikahan mereka, sebagi lambang ketabahan cinta.

Surti memberikan segumpal uang untuk bekal Tejo bertarung di Ibu kota. Semua tabunganya tanpa disisakan seperpun. Juga bekal baju, makanan, ransel, dan benda lain yang menurut Surti penting. Begitulah, dengan restu Surti, Tejo berangkat menyongsong takdir baru. Temaram senja membingkai perpisahan mereka.

*

Musim demi musim berlalu, daun tua berguguran, daun muda tumbuh. Namun Surti masih sama seperti dulu. Surti masih tetap Surti si pembuat payung, hatinya tak pernah ragu sedikitpun. Satu hari satu payung. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun.

Tejo tak pernah kembali.

Bermacam selentingan beterbangan bebas. Ada yang bilang Tejo sudah menjadi saudagar kaya dan menikah dengan wanita kota yang lebih cantik. Ada juga kabar mengenai Tejo yang masuk penjara sebab ketahuan mencuri motor. Bahkan ada yang bilang kalau Tejo malu untuk pulang ke kampung karena gagal di rimba kota yang serba keras. Intinya Tejo tidak akan kembali.

Surti tak peduli, tetap membuat payung sampai Tejo pulang membawa dunia baru ditangannya.

*

Suatu hari seseorang mengunjungi rumah reot Surti. Orang itu mengaku teman Tejo yang datang dari kota. Pemuda itu menyampaikan kabar duka, bahwa Tejo telah meninggal dalam kebakaran besar. Saat itu Tejo bekerja di pabrik tekstil. Tanpa sebab yang jelas, pabrik itu meledak dan Tejo hangus beserta puluhan pekerja lainnya.

Surti mendadak kesurupan. Matanya kosong, tubuhnya kaku, jiwanya hilang. Surti teringat sumpahnya. Dia akan terus bersama Tejo kemanapun Tejo pergi.

Ditengah malam yang berangin, juga hujan yang turun rintik, Surti siap menemui Tejo. Dia berdiri diatas kursi dengan tangan memegang tali yang menggantung. Sejenak Surti melamun. Dia mengumamkan kata-kata perpisahan yang tidak terdengar jelas. Kemudian, tanpa ragu ia kalungkan tali dilehernya.

Begitulah, Surti menyusul Tejo.

Tiba-tiba saja petir menyambar rumah reot itu dan angin meniup dengan kencang. Payung-payung beterbangan di atas langit. Orang-orang berbondong-bondong keluar mendengar petir yang aneh itu. Mereka ternganga melihat ratusan payung hitam melayang-layang memenuhi langit.

Mereka paham, Surti sudah menyusul Tejo.

*

Suatu hari aku melepas penat dengan jalan-jalan ke kota. Betapa terkejutnya ketika aku melihat Tejo menggandeng perempuan cantik dengan dua anak kecil di sisinya. Tejo tidak mati, bahkan dia terlihat bahagia, makmur, dan sehat wal afiat.

Aku diam-diam memperhatikannya, bersembunyi dibalik gerobak buah. Penampilan Tejo 180 derajat berbeda. Sekarang dia seperti bos juragan sapi dengan pakaian necis, batu akik langka, potongan rambut mahal, dan parfum yang tericum bermeter-meter jauhnya.

Tejo menyuapkan bubur ke mulut perempuan aduhai itu. Perempuan itu membalas dengan kecupan mesra yang membekas di pipinya. Dengan samar-samar, aku mendengar kedua anak itu merengek meneriakkan “ ayah! Ibu! ”.

Ditangannya bergercing gelang emas yang pasti mahal harganya. Sepintas aku teringat Surti.

Surti pasti bingung menunggu disana, dimana gerangan si Tejo?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun