Mohon tunggu...
Pin
Pin Mohon Tunggu... -

alter ego

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Fikber 2] Seribu Kunang-kunang (Ending)

2 Desember 2015   18:06 Diperbarui: 3 Desember 2015   10:41 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Aku termangu di sudut. Dalam remang bayang bulan yang memucat ditelan dingin malam. Semua sosok itu berkumpul di depanku. Dalam bingkai maya dan layar putih transparan. Dan aku hanya terdiam di luarnya.

Ayah. Ibu. Mbok Minah. Lurah Sadikin. Dokter Zaldi.

Siapa yang masih bernyawa? Siapa yang sudah mati?

Mana yang fakta? Mana yang fiksi?

Mana yang nyata? Mana yang ilusi?

Mana yang asa? Mana yang mimpi?

Semuanya membaur dalam kelap-kelip cahaya seribu kunang-kunang. Di sekitarku. Di sekelilingku. Di seisi ruang tatapanku.

Siapa aku ini sebenarnya? Sukma siapa?

Sukma yang masih bernapas lega? Ataukah Sukma yang sudah menjelma jadi zombie?

“Sukma...”

Aku kenal suara itu. Yang lembut tapi mendirikan bulu roma. Yang kuharap bisa menolongku tapi ternyata dia pembunuh juga. Cintanya pada Ayah sudah menggelapkan mata hatinya. Betul-betul mbok jamu yang menyedihkan!

“Sukma...”

Bajingan itu! Sadikin keparat! Bila ada kesempatan untuk membunuhnya lagi maka aku akan melakukannya dengan senang hati. Hingga seribu kali seperti hitungan cahaya kunang-kunang di sekelilingku.

“Sukma...”

Ini lagi! Dokter gila yang tak lagi punya kemaluan setelah kutebas habis. Mau apa lagi dia? Aku mendengus.

“Sukma...”

Ayah... Airmataku menetes tak terkendali. Betapa aku merindukannya dengan segenap rasa yang masih aku punya!

“Sukma...”

Bu... Kali ini ajaklah aku... Kendati seluruh jiwa ragaku hancur aku bersedia. Lagipula untuk apa lagi aku di sudut ini?

Sendirian. Patah. Busuk. Anyir. Kosong.

Dan kerlip kunang-kunang makin menyilaukan mataku...

 

* * *

 

“Aaarrrgh!!!”

Sebuah tusukan terasa di dadaku. Nyeri. Panas. Membuatku kejang tanpa bisa kutahan. Aku berusaha keras membuka mata dan apa yang tampak kemudian membuatku meronta dalam kengerian.

Rusuk konde itu dibenamkan dalam dadaku. Olehnya. Laki-laki itu. Entah siapa dia.

“Emak tak tega, Pul...”

“Aku harus melakukannya, Mak,” suara laki-laki itu gemetar hebat.

“Dia kesakitan, Pul...”

“Tolong diamlah, Mak...”

Lalu kerlip kunang-kunang itu menyerbuku lagi. Pendarnya indah. Warna-warni. Lalu...

Zzzrt...

Tiba-tiba saja aku sudah melayang seperti seribu kunang-kunang yang mengelilingiku. Aku menengok ke bawah.

Tubuhku lunglai di atas bale-bale. Pucat pasi. Dengan tusuk konde itu tepat menghujam jantungku. Tusuk konde Ibu.

“Sudah selesai, Mak...”

Laki-laki itu pun terduduk lemas. Perempuan yang dipanggilnya “Mak” memeluknya dengan tangis tersedu. Lalu seolah ada bisikan di telingaku. Memberitahuku bahwa kedua orang itu adalah Mak Isah dan Saipul, orang-orang yang coba menolongku.

“Pul... Apa harus begini caranya?” Mak Isah menggoncang bahu Saipul.

“Harus, Mak. Kalau tidak dia akan lebih menderita. Sekarang kita kuburkan jasadnya, Mak. Orang-orang sudah menunggu di depan rumah.”

Aku tak punya waktu lagi untuk terkesiap. Kurasa memang semuanya sudah selesai.

Layar maya itu seolah terkembang lagi di depanku. Hanya saja sudah ada lorong gelap yang memisahkan bagian yang kiri dengan yang kanan. Di bagian kiri ada Sadikin dan Mbok Minah yang terpenjara oleh belitan helai-helai panjang rambut hitam. Di dalam lorong gelap itu ada Zaldi yang menggapai-gapai dalam hening. Di bagian kanan ada...

Oh... Ayah... Ibu...

Tapi aku ragu.

Sejujurnya aku sudah lelah. Bayang-bayang warna darah, bau busuk, aroma anyir, rasa sakit, rasa ngeri, semuanya masih segar dalam ingatanku. Apa lagi yang akan kutemui?

“Sukma, semuanya sudah selesai...”

Ayah melambaikan tangannya padaku. Lalu aku melihat senyum di wajah Ibu. Perlahan ragu itu memudar. Maka aku melayang ke sana. Ke arah mereka. Ayah. Ibu.

Tapi seribu kunang-kunang itu seolah tak suka akan pilihanku. Cahaya mereka menarikku ke arah kiri. Aku meronta, tapi mereka terlalu kuat. Sempat aku menoleh ketika mendengar teriakan marah di sisi satunya.

Aku tercekat.

Kedua sosok itu berubah dalam kemurkaan. Bukan lagi Ayah dan Ibu. Bersamaan dengan itu nyala kunang-kunang menyambar belitan rambut di tubuh Sadikin dan Mbok Minah.

Sekejap belitan rambut itu terbakar, kemudian menghilang. Dan aku terpana.

“Sukma...”

Dia bukan lagi Mbok Minah. Tapi Ibu. Ibuku. Memelukku dalam kehangatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

“Kita berkumpul lagi, Nak...”

Aku berpaling. Ayah menatapku dengan wajah haru. Ia bukan lagi Sadikin keparat itu.

Lidahku kelu. Otakku kosong. Serasa tak mampu mencerna semua yang kualami. Dan sebelum kesadaranku kembali, seribu kunang-kunang itu menyerbu Sadikin dan Mbok Minah.

Api membakar tubuh mereka diiringi lolong kesakitan dan jerit bergumul kematian. Asap hitam bergulung-gulung dan mulai menyentuh Zaldi. Teriakan maut itu terdengar lagi.

Lalu hening. Asap itu hilang. Tak menyisakan apa-apa lagi.

Kunang-kunang berpendar lagi. Menyebar ke sekelilingku. Ke sekeliling kami. Ibu, Ayah, dan aku. Cahayanya terus berkerlip. Berkerlip.

Tetap berkerlip dalam keabadian...

 

* * *

 

F-I-N

Nov 2, 2015 --p-i-n--

 

Kumpulan Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community

 

*Menerima segala kritik dan saran yang disampaikan secara santun, tulus, adil, dan beradab. Terima kasih*

pict : saatini.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun