Aku sendiri, mata terpejam seakan hancur. Otakku berjejal seakan berucap kepada dunia. Semua bersimpuh, kebingungan dengan apa yang muncul. Tak terbayang, tak terngiang, tak nampak sedikitpun. Seakan dunia sama sekali tak bersahabat dengan tubuh dan jiwaku. Cucuran keringat, cucuran air mata seraya berjalan menyelimuti tubuh yang gontai. Yang merayap, merangkak -- rangkak tanpa pesona. Aku terdiam sedikitpun tak mampu berucap. Bibir bergetar tanpa irama. Hanya hati yang mampu menangkap. Ocehan lembut nan lirih sang bibir. Kenapa muncul persimpangan dengan kelokan yang tajam? Tangis, sakit, bingun. Hanya itu rasa yang ada. Begitu pahit keadaan ini. Namun semuanya harus aku terima. Apapun yang terjadi. Aku lalui dengan hati.
Untaian kalimat itulah yang mampu menghiasi secuil kertas sebagai teman curahan hati malam itu. Begitu mendalam rasanya yang harus aku nikmati, bahkan mau-tidak mau harus aku anggap indah. Tatkala sebuah keputusan yang berlawanan dari tiga sisi menghinggapi tubuh gontai. Oh maaf, tepatnya keinginan belum menjadi keputusan.
Seorang anak yang menginjak remaja, dengan tubuh kurus empat puluh satu kilogram harus dipaksa untuk mengambil kebijakan dan pilihan. Benteng tembok Cina seolah-olah siap menerkam jikalau pilihan itu salah.
Malam itu menjadi malam yang sulit. Menjadi malam yang tak bisa untuk diceritakan. Pertarungan gagasan, pertarungan angan, bahkan pertarungan perenungan yang kemudian menjadi sebuah pertaruhan hidup. Yaa... semua itu dialami oleh Sakti, seorang anak menginjak remaja lima belas tahun. Sakti tergolong anak pendiam di sekolahnya, namun banyak prestasi yang dimiliki. Baik prestasi akademik maupun non akademik. Di kelas tak pernah dia jauh dari lima besar. PPKn, Bahasa Indonesia dan Penjaskesrek menjadi makanan yang paling disukainya. Dia sudah tidak menganggap tiga hal itu menjadi pelajaran, namun lebih dianggap sebagai makanan. Karena tiada hari tanpa menyentuh materi dari ketiga makanan itu. Terlepas kemudian banyak pelajaran lain yang harus dia kuasai. Selain itu, di non akademik banyak prestasi yang dia miliki. Ekskul pramuka, SKI, Basket, Bola Voli dan Sepak Bola dia ikuti semuanya yang pada puncaknya terpilih menjadi salah satu pengurus OSIS pada bidang yang disukainya, yaitu Bela Negara. Setiap hari Senin dia harus selalu menyiapkan upacara sekaligus petugasnya, dan itu tugas utama dia. Bahkan teman-temannya sering memberi label petugas upacara abadi. Semua itu dia lakukan sebagai wujud dedikasi dan totalitas pada sebuah tanggung jawab.
Namun Sakti adalah Sakti, seorang anak yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Bukan tidak mampu, tapi kurang mampu. Karena kalau tidak mampu, berarti makan saja kesulitan, tapi tidak untuk Sakti. Makan bisa dikatakan aman, namun di luar itu sedikit menjadi masalah. Inilah likuan hidup, dibalik kenikmatan yang kita miliki pasti ada sisi yang membutuhkan perbaikan yang kemudian dapat dimaknai itulah yang wajib untuk diperjuangkan.
Proses pembelajaran dan kegiatan selama tiga tahun di bangku sekolah menengah pertama telah terlampaui. Bahkan pada saat ujian akhirpun dapat dikatakan berhasil dengan nilai memuaskan. Rasa haru, senang dan bangga menyelimuti kehidupannya saat itu. Segala perjuangan, usaha dan doa yang selama ini dilakukan oleh Sakti bersama kedua orang tuanya telah terkabulkan dan terbalaskan dengan buah yang manis. Berakhir dengan senyuman. Padahal ketika pertama kali Sakti mendaftarkan diri di sekolah menengah pertama, orang tuanya tidak yakin kalau anaknya nanti dapat melaluinya dengan baik sampai lulus. Karena pertimbangan biaya. Bahkan orang tua sudah menyiapkan skoci atau alternatif jika Sakti tak dapat melanjutkan atau berhenti di tengah jalan saat di sekolah menengah pertama. Namun semua itu hanyalah tinggal cerita, semua telah terlalui dengan indah dan nyata.
Malam kamis, menjadi malam pertama munculnya prahara. Apa yang menjadi dugaan dan prediksi Sakti terjadi juga. Saat itu Ibu duduk mendekat di sebuah kursi tua yang panjang yang biasa dipakai duduk santai bersama keluarga. Tangan lembut seorang ibu mengusap kepala Sakti, dan dengan lembut pula sang ibu berucap
"Le...kamu mau sekolah di mana setelah ini?"sebuah harapan yang begitu mendebarkan bagi Sakti. Dari uacapan sang Ibu menunjukkan adanya keinginan untuk memberikan kesempatan padanya melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Padahal, di sekolah menengah pertama itu saja sangat sulit untuk mendapatkan biayanya. Senang sekali dirasakannya saat itu. Namun sebelum dia menjawab, ibunya melanjutkan.
"Kamu sekolah di Madrasah saja ya Le...".
Mendengar hal itu, diam sejenak seluruh anggota tubuhnya. Namun dia berpikir, wajar Ibunya menyarankan untuknya sekolah di tempat itu. Karen, dulu Ibunya lulusan dari salah satu pondok pesantren yang lumayan terkenal. Sakti berpikir pasti Ibu menginginkan anaknya menjadi penerus perjuangannya saat itu. Dia terima arahan dari Ibunya, dan sempat juga dia berpikir, arahan ini baik, patut untuk dipertimbangkan dan dilaksanakan.
Namun keesokan harinya prahara yang kedua muncul. Lebih menggemparkan lagi bagi anak yang menginjak remaja ini. Saat itu lagi-lagi malam hari, tapi bukan malam kamis lagi, malam Jumat tepatnya. Ini malam yang ekstrim atau spesial kata orang. Sehingga banyak yang melakukan kegiatan super penting pada mala ini. Termasuk kejadian super penting yang dialami oleh Sakti. Saat itu tiba-tiba sang Bapak duduk memanggil Sakti. Saktipun datang tanpa beban. Tapi tetap ada sedikit gemetar. Itu sudah wajar. Karena setiap kali dipanggil oleh Bapak pasti ada rasa itu, karena bisa dibilang Bapak adalah orang yang keras namun bijaksana. Tidak banyak bicara, beliau hanya berbicara saat perlu saja.
Malam itu benar-benar mencekam. Aku duduk di hadapan Bapak. Kalau Ibu sangat lembut ketika berkomunikasi, tidak untuk Bapak.
"Besok kamu mau melanjutkan sekolah atau tidak?", tiba-tiba suara itu menggelegar di telingaku. Bingung harus menjawab apa. Sejenak aku terdiam, berpikir ingin sekali aku menjawab "Ya pengen Pak", tapi mulut ini sulit sekali untuk berucap. Takut kalau ada tanggung jawab besar yang harus aku lakukan. Karena itulah kebiasaan Bapak, ketika memberikan tawaran maka pasti ada tantangan yang harus dilakukan. Mungkin itu pelajaran yang diberikan Bapak kepada anaknya untuk menjadi orang yang kuat, disiplin dan tanggung jawab. Dengan segala daya upaya dan kekuatan akupun memberanikan diri untuk menjawab .
"Inggih pak, saya pengen melanjutkan, tapi nyumanggaaken Bapak".
"Silahkan kamu melanjutkan di Kejuruan," tanpa harus jeda panjang.
kalimat itu bak halilintar menyambar. Kenapa tidak, setelah sehari sebelumnya sang Ibu meminta ke Madrasah dengan berbagai pertimbangan, kini Bapak meminta bersekolah di kejuruan. Sesuatu yang bertolak belakang.
"Ketika kamu nanti sekolah di situ, harus belajar yang sungguh-sungguh. Pahami semua materi. Baru setelah lulus, saya siapkan tempat praktik utuk bekerja bersama paklikmu", lanjut Bapak.
Tambah bingung yang kurasakan. Karena berdasarkan apa yang disampaikan Bapak, secara tidak langsung berarti setelah sekolah aku harus bekerja, tidak ada peluang untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Inilah yang membuatkuku sedih. Cita-citaku seolah berhenti di Bapakku. Tapi apapun kegundahan hatiku, hanya jawaban "Inggih pak" itulah yang bisa terucap.
Sejenak Sakti menghempaskan tubuhnya di tempat tidur beralaskan kasur yang penuh sejarah. Karena kasur itu dibelikan sebagai hadiah dari Ibunya saat dia juara kelas tujuh sekolah menengah pertama. Sambil memejamkan mata, dia mengingat huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Bapak dan Ibunya. Ibunya menginginkan Dia sekolah di Madrasah, Bapaknya mengingikan sekolah di Kejuruan, padahal sejujurnya dari dalam hati, Sakti menginginkan sekolah di SMA. Tiga hal yang sangat berbeda. Kalau mengikuti Ibunya, berarti dia harus mengesampingkan pendapat Bapak dan bertentangan dengan keinginannya sendiri. Tapi kalau mengikuti Bapak, berarti selain bertentangan dengan keinginannya sendiri dia juga mengesampingkan keinginan Ibu. Inilah yang dikatakan berada di persimpangan yang curam. Tapi ada satu point positif yang dapat ditangkap oleh Sakti, Dia mendapatkan jalan yang terang untuk melanjutkan sekolah, mengingat bahwa hidupnya serba kekurangan.
Berpikir dan terus berpikir. Minta masukan sana sini terus dilakukan olehnya. Sesekali kembali berkomunikasi baik dengan Bapak dan Ibunya. Memberikan argumen dan alasan yang logis untuk meyakinkan. Semangat dan terus semangat itulah yang digelorakan oleh Sakti. Karena Dia beranggapan inilah perjuangan yang sesungguhnya, tidak perlu adu senjata, namun memberikan gagasan yang meyakinkan yang harus dilakukan, tentunya tetap tidak meninggalkan adab kesopanan.
Minggu malam, tepatnya malam Senin Sakti mencapai puncak perjuangan. Hal itu harus Dia lakukan, karena Senin merupakan hari pendaftaran. Bapak dan Ibu duduk di ruang tamu, pelan-pelan Sakti keluar dari kamar untuk duduk di hadapan kedua orang yang terhebat dalam hidupnya.
"Pak, Bu, bolehkah saya berbicara sesuatu yang sangat penting bagi anakmu ini?" kalimat itulah yang memulai pembicaraan di antara kami.
"Silahkan Nak," jawab Ibu dengan lembut.
Mendengar kalimat itu, kaki seolah bergetar sulit untuk dihentikan. Tangan dan seluruh tubuh bergerak, bahkan bumi ini terasa gempa yang membara. Mulut seakan terkunci dan tidak bisa untuk mengeluarkan suara. Namun dengan tekad yang kuat, Sakti memberanikan diri untuk melanjutkan pembicaraan.
"Mohon maaf Bapak dan Ibu, ini terkait dengan kelanjutan sekolah Pak. Kemarin Ibu menginginkan saya melanjutkan ke Madrasah dengan berbagai pertimbangan, Bapak menginginkan saya sekolah di kejuruan begitu juga dengan segala pertimbangan". Dengan sopan Sakti menyampaikannya.
"Terus maksudmu apa?" ucap Bapak memotong kalimat Sakti. Tertunduklah dan diam seketika setelah mendengar kalimat Bapak. Suasana menjadi tambah mencekam, tiada suara sama sekali, seolah dunia mati tanpa penghuni. Namun tiba-tiba ada secercah cahaya yang muncul dari sang Ibu. Ibu tiba-tiba mengelus kepala Sakti sambil berucap.
"Teruskan Nak apa maksud Kamu dan apa yang menjadi keinginanmu".
Akupun belum berani memperlihatkan wajahku di hadapan Bapak dan Ibu.
"Silahkan dilanjutkan" tambah Ibu.
Lagi-lagi dengan beribu bahkan berjuta kekuatan Gibran memberanikan diri melanjutkan ucapannya.
"Mohon maaf sekali lagi Bapak, Ibu. Saya yakin Bapak dan Ibu menginginkan anakmu ini menjadi anak yang sukses, anak yang dapat membanggakan penjenengan berdua, segala daya dan upaya sudah Bapak Ibu lakukan demi anakmu ini, hingga sekarang anakmu telah lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Di sini anakmu hanya sebagai wayang Pak Bu, dalangnya adalah penjenengen berdua. Sekarang anakmu sudah menginjak remaja, bolehkah anakmu ini menyampaikan pendapat dan keinginan Pak Bu?"
"Iya Nak, memang kamu sekarang sudah menginjak remaja, sudah saatnya kamu menggunakan akal dan pikiranmu untuk menentukan masa depan", ucap Ibu dengan lembut.
"Tapi harus ingat, apa yang kamu ucapkan tetap harus dapat kamu pertanggung jawabkan", timpal Bapak.
Ada aroma wangi dari Beliau berdua, artinya beliau memberikan kesempatan kepada Sakti untuk menentukan masa depan. Itu yang sejenak terpikir dalam otaknya.
Lagi-lagi dengan mengeluarkan sisa-sisa kekuatan yang ada, Sakti memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya.
"Begini Pak Bu, Saya sangat berterimakasih kepada Bapak dan Ibu karena telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melanjutkan sekolah. Keinginan Bapak dan Ibuk untuk menentukan kemana saya harus melanjutkan sekolah itu sangat berdasar dan penuh dengan pertimbangan. Saya yakin bukan pertimbangan satu atau dua hari saja. Namun, kalau diperbolehkan, anakmu ini memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Dengan berbagai pertimbangan pula, mengingat masa depan yang harus saya lalui dan persiapkan".
Suasana hening sejenak, kemudian Ibu bertanya "Bagaimana pendapatmu Nak?".
"Misalkan anakmu ini menginginkan melanjutkan sekolah di SMA apa diperbolehkan Bu? Saya memunculkan pendapat ini setelah melalui berbagai pertimbangan pula Pak. Artinya, jika diperbolehkan Saya akan berusaha maksimal untuk mendapatkan sekolah yang tepat. Setelah diterima, saya juga akan berjuang mendapatkan hasil yang terbaik dan membanggakan untuk keluarga. Keinginan ini sudah terpatri lama di hati Saya Pak Bu". Berbagai argument dan pertimbangan untuk meyakinkan Bapak dan Ibu telah disampaikan oleh Sakti. Tidak tahu sama sekali apa yang menjadi jawaban Bapak dan Ibunya. Namun prinsip yang dipegang Sakti adalah yang penting berusaha dulu, terkait hasil pasti sudah ada yang menentukan.
"Apakah kamu sudah yakin dengan pilihanmu Nak?" Tanya ibu.
"Dengan berbagai pertimbangan, saya sudah yakin Bu." Jawab Sakti kepada Ibunya.
"Kalau memang sudah yakin, silahkan ikuti kata hatimu," tambah Ibu untuk meyakinkan Sakti.
Senang rasanya Ibu telah merestui keinginan Sakti. Terang benderang hatinya.
"Inggih Buk terima kasih". Dengan senyum Sakti menyampaikan ke Ibuknya.
Walaupun kegembiraan itu sedikit terpancar, namun Bapak belum mengucapkan sepatah katapun untuk Sakti. Mungkin banyak pertimbangan yang ada pada Bapak, mengingat Bapak adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab pada semuanya. Sakti tidak berani berucap kepada Bapak.
"Bagaimana menurut Bapak?" Tanya Ibu membantu Sakti.
"Sakti, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" Tanya Bapak dengan tegas kepada Sakti.
"Inggih Pak", jawab Sakti dengan pelan.
"Keyakinan seseorang itu salah satunya dapat dilihat dari ketegasan ucapannya, kalau seperti ini berarti kamu belum yakin dengan ucapanmu," tambah Bapak.
"Benar sudah yakin?" Bapak mengulangi kembali pertanyaannya.
"Mohon maaf Pak, Saya yakin dengan pilihan saya, dan saya juga siap menerima konsekwensinya", jawab Sakti dengan tegas.
"Laki-laki itu harus begitu. Kalau sudah yakin, tunjukkan keyakinanmu. Tapi tetap kamu harus bertanggung jawab dengan seluruh ucapannmu. Kalau memang kamu sudah yakin dengan keinginanmu itu, Bapak hanya bisa berucap Berjuanglah, Bapak restui, Bapak dukung, dan Bapak akan membantu kamu". Dengan tegas Bapak mengucapkan sambil menepuk pundak Sakti.
Dunia seolah terbelalak mendengar jawaban Bapak. Yang tadinya gelap menjadi terang, yang tadinya suram menjadi penuh harapan. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata apa yang dirasakan oleh Sakti.
"Terima kasih Bapak, Terima kasih Ibu, saya akan terus berjuang dan membuktikan kepada Bapak dan Ibu bahwa Sakti dapat dibanggakan." Hanya kalimat inilah yang dapat terucap dari mulut anak yang memiliki keyakinan akan potensi yang dimilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H