Malam itu benar-benar mencekam. Aku duduk di hadapan Bapak. Kalau Ibu sangat lembut ketika berkomunikasi, tidak untuk Bapak.
"Besok kamu mau melanjutkan sekolah atau tidak?", tiba-tiba suara itu menggelegar di telingaku. Bingung harus menjawab apa. Sejenak aku terdiam, berpikir ingin sekali aku menjawab "Ya pengen Pak", tapi mulut ini sulit sekali untuk berucap. Takut kalau ada tanggung jawab besar yang harus aku lakukan. Karena itulah kebiasaan Bapak, ketika memberikan tawaran maka pasti ada tantangan yang harus dilakukan. Mungkin itu pelajaran yang diberikan Bapak kepada anaknya untuk menjadi orang yang kuat, disiplin dan tanggung jawab. Dengan segala daya upaya dan kekuatan akupun memberanikan diri untuk menjawab .
"Inggih pak, saya pengen melanjutkan, tapi nyumanggaaken Bapak".
"Silahkan kamu melanjutkan di Kejuruan," tanpa harus jeda panjang.
kalimat itu bak halilintar menyambar. Kenapa tidak, setelah sehari sebelumnya sang Ibu meminta ke Madrasah dengan berbagai pertimbangan, kini Bapak meminta bersekolah di kejuruan. Sesuatu yang bertolak belakang.
"Ketika kamu nanti sekolah di situ, harus belajar yang sungguh-sungguh. Pahami semua materi. Baru setelah lulus, saya siapkan tempat praktik utuk bekerja bersama paklikmu", lanjut Bapak.
Tambah bingung yang kurasakan. Karena berdasarkan apa yang disampaikan Bapak, secara tidak langsung berarti setelah sekolah aku harus bekerja, tidak ada peluang untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Inilah yang membuatkuku sedih. Cita-citaku seolah berhenti di Bapakku. Tapi apapun kegundahan hatiku, hanya jawaban "Inggih pak" itulah yang bisa terucap.
Sejenak Sakti menghempaskan tubuhnya di tempat tidur beralaskan kasur yang penuh sejarah. Karena kasur itu dibelikan sebagai hadiah dari Ibunya saat dia juara kelas tujuh sekolah menengah pertama. Sambil memejamkan mata, dia mengingat huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Bapak dan Ibunya. Ibunya menginginkan Dia sekolah di Madrasah, Bapaknya mengingikan sekolah di Kejuruan, padahal sejujurnya dari dalam hati, Sakti menginginkan sekolah di SMA. Tiga hal yang sangat berbeda. Kalau mengikuti Ibunya, berarti dia harus mengesampingkan pendapat Bapak dan bertentangan dengan keinginannya sendiri. Tapi kalau mengikuti Bapak, berarti selain bertentangan dengan keinginannya sendiri dia juga mengesampingkan keinginan Ibu. Inilah yang dikatakan berada di persimpangan yang curam. Tapi ada satu point positif yang dapat ditangkap oleh Sakti, Dia mendapatkan jalan yang terang untuk melanjutkan sekolah, mengingat bahwa hidupnya serba kekurangan.
Berpikir dan terus berpikir. Minta masukan sana sini terus dilakukan olehnya. Sesekali kembali berkomunikasi baik dengan Bapak dan Ibunya. Memberikan argumen dan alasan yang logis untuk meyakinkan. Semangat dan terus semangat itulah yang digelorakan oleh Sakti. Karena Dia beranggapan inilah perjuangan yang sesungguhnya, tidak perlu adu senjata, namun memberikan gagasan yang meyakinkan yang harus dilakukan, tentunya tetap tidak meninggalkan adab kesopanan.
Minggu malam, tepatnya malam Senin Sakti mencapai puncak perjuangan. Hal itu harus Dia lakukan, karena Senin merupakan hari pendaftaran. Bapak dan Ibu duduk di ruang tamu, pelan-pelan Sakti keluar dari kamar untuk duduk di hadapan kedua orang yang terhebat dalam hidupnya.
"Pak, Bu, bolehkah saya berbicara sesuatu yang sangat penting bagi anakmu ini?" kalimat itulah yang memulai pembicaraan di antara kami.