Mohon tunggu...
Pijar Sukma Adiluhung
Pijar Sukma Adiluhung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berinvestasilah Untuk Akhiratmu Dengan Menulis

Mahasiswa jurusan Fikih dan Ushul Fikih Universitas Internasional Al-Madinah. Alumni Pondok Madinatul Qur'an, Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tidak Bisa Menghadap Kiblat di Kendaraan, Sahkah Shalatnya?

26 Desember 2021   20:18 Diperbarui: 26 Desember 2021   20:30 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Chuttersnap di Unsplash

Pertanyaan:

Apakah sah shalat tanpa menghadap qiblat di kendaraan, seperti ketika naik bis, kereta, atau pesawat?

Jawaban:

Bismillah. Alhamdulillah. Wash sholatu was salamu 'ala Rasulillah. Amma ba'du.

Apabila seseorang tidak menghadap kiblat ketika shalat di kendaraan, maka ia wajib mengulangi shalatnya ketika ia turun. Ini adalah pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi'i. Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri berkata dalam syarah beliau terhadap kitab al-Yaqut an-Nafis:

ومن أدركته الصلاة وهو في طائرة، إن أمكنه معرفة القبلة، وجب عليه الاتجاه نحوها، وإلا صلى على أي هيئة استطاع لحرمة الوقت ثم أعاد

"Siapapun yang mendapati waktu shalat ketika sedang mengendarai pesawat, maka jika ia mampu mengetahui arah kiblat, ia wajib untuk shalat menghadapnya. Jika ia tidak mampu, maka hendaknya ia shalat semampunya li hurmatil waqt (untuk menghormati waktu), lalu wajib untuk mengulangnya (ketika sudah mendarat)."

Yang terbaik bagi musafir adalah ia shalat fardhu sebelum menaiki kendaraan atau setelah turun, baik di waktunya atau dijamak bersama shalat lain seperti dhuhur dengan ashar, atau maghrib dengan isya'. Hendaknya tidak shalat fardhu di atas kendaraan kecuali jika waktunya tidak mencukupi untuk shalat di luar kendaraan. Adapun shalat sunnah maka tidak masalah jika dilakukan duduk dan tidak menghadap kiblat.  

Akan tetapi jika ia terpaksa shalat di atas kendaraan, maka ia wajib shalat menghadap kiblat dalam keadaan apapun. Cukup menghadap arah kiblat secara umum, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kiblat penduduk kota Madinah:

‌ما ‌بين ‌المشرق والمغرب ‌قبلة

"Semua arah di antara barat dan timur adalah kiblat."

Maksudnya adalah untuk semua kota yang berada di utara, kiblat mereka adalah selatan dan arah manapun selama di antara barat dan timur, sehingga kiblat penduduk Indonesia cukup menghadap barat saja, atau arah manapun di antara utara dan selatan sesuai mana yang mudah baginya. Ia bisa mencari arah kiblat menggunakan kompas atau dengan bertanya.

Jika sudah mengetahui arah kiblat, hendaknya ia shalat dengan berdiri ke arah kiblat dari takbiratul ihram hingga salam. Jika tidak memungkinkan untuk sujud dan rukuk secara sempurna, maka ia rukuk dengan menundukkan kepalanya, dan sujud dengan menunduk lebih dalam daripada rukuk. Jika arah kiblat sesuai arah tempat duduknya, maka ia bisa sujud dan rukuk sambil duduk.

Pendapat resmi madzhab Syafi'i adalah ia tetap wajib shalat di atas kendaraan walau tidak sempurna rukun dan syaratnya, lalu wajib diulang ketika sudah turun, karena sholatnya tidak sah.

Akan tetapi dalam kondisi seperti ini, ada pendapat lain dalam madzhab, yaitu ia shalat semampunya dan tidak perlu diulang. Ini adalah ijtihad Imam al-Muzani yang menyelisihi madzhab, beliau adalah salah satu murid senior Imam Syafi'i, dan ini adalah pendapat yang kami kuatkan. An-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab:

وقال المزني يصلي ولا يعيد وكذا عنده كل صلاة صلاها على حسب حاله لا تجب إعادتها، صرح بذلك في مختصره

"Al-Muzani berkata: Ia shalat dan tidak wajib mengulang. Beliau berpendapat bahwa semua orang yang shalat semampunya (tidak sempurna rukun dan syaratnya karena udzur) maka ia tidak wajib mengulangnya. Beliau mengatakan itu secara gamblang di kitab Mukhtashor miliknya."

Pendapat ini dikuatkan juga oleh beberapa ulama kontemporer madzhab Syafi'i. Disebutkan di dalam kitab Fiqh al-Ibadat 'ala al-Madzhab asy-Syafi'i:

إذا أدركت المسافر الصلاة المفروضة في الطائرة أو الباخرة ولم يكن بالإمكان جمعها مع صلاة أخرى، كصلاة الفجر مثلاً، ولم يتمكن من استقبال القبلة، ترك الاستقبال، وكذا أي ركن عجز عنه، ولا إعادة عليه. أما في السيارة فلا بد من النزول والاستقبال

"Jika seorang musafir mendapati waktu shalat fardhu ketika sedang menaiki pesawat atau kapal, sedangkan ia tidak mampu menjamaknya dengan shalat lain, seperti shalat subuh misalnya, dan ia juga tidak mampu menghadap kiblat, maka ia boleh shalat tidak menghadap kiblat, begitu juga (ia boleh meninggalkan) semua rukun yang ia tidak mampu melakukannya, dan ia tidak wajib mengulang shalatnya. Adapun jika ia mengendarai mobil, maka wajib untuk turun dan menghadap kiblat."

Terutama karena alasan para ulama terdahulu mengatakan bahwa ia wajib mengulang shalat, adalah karena udzur ini dulu sangatlah langka dijumpai. An-Nawawi berkata dalam al-Majmu':

أما وجوب الصلاة فلحرمة الوقت وأما الإعادة فلأنه عذر نادر

"Alasan ia wajib shalat adalah karena hurmatil waqt (untuk menghormati waktu), dan alasan ia wajib mengulang adalah karena ini udzr nadir (udzur yang langka)."

Beliau juga berkata:

والفرق على المذهب أن المرض يعم

"Bedanya dalam pandangan madzhab, antara mereka (yang mengulang shalat), dengan orang yang sakit (yang tidak harus mengulang shalat), adalah karena sakit adalah alasan yang umum dialami."

Seseorang jika sakit sehingga tidak mampu sujud atau rukuk, maka ia tidak perlu mengulang shalatnya, karena sakit adalah udzur yang umum dialami kaum muslimin. Dapat kita lihat bahwa saat ini puluhan jutaan orang di seluruh dunia mengendarai bis, kereta, pesawat, dan kendaraan semisalnya yang tidak memungkinkan shalat secara sempurna, sehingga udzur seperti ini tidak lagi menjadi udzur yang langka, sama seperti sakit.

Kesimpulannya, hendaknya seseorang menghindari shalat di atas kendaraan sempit seperti bis, kereta, dan pesawat semampunya kecuali ketika darurat, karena sulitnya memenuhi rukun dan syarat shalat, dan karena kuatnya perselisihan ulama dalam hal ini. Namun apabila terpaksa, maka pendapat yang kami kuatkan adalah ia shalat berdiri menghadap kiblat semampunya, dan ia rukuk dan sujud dengan menundukkan kepalanya. Jika ia terpaksa duduk dan tidak menghadap kiblat karena kondisi perjalanan yang buruk, maka ia tidak perlu mengulang shalatnya. Syaikh Labib Najib, seorang ulama madzhab Syafi'i, pernah berkata:

من أدّى ما أمر به حسب استطاعته لم يطالب بالإعادة

"Siapapun yang melaksanakan apa yang diperintahkan sesuai kemampuannya, maka ia tidak diwajibkan untuk mengulangnya."

Wallahu ta'ala a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun