"Semua arah di antara barat dan timur adalah kiblat."
Maksudnya adalah untuk semua kota yang berada di utara, kiblat mereka adalah selatan dan arah manapun selama di antara barat dan timur, sehingga kiblat penduduk Indonesia cukup menghadap barat saja, atau arah manapun di antara utara dan selatan sesuai mana yang mudah baginya. Ia bisa mencari arah kiblat menggunakan kompas atau dengan bertanya.
Jika sudah mengetahui arah kiblat, hendaknya ia shalat dengan berdiri ke arah kiblat dari takbiratul ihram hingga salam. Jika tidak memungkinkan untuk sujud dan rukuk secara sempurna, maka ia rukuk dengan menundukkan kepalanya, dan sujud dengan menunduk lebih dalam daripada rukuk. Jika arah kiblat sesuai arah tempat duduknya, maka ia bisa sujud dan rukuk sambil duduk.
Pendapat resmi madzhab Syafi'i adalah ia tetap wajib shalat di atas kendaraan walau tidak sempurna rukun dan syaratnya, lalu wajib diulang ketika sudah turun, karena sholatnya tidak sah.
Akan tetapi dalam kondisi seperti ini, ada pendapat lain dalam madzhab, yaitu ia shalat semampunya dan tidak perlu diulang. Ini adalah ijtihad Imam al-Muzani yang menyelisihi madzhab, beliau adalah salah satu murid senior Imam Syafi'i, dan ini adalah pendapat yang kami kuatkan. An-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab:
وقال المزني يصلي ولا يعيد وكذا عنده كل صلاة صلاها على حسب حاله لا تجب إعادتها، صرح بذلك في مختصره
"Al-Muzani berkata: Ia shalat dan tidak wajib mengulang. Beliau berpendapat bahwa semua orang yang shalat semampunya (tidak sempurna rukun dan syaratnya karena udzur) maka ia tidak wajib mengulangnya. Beliau mengatakan itu secara gamblang di kitab Mukhtashor miliknya."
Pendapat ini dikuatkan juga oleh beberapa ulama kontemporer madzhab Syafi'i. Disebutkan di dalam kitab Fiqh al-Ibadat 'ala al-Madzhab asy-Syafi'i:
إذا أدركت المسافر الصلاة المفروضة في الطائرة أو الباخرة ولم يكن بالإمكان جمعها مع صلاة أخرى، كصلاة الفجر مثلاً، ولم يتمكن من استقبال القبلة، ترك الاستقبال، وكذا أي ركن عجز عنه، ولا إعادة عليه. أما في السيارة فلا بد من النزول والاستقبال
"Jika seorang musafir mendapati waktu shalat fardhu ketika sedang menaiki pesawat atau kapal, sedangkan ia tidak mampu menjamaknya dengan shalat lain, seperti shalat subuh misalnya, dan ia juga tidak mampu menghadap kiblat, maka ia boleh shalat tidak menghadap kiblat, begitu juga (ia boleh meninggalkan) semua rukun yang ia tidak mampu melakukannya, dan ia tidak wajib mengulang shalatnya. Adapun jika ia mengendarai mobil, maka wajib untuk turun dan menghadap kiblat."
Terutama karena alasan para ulama terdahulu mengatakan bahwa ia wajib mengulang shalat, adalah karena udzur ini dulu sangatlah langka dijumpai. An-Nawawi berkata dalam al-Majmu':