Latar Belakang
     Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini melesatkan pula kecepatan  penyebaran informasi dalam kehidupan manusia. Suka atau tidak suka, minat atau tidak minat, mau atau tidak mau, butuh atau tidak  butuh, informasi dan berita terus membanjiri "halaman rumah" kita tanpa permisi. Apalagi melalui internet dan media sosial (medsos), arus deras informasi itu sepertinya menemukan kanalnya yang pas sehingga "banjir" informasi  dapat terjadi di mana-mana dan ke mana-mana.
    Divergensi informasi yang demikian, sudah tentu menggiring manusia masuk ke dalam nuansa ekosistem yang  bipolar: yang mana news dan yang mana hoax. News adalah informasi berupa warta atau berita yang disampaikan berdasarkan peristiwa faktual dan aktual, sebagaimana yang disajikan dalam media massa konvensional. Hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya, sebagaimana tersaji, sebagian kecil, dalam internet dan medsos. Informasi yang begitu divergen menyebabkan sebagian orang tidak mampu memfilterisasi informasi dalam takaran kebenaran faktual-aktual antara news dan hoax. Bahkan, secepat kilat orang langsung membagikan informasi itu kepada orang lain melalui medsos tanpa rasionaltas dan timbang bening nurani.
    Hoax (hoaks), sebagai informasi yang tidak terbukti kebenarannya (faktual, aktrual), semakin hari semakin menjadi fenomena sosial yang meresahkan masyarakat, termasuk meresahkan generasi muda bangsa yang sedang berada dalam dunia pendidikan.  Jajak Pendapat Kompas1)  menyimpulkan bahwa mayoritas responden, 85 persen dari 653 responden kaum muda, berpendapat bahwa pemberitaan hoaks yang banyak beredar di medsos saat ini telah sampai pada taraf yang  meresahkan atau bahkan "sangat" meresahkan. Simpulan ini berbanding lurus dengan data Kementerian Komunikasi dan Informatika bahwa terdapat 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi menyebarkan hoaks.
     Dalam konteks berkelebatnya informasi yang tidak sehat (hoaks), kompetensi literasi seseorang menjadi senjata yang ampuh untuk menangkal hoaks dan sekaligus menciptakan ekosistem informasi yang sehat. Persoalan yang tertinggal adalah bagaimana melakukan filterisasi informasi melalui tindakan literasi yang berterima? Kompetensi literatif seperti apa yang seharusnya dimiliki oleh seseorang untuk membangun konfigurasi informasi yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat agar tidak terjebak dalam  hoaks, terutama menyangkut isu SARA?
Pembahasan
    Kasus doxing (publikasi data pribadi yang bertujuan negatif) yang disinyalir dilakukan oleh Bjorka Hacker pada saat ini (sejak Agustus 2022) dan  terbongkarnya sindikat Saracen, pembuat dan penyebar berita bohong, pada pertengahan Agustus 2017, semakin menegaskan bahwa hoaks merupakan sebuah "rezim", yaitu kekuasaan yang terjadi dalam pola-pola relasi antarmanusia atau negara yang tidak seimbang, yang eksploitatif, dan yang represif2). Sebagai sebuah "rezim", hoaks merupakan kekerasan yang merusak harmoni sosial: mendiskreditkan produk tertentu, memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, dan menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan masyarakat serta memicu putusnya pertemanan, gesekan sosial, bahkan permusuhan.
    Di samping itu, hoaks merupakan konfigurasi dari kuatnya cengkraman nihilisme, yaitu paham  sosial yang tidak mengakui nilai-nilai kesusilaan, kemanusiaan, keindahan, dan segala bentuk kekuasaan pemerintahan; semua orang berhak mengikuti kemauannya sendiri3). Nihilisme adalah kekosongan kebebasan absolut; kebebasan sebagai kesewenang-wenangan; yang berasal dari sifat tak puas dan tak mungkin terwujudnya tujuan-tujuannya4).
    Berdasarkan kogitasi hoaks sebagai "rezim" yang tersungkur dalam nihilisme, para  penyebar hoaks dapat terindentifikasi sebagai makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling mengiri dan membenci sehingga mereka menjadi manusia yang kasar, jahat, buas, dan pendek pikir. Manusia, yang pada dasarnya sebagai ciptaan yang polos, mencintai diri secara spontan, tidak egois, dan tidak altruis, dibentuk oleh rantai peradaban kepentingan egoisme sehingga dapat menjadi pribadi yang memiliki sifat menyerang, seperti yang terjadi pada para penyebar hoaks. Mereka adalah pribadi homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lain, dan akibatnya belum omnium contra omnes, perang semua lawan semua5).
    Karakteristik "rezim" nihilisme hoaks  seperti itu akan terus mereproduksi kekerasan-kekerasan psikologis bagi kalangan masyarakat. Melalui medsos dan didorong oleh kepentingan-kepentingan egoistis tertentu, reproduksi kekerasan itu terus terbungkus dalam ujaran kebencian (hate speech), kebohongan, indoktrinasi, ancaman, dan tekanan yang dimaksudkan untuk mereduksi kemampuan mental pihak tertentu agar tidak "terlibat" dalam kepentingan-kepentingan  mereka. Manipulasi informasi menjadi tindakan wajib yang harus dilakukan untuk meraih keinginan busuk mereka.   Â
     Akibatnya sudah pasti dapat ditebak, yaitu rusaknya kohesi sosial antarmanusia. Mengapa? Hoaks dapat merangsang putusnya pertemanan dalam wilayah personal atau memutuskan ikatan persaudaraan dalam wilayah kesebangsaan. Hoaks dapat menciptakan gesekan dalam berbagai skala dan konteks sosial kehidupan masyarakat yang memuncrat dari suasana kesalingcurigaan dan kesalingbencian. Pada akhirnya, hoaks dapat juga  menciptakan permusuhan kronis yang dipicu oleh keberpihakan kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.Â
    Bagi bangsa Indonesia, hoaks secara nyata mengancam empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Contoh peristiwa empiris yang masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia adalah hoaks yang berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta 2017. Walaupun wilayah kepentingan politik itu hanya Jakarta, tetapi tebaran hoaks itu menyusup sampai keseluruh wilayah Indonesia. Hanya demi kekuasaan lima tahunan, informasi hoaks dan provokatif terus menyatroni benak masyarakat sehingga memunculkan ucapan-ucapan kebencian, penghinaan, penghujatan, dan rasis serta melahirkan tindakan-tindakan intoleran, intimidatif, dan destruktif.
    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hoaks adalah instrumen devide et impera dari politik kekuasaan dan instrumen segregasi sosial atas dasar SARA yang semakin menyuburkan prasangka-prasangka negatif. Di dalam hoaks ada kebencian, indoktrinasi, intimidasi, pencucian otak, ancaman, tekanan, penindasan, dan  pembunuhan karakter sesama anak bangsa dan sesama makhluk ciptaan Tuhan.
     Salah satu cara yang dapat diandalkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari informasi hoaks dan sekaligus usaha membangun ekosistem informasi sehat adalah peningkatan kemampuan literasi informasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda bangsa Indonesia. Memang, istilah literasi biasanya dipahami sebagai kualitas atau kemampuan melek huruf atau aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis teks. Namun, pada  hakikatnya makna literasi lebih dari itu, karena mencakup juga melek visual.  yaitu  kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar). Artinya, konsep literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis, tetapi kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan keterampilan  yang dimiliki dalam praksis kehidupannya.
    Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, definisi literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, saat ini, istilah literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas,  merambah pada praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik sehingga memiliki variasi istilah, seperti literasi media, literasi komputer, literasi sains, literasi sekolah, dan lain sebagainya. Namun, hakikat berliterasi sama, yaitu memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks6).
     Dalam konteks ini, peningkatan kemampuan literasi tidak dapat dipikirkan atau diimplementasikan  tanpa keterkaitannya dengan aktus pendidikan, entah secara formal atau nonformal.  Pendidikan sebagai aktivitas "pemanusiaan  manusia muda ke taraf insani"7)  tidak dapat dilepaskan dari upaya peningkatan kemampuan literasi kaum muda.. Artinya, pendidikan sebagai proses humanisasi dan hominisasi tidak hanya membawa dan mengarahkan  kaum muda  ke puncak pendewasaan diri sehingga memiliki mentalitas yang sangat manusiawi, tetapi juga proses penjadian manusia sebagai pribadi dan subjek dalam keseluruhan aspek kehidupan sehingga mampu  memiliki budaya berliterasi: mengerti dirinya, menentukan dirinya, mengambil sikap, dan menempatkan dirinya dalam berbagai situasi kehidupan.
     Pada proses humanisasi dan hominisasi inilah, kompetensi literasi  menjadi relevan  dan bernilai. Kompetensi literasi  menjadi "causa prima" (penyebab utama)  pembudayaan dan pemberdayaan manusia muda (anak) untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, kompetensi literasi berperan  membangun "perisai diri" manusia muda untuk menghadapi gempuran informasi hoaks yang bertubi-tubi datangnya.
    Hal itu berarti kompetensi literasi informasi merupakan kemampuan  melakukan pengorganisasian pengetahuan yang dimiliki untuk memahami dan menguji kebenaran sebuah informasi yang diterima melalui internet dan medsos. Dengan memiliki kemampuan literasi informasi, manusia muda akan mampu menemukan, mengidentifikasi, dan mengevaluasi sebuah informasi sehingga dapat menanggapi informasi tersebut secara kritis dan mampu menyaringnya secara selektif. Memahami dan menguji kebenaran sebuah informasi berarti juga membongkar (dekonstruksi) "rezim" nihilisme hoaks: menelusuri asal-usul konsep yang terstruktur dalam informasi hoaks dan melihat apa yang disembunyikan di dalam informasi hoaks itu.
     Kompetensi literasi, yang pada muaranya membentuk  budaya literasi informasi manusia sehingga tercipta ekosistem informasi yang sehat,   menyangkut beberapa kompetensi berikut.  Pertama, kompetensi menyimak dan menanggapi pokok-pokok informasi (what, who, when, where, why, dan how) yang tersebar dalam kesadaran fungsional. Apakah informasi yang beredar itu penting dan benar atau hanya sekadar hoaks. Manusia muda perlu memahami dan menyadari adanya hoaks dalam berinteraksi sosial, khususnya melalui internet dan medsos. Kesadaran semacam ini penting karena dapat menjadi instrumen untuk memfilter informasi-informasi yang diterima;  mana informasi yang benar, faktual, dan aktual serta  mana informasi yang diragukan kebenarannya.
     Kedua, kompetensi untuk menentukan kredibilitas ekstrinsik sebuah informasi atau berita. Kredibilitas ekstrinsik  sebuah informasi dapat dinilai dengan mengevaluasi sumber informasi; siapa yang menjadi sumber informasi atau narasumbernya. Perlu ditelusuri latar belakang dan kualifikasi penulis atau penanggung jawab sumber, termasuk organisasi atau lembaga tempat penulisnya bergabung. Sebab, jika informasi sudah ditunggangi motif politik, misalnya, hal ini dapat mengurangi kredibilitas sumber informasi8).
     Ketiga, komptetensi untuk menentukan kredibilitas intrinsik sebuah informasi yang diterima melalui internet dan medsos. Dalam konteks ini, kemampuan berliterasi merupakan cara untuk mengidentifikasi kontradiksi yang ditimbulkan oleh teks informasi sehingga kaum muda dibantu untuk mendapatkan kesadaran yang lebih tinggi akan adanya inkonsistensi isi teks informasi tersebut. Pemilihan diksi, struktur kalimat, dan cara memilih representasi atau kecenderungan ideologis secara sadar atau tidak sudah memberi warna pada teks informasi. Misalnya, teks informasi tentang representasi identitas bangsa dengan menetapkan tema "pribumi" versus "nonpribumi", berarti informasi teks tersebut sudah memilih, memihak, dan melegitimasi nilai keaslian melawan pendatang. Atau, ketika orang menggunakan kata minoritas atau mayoritas, sadar atau tidak sebetulnya sedang meminggirkan kelompok tertentu dan menempatkan posisi penting kelompok yang lain9).
     Keempat, kemampuan etis-moral untuk menilai layak tidaknya suatu informasi untuk disebarluaskan kepada pihak lain. Sudah sangat sering terjadi bahwa sebuah informasi hoaks begitu mudah tersebar dalam masyarakat karena ketidakmampuan etis-moral untuk menangkal dan meredamnya. Ada kecenderungan manusiawi untuk memperbesarkan informasi negatif dengan memperbincangan informasi itu secara terus-menerus dengan orang lain atau mentransmisikan informasi tersebut kepada pihak lain setelah membacanya. Jarang orang mengabaikan informasi hoaks itu untuk kepentingan diri sendiri, tetapi cenderung untuk membagikan kepada orang lain. Oleh karena itu, kemampuan etis-moral menjadi pengendali utama tersebar tidaknya sebuah informasi hoaks dalam masyarakat.
     Keempat kompetensi dan budaya berliterasi informasi itu berkorelasi dengan kesadaran penggunaan medsos akan pentingnya interaksi sosial yang bermakna, yaitu interaksi yang mendatangkan keuntungan yang proporsional bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian ekosistem informasi sehat dapat dibentuk. Raymond Mc. Leod10) mengemukakan bahwa suatu informasi yang sehat dan bekualitas harus memiliki ciri-ciri: (1) akurat, informasi mencerminkan keadaan yang sebenarnya;  (2) tepat waktu, informasi itu harus tersedia atau ada pada saat informasi tersebut diperlukan; (3) relevan, informasi yang diberikan harus sesuai dengan yang dibutuhkan; (4) lengkap,  informasi harus diberikan secara lengkap karena bila informasi yang dihasilkan sebagian-sebagian akan mempengaruhi dalam mengambil keputusan; (5) correctness,  informasi yang dihasilkan atau dibutuhkan harus memiliki kebenaran; dan  (6) security,  informasi yang dihasilkan mempunyai manfaat keamanan yang lebih besar dibandingkan dengan biaya mendapatkannya.
    Namun demikian,  kompetensi literasi untuk membangun ekosistem informasi sehat itu tetap menghadapi tantangan bagi "kehadiran" komitmen, ketulusan, keterlibatan, dan kesetiaan manusia. Memang disadari bahwa komunikasi lewat internet berlangsung tanpa temu muka orang-orang yang terlibat. Ini berarti bahwa orang hanya mengandalkan informasi yang tertulis di layar komputer atau gadget lainnya. Selebihnya, orang tidak dapat langsung tahu apakah yang ditampilkan itu hal yang sejujurnya, merupakan kebenaran atau tidak; selanjutnya, berdasarkan hal yang terpampang di layar itu, orang juga tidak tahu apakah si penulisnya mempunyai komitmen terhadap apa yang disampaikannya atau tidak.
    Keberhasilan menghadapi tantangan itu akan memulihkan ingatan akan kemanusiaan kita dalam kehidupan ini. Mengapa? Menurut John D. Zizioulas dalam bukunya Communion and Otherness (2006), manusia adalah persona, sosok pribadi, makhluk hipostatik, dan ekstatik. Sebagai makhluk hipostatik,  setiap pribadi adalah primer dan absolut, otonom dan unik, tetapi ia tidak melulu individual. Sebagai makhluk ekstatik, manusia selalu bergerak ke luar dirinya untuk berelasi dengan 'yang lain', yakni Sang Pencipta, sesama, dan semua ciptaan. Keberadaannya hanya bermakna di dalam relasinya dengan yang lain. Relasi itu merupakan relasi personal, yang melibatkan seluruh diri pribadi, tetapi tidak menggerogoti keutuhan dan keutamaannya.11)
Simpulan
     Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa perkembangan tekonologi informasi saat ini berdampak pada membanjirnya berbagai informasi dalam kehidupan manusia. Namun, tidak semua informasi mempunyai kontribusi dalam proses pemanusiaan manusia agar menjadi manusia yang human. Ada saja informasi yang tidak berangkat dari elan vital kebenaran, tetapi bergerak dari cengkraman egoisme: hasrat untuk mereguk kenikmatan dan kepentingan diri sendiri. Informasi hoaks  merupakan sinyal  melemahnya moralitas publik karena moralitas publik tidak lagi dapat didasarkan pada kesadaran untuk mengejar keutamaan hidup sebagai manusia
     Sadar akan bahaya hoaks bagi kehidupan berbangsa, sudah saatnya kemampuan literasi informasi perlu ditingkatkan, baik melalui aktus pendidikan formal maupun nonformal. Aktus pendidikan  mempunyai peran sangat penting untuk menanamkan dalam diri manusia muda nilai-nilai (etika, moral, hukum, politik, ekonomi, kulutral) kehidupan bersama sehingga kualitas kebersamaan sebagai keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara semakin kuat karena tidak ada kebohongan, egoisme, dan kepentingan kelompok atau golongan.
____________
Daftar Catatan Rujukan Pustaka:
    1)Lihat Kompas, 27 Okotober 2017.
    2)Lihat I. Marsana Windhu, Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. iv.
   3) Lihat Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hal. 689.
   4)Lihat Ross Poole, Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 118.
   5)Lihat I. Marsana Windhu, Ibid, hal. 63.
   6)https://sevima.com/pengertian-literasi-menurut-para-ahli-tujuan-manfaat-jenis-dan-prinsip/
   7)Pinjam konsep Driyarkara, Driyarkara tentang Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius,  1980, hal. 78.
   8)Lihat Kompas, Loc.Cit.
   9)Bdk. Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian: Pikiran Kritis Post-Strukturalis, Yogyakarta: Kanisius, 2016, hal.  134-135.
   10)https://www.asikbelajar.com/jenis-fungsi-dan-ciri-ciri-informasi-yang-berkualitas/
  11)Lih. Komisi Kateketik KWI, Katekese di Era Digital, Yogykarta: Kanisius, 2021, hal. 124-125.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H