Bagi bangsa Indonesia, hoaks secara nyata mengancam empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Contoh peristiwa empiris yang masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia adalah hoaks yang berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta 2017. Walaupun wilayah kepentingan politik itu hanya Jakarta, tetapi tebaran hoaks itu menyusup sampai keseluruh wilayah Indonesia. Hanya demi kekuasaan lima tahunan, informasi hoaks dan provokatif terus menyatroni benak masyarakat sehingga memunculkan ucapan-ucapan kebencian, penghinaan, penghujatan, dan rasis serta melahirkan tindakan-tindakan intoleran, intimidatif, dan destruktif.
    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hoaks adalah instrumen devide et impera dari politik kekuasaan dan instrumen segregasi sosial atas dasar SARA yang semakin menyuburkan prasangka-prasangka negatif. Di dalam hoaks ada kebencian, indoktrinasi, intimidasi, pencucian otak, ancaman, tekanan, penindasan, dan  pembunuhan karakter sesama anak bangsa dan sesama makhluk ciptaan Tuhan.
     Salah satu cara yang dapat diandalkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari informasi hoaks dan sekaligus usaha membangun ekosistem informasi sehat adalah peningkatan kemampuan literasi informasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda bangsa Indonesia. Memang, istilah literasi biasanya dipahami sebagai kualitas atau kemampuan melek huruf atau aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis teks. Namun, pada  hakikatnya makna literasi lebih dari itu, karena mencakup juga melek visual.  yaitu  kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar). Artinya, konsep literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis, tetapi kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan keterampilan  yang dimiliki dalam praksis kehidupannya.
    Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, definisi literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, saat ini, istilah literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas,  merambah pada praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik sehingga memiliki variasi istilah, seperti literasi media, literasi komputer, literasi sains, literasi sekolah, dan lain sebagainya. Namun, hakikat berliterasi sama, yaitu memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks6).
     Dalam konteks ini, peningkatan kemampuan literasi tidak dapat dipikirkan atau diimplementasikan  tanpa keterkaitannya dengan aktus pendidikan, entah secara formal atau nonformal.  Pendidikan sebagai aktivitas "pemanusiaan  manusia muda ke taraf insani"7)  tidak dapat dilepaskan dari upaya peningkatan kemampuan literasi kaum muda.. Artinya, pendidikan sebagai proses humanisasi dan hominisasi tidak hanya membawa dan mengarahkan  kaum muda  ke puncak pendewasaan diri sehingga memiliki mentalitas yang sangat manusiawi, tetapi juga proses penjadian manusia sebagai pribadi dan subjek dalam keseluruhan aspek kehidupan sehingga mampu  memiliki budaya berliterasi: mengerti dirinya, menentukan dirinya, mengambil sikap, dan menempatkan dirinya dalam berbagai situasi kehidupan.
     Pada proses humanisasi dan hominisasi inilah, kompetensi literasi  menjadi relevan  dan bernilai. Kompetensi literasi  menjadi "causa prima" (penyebab utama)  pembudayaan dan pemberdayaan manusia muda (anak) untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, kompetensi literasi berperan  membangun "perisai diri" manusia muda untuk menghadapi gempuran informasi hoaks yang bertubi-tubi datangnya.
    Hal itu berarti kompetensi literasi informasi merupakan kemampuan  melakukan pengorganisasian pengetahuan yang dimiliki untuk memahami dan menguji kebenaran sebuah informasi yang diterima melalui internet dan medsos. Dengan memiliki kemampuan literasi informasi, manusia muda akan mampu menemukan, mengidentifikasi, dan mengevaluasi sebuah informasi sehingga dapat menanggapi informasi tersebut secara kritis dan mampu menyaringnya secara selektif. Memahami dan menguji kebenaran sebuah informasi berarti juga membongkar (dekonstruksi) "rezim" nihilisme hoaks: menelusuri asal-usul konsep yang terstruktur dalam informasi hoaks dan melihat apa yang disembunyikan di dalam informasi hoaks itu.
     Kompetensi literasi, yang pada muaranya membentuk  budaya literasi informasi manusia sehingga tercipta ekosistem informasi yang sehat,   menyangkut beberapa kompetensi berikut.  Pertama, kompetensi menyimak dan menanggapi pokok-pokok informasi (what, who, when, where, why, dan how) yang tersebar dalam kesadaran fungsional. Apakah informasi yang beredar itu penting dan benar atau hanya sekadar hoaks. Manusia muda perlu memahami dan menyadari adanya hoaks dalam berinteraksi sosial, khususnya melalui internet dan medsos. Kesadaran semacam ini penting karena dapat menjadi instrumen untuk memfilter informasi-informasi yang diterima;  mana informasi yang benar, faktual, dan aktual serta  mana informasi yang diragukan kebenarannya.
     Kedua, kompetensi untuk menentukan kredibilitas ekstrinsik sebuah informasi atau berita. Kredibilitas ekstrinsik  sebuah informasi dapat dinilai dengan mengevaluasi sumber informasi; siapa yang menjadi sumber informasi atau narasumbernya. Perlu ditelusuri latar belakang dan kualifikasi penulis atau penanggung jawab sumber, termasuk organisasi atau lembaga tempat penulisnya bergabung. Sebab, jika informasi sudah ditunggangi motif politik, misalnya, hal ini dapat mengurangi kredibilitas sumber informasi8).
     Ketiga, komptetensi untuk menentukan kredibilitas intrinsik sebuah informasi yang diterima melalui internet dan medsos. Dalam konteks ini, kemampuan berliterasi merupakan cara untuk mengidentifikasi kontradiksi yang ditimbulkan oleh teks informasi sehingga kaum muda dibantu untuk mendapatkan kesadaran yang lebih tinggi akan adanya inkonsistensi isi teks informasi tersebut. Pemilihan diksi, struktur kalimat, dan cara memilih representasi atau kecenderungan ideologis secara sadar atau tidak sudah memberi warna pada teks informasi. Misalnya, teks informasi tentang representasi identitas bangsa dengan menetapkan tema "pribumi" versus "nonpribumi", berarti informasi teks tersebut sudah memilih, memihak, dan melegitimasi nilai keaslian melawan pendatang. Atau, ketika orang menggunakan kata minoritas atau mayoritas, sadar atau tidak sebetulnya sedang meminggirkan kelompok tertentu dan menempatkan posisi penting kelompok yang lain9).
     Keempat, kemampuan etis-moral untuk menilai layak tidaknya suatu informasi untuk disebarluaskan kepada pihak lain. Sudah sangat sering terjadi bahwa sebuah informasi hoaks begitu mudah tersebar dalam masyarakat karena ketidakmampuan etis-moral untuk menangkal dan meredamnya. Ada kecenderungan manusiawi untuk memperbesarkan informasi negatif dengan memperbincangan informasi itu secara terus-menerus dengan orang lain atau mentransmisikan informasi tersebut kepada pihak lain setelah membacanya. Jarang orang mengabaikan informasi hoaks itu untuk kepentingan diri sendiri, tetapi cenderung untuk membagikan kepada orang lain. Oleh karena itu, kemampuan etis-moral menjadi pengendali utama tersebar tidaknya sebuah informasi hoaks dalam masyarakat.