Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Habituasi Multikarakter Keberbangsaan melalui Paradigma Pendidikan Dialogal

26 Oktober 2022   12:59 Diperbarui: 26 Oktober 2022   13:15 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Paradigma pendidikan dialogal juga dibangun atas prinsip objektif (Tjahjadi, 1991: 71), yaitu prinsip yang atasnya orang harus bertindak untuk mencapai tujuan bersama. Sebuah model tindakan komunikatif dapat saja bersifat eksploitatif, represif, tidak adil, dan intimidatif jika mengabaikan prinsip objektif sebagaimana yang sering terjadi dalam paradigma pendidikan tradisional. Misalnya, pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai nasionalisme di sekolah tidak berjalan efektif karena peserta didik tidak menemukan sosok teladan. Selama ini ada kesan peserta didik merasa dibohongi. Mereka hanya mendengar materi pendidikan nilai: karakter yang baik, kejujuran, dan patriotisme, tetapi mereka gagal menemukan sosok teladan yang mampu mewujudkan nilai-nilai yang diajarkan itu. Para pemimpin masih terus sibuk dengan urusan diri dan kelompok politiknya yang tidak jarang terkooptasi dengan tindakan tidak terpuji.

Kondisi semacam itu dapat terjadi dalam tindakan pendidikan karena manusia  sebagai  pribadi  terkondisi  dalam ketidaksempurnaan  sehingga kerap kali jatuh lantaran mengikuti keinginan-keinginan tertentu atau dorongan-dorongan  yang irasional dalam dirinya. Artinya, manusia sering kali, karena kelemahannya, merelatifkan prinsip objektif dengan menjadikannya sebagai "sarana"  untuk mencapai tujuan tertentu secara subjektif. Hal ini bertentangan dengan prinsip objektif  yang mengharuskan orang untuk bertindak berdasarkan kaidah-kaidah objektif yang ada dalam suatu masyarakat, terlepas dari soal apakah disenangi atau tidak dan apakah menguntungkan atau merugikan keinginan-keinginan subjektif. Prinsip objektif adalah prinsip kesesuaian tindakan yang dipilih dengan kaidah kebenaran umum.

Oleh karena itu, paradigma pendidikan dialogal yang dibangun atas prinsip objektif memiliki "perintah keharusan"  atau imperatif  untuk melakukan tindakan yang  baik  atau  benar  dalam  takaran  etika  dan  moral  sebagai  penuntun  arah tindakan yang konstruktif terhadap perkembangan hidup kebersamaan. Menurut Immanuel Kant (Tjahjadi, 1991: 71-89),  semua imperatif memerintah manusia untuk melakukan suatu tindakan secara hipotesis (imperatif hipotesis) atau kategoris (imperatif kategoris). 

Imperatif hipotesis adalah perintah bersyarat karena adanya tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai; "jika mau X maka kamu harus melakukan Y."  Misalnya, jika seorang peserta didik menginginkan kelulusan pada ujian mata pelajaran tertentu, maka ia harus melakukan tindakan belajar terhadap mata pelajaran tersebut. Sementara itu,  imperatif kategoris adalah perintah yang menunjukkan suatu tindakan yang secara objektif mutlak perlu pada dirinya sendiri, terlepas dari kaitannya dengan tujuan lebih lanjut; ia melakukan tindakan ini atau itu karena baik dan benar secara hukum umum (formal), karena sesuai dengan nilai martabat kemanusiaan, dan karena sesuai dengan prinsip otonomi kehendak bebas manusia. Misalnya, seorang peserta didik tidak mau melakukan tindakan nyontek bukan karena takut ketahuan dan diberi sanksi, tetapi karena tindakan nyontek itu tidak benar atau salah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep "baik" dan "benar" adalah ruang perhelatan  etika dan moral. Jika paradigma pendidikan dialogal berlandastumpukan pada imperatif etika dan moral, persoalan  baik dan benar merupakan keharusan objektif dari  tindakan  komunikasi pembelajaran antara yang mendidik dan yang dididik. Yang mendidik dan yang dididik bergerak dalam horison etika dan moral yang sama untuk membangun karakter keberbangsaan. Kondisi ini akan merangsang munculnya klaim-klaim kesahihan yang rasional dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai konsensus tanpa paksaan: kebenaran, ketepatan,  kebaikan, dan kejujuran dalam kehidupan sosial.

c. Implementasi Demokrasi dan Solidaritas

Substansi paradigma pendidikan dialogal, akhirnya, bermuara pada persoalan demokrasi dan solidaritas. Demokrasi adalah suatu pola pemerintahan (baca: pendidikan) di mana kekuasaan untuk memerintah (memimpin) berasal dari mereka yang diperintah (dipimpin); atau, pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan (Yayasan Cipta Loka Caraka I,  1984: 173). 

Di dalam   paradigma pendidikan dialogal, demokrasi bukanlah sebuah ideologi yang lepas dari persoalan kehidupan konkret. Akan tetapi demokrasi adalah komunikasi rasional untuk mencari penyelesaian atas semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial atau the way of dealing with problem (Parera, Ed., 2001: 296), cara menyelesaikan soal, cara memecahkan teka-teki. Disebut komunikasi rasional karena yang mendidik dan yang dididik memiliki tingkat kesadaran untuk menghayati hidup dalam alam pikir dan timbang diri yang dipijakkan pada kejernihan akal budi untuk mempertanggungjawabkan  pilihan-pilihan dan keputusan hidup yang diambil oleh setiap manusia. Jadi,  daya yang menggerakkan komunikasi pendidikan itu bukan emosi, amarah, atau curiga (Sutrisno, 1994: 158).

Jika demokrasi ditangkap sebagai the way of dealing with problem, solidaritas sosial merupakan rantai persaudaraan dalam kehidupan bersama. Setiap pribadi yang terlibat dalam pendidikan dialogal tidak hadir sebagai sesuatu yang seragam, tetapi memiliki keunikan tertentu, seperti latar historis, kultural, fisikal, sosial, edukatif, keyakinan, dan cara pandang terhadap kehidupan ini. Keberagaman indentitas pribadi ini akan menjadi sebuah ancaman terhadap kehidupan bersama jika masing-masing pribadi tidak memiliki solidaritas sosial. Ketika individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah individu menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogyanya ia lakukan dan apa yang diharapkan orang lain (Makmun, 2007: 105).

Dalam konteks dialog, solidaritas akan mampu tumbuh jika diletakkan pada nilai cinta, kerendahan hati, harapan akan perubahan, dan kepercayaan yang kritis antara komunikator dan komunikan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam dialog harus menghindari sikap dominatif dan subordinatif. Jika hal itu dapat dilakukan maka akan terhindar dari sikap sadisme (tidak mengenal belas kasihan atau kejam) dan masokisme (kalau dicaci maki, ia senang karena dianggap sebagai pujian atau senang kalau disalahkan). Dengan mendasarkan diri  pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, dialog akan berkembang menjadi sebuah bentuk hubungan kesederajatan yang harmonis dan konstruktif terhadap perkembangan pribadi manusia yang berkomunikasi.

Paradigma pendidikan dialogal menempatkan demokrasi dan solidaritas sebagai "kerja mengorangkan" manusia agar menjadi manusia yang bermartabat sesuai dengan hakikat penciptaannya. Ketika yang mendidik mendengarkan pendapat orang yang dididik atau sebaliknya, masing-masing pribadi merasa benar-benar menjadi orang yang bernilai, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Apalagi ketika yang lemah, miskin, dan menderita disapa oleh yang lain, mereka merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun