Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Habituasi Multikarakter Keberbangsaan melalui Paradigma Pendidikan Dialogal

26 Oktober 2022   12:59 Diperbarui: 26 Oktober 2022   13:15 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Namun demikian, reformasi bidang sosial itu memunculkan juga sikap anomali (Depdikbud, 1996: 47) sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada tingkat masyarakat, eforia reformasi meletupkan sikap ketidaksalingpercayaan antara suatu kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat yang lain, antara masyarakat dan institusi tertentu, antara masyarakat dan pemerintah, antara masyarakat dan implementasi konstitusi: undang-undang, hukum, peraturan, ketetapan, dan norma sosial. Akibatnya, begitu mudah masyarakat melakukan aksi demonstrasi,  yang  hampir pasti disertai tindakan anarkis, ketika keinginan atau aspirasinya tidak ditanggapi oleh pihak tertentu.

Identitas keindonesiaan bangsa ini semakin hari semakin meredup di tengah deburan gelombang globalisasi dan reformasi. Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (identitas nasional) sepertinya hanya dijunjung di atas kepala dan terasa "jauh  panggang  dari  api"  dalam  praksis  keindonesiaan.   Identitas  keindonesiaan mengalami refraksi implementatif menuju kondisi keterpurukan peradaban ber-Indonesia. Identitas keindonesiaan yang dibentuk oleh kesadaran diri  dan kesadaran akan  orang lain (eksistensi  yang koeksistensial)  sebagai  satu bangsa semakin terjebak  dalam keterpurukan yang desktruktif.  

Sinyalemen buruknya karakter dan rapuhnya jati diri bangsa itu serta merta dapat dibaca dalam berbagai peristiwa. Pada tingkat masyarakat terjadi tawuran antarpelajar atau antaramahasiswa, kerusuhan antardesa atau antara warga sipil dan aparat keamanan, perkelahian antarsuporter usai pertandingan sepak bola, dan kerusuhan yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Pada tingkat elite kepemimpinan bangsa,  sudah jamak terlihat dan terdengar tentang berbagai tindakan  KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Kepemimpinan sudah dilepaskan dari konteks moral karena pemimpin masih melekatkan diri pada konsep 'daulat pemimpin di atas daulat yang dipimpin'. Pada tingkat ideologi, dapat dirujuk dengan  hadirnya NII (Negara Islam Indonesia) dan terorisme yang setiap saat menghantui kehidupan masyarakat Indonesia. 

Kondisi masyarakat  Indonesia semacam itu digambarkan dan ditegaskan WS Rendra (Kompas 5 Maret 2008, "Pidato Penerimaan Gelar Honoris Causa bidang Kebudayaan", hlm. 12),  yang mengiyakan pendapat pujangga Ronggowarsito, sebagai kalatida dan kalabendu. Kalatida adalah zaman edan karena akal sehat diremehkan; sedangkan  kalabendu adalah zaman kehancuran dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan secara merata. Masyarakat Indonesia sedang menjadi masyarakat yang sakit, karena di satu pihak masyarakat Indonesia membutuhkan moralitas tetapi di lain pihak ia membuatnya mustahil; ia memunculkan dan menghancurkan pemahaman-pemahaman tentang moralitas (Poole, 1992: x). Realitas sosial masyarakat yang demikian semakin menjauhkan dinamika masyarakat Indonesia dari apa yang dinamakan Ronggowarsito sebagai kalasuba, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran multidimensional (Kompas 5 Maret 2008, "Pidato Penerimaan Gelar Honoris Causa bidang Kebudayaan", hlm. 12).

Realitas sosial yang semakin mengkonfigurasikan lemahnya watak anak bangsa  di  berbagai bidang kehidupan itu menyentak  pemerintah,  melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional sejak tahun 2010, mendengungkan pendidikan watak atau karakter bagi anak-anak bangsa usia sekolah. Lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, diharapkan  untuk mampu mendesain pembelajaran setiap mata pelajarannya dengan muatan karakter. Dengan memberi muatan karakter dalam setiap mata pelajaran, peserta didik diharapkan memiliki kekuatan moral dan etika sosial dalam pemaknaan hidup dan kehidupannya sebagai manusia otonom dan koeksistensif.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan, dalam berbagai ranah dan tingkatan, mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis. Pendidikan bukan hanya proses transmisi dan transformasi pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga proses memberikan akar dan sayap (Gleeson, 1997: 1) yang kuat kepada peserta didik. Memberikan akar dan sayap kuat untuk kehidupan kepada anak-anak muda bangsa berarti (1) memberi seperangkat nilai yang akan menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang tak terhindarkan, (2) memberikan kemampuan distingtif untuk membedakan mana yang pokok dan mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya dan mana yang hanya merupakan bayangan, dan (3) memberikan kekuatan yang kokoh untuk membeda-bedakan mana yang abadi dan mana yang hanya berupa mode.

Persoalan sekarang adalah bagaimana mengoperasikan aktivitas pendidikan sehingga mampu memberi akar dan sayap yang kuat kepada peserta didik?  Bagaimanakah peranan pendidikan dialogal dalam "memanusiakan manusia Indonesia" sehingga memiliki akar  multikarakter  keberbangsaan yang mampu memuarakan kesejahteraan bersama dalam bingkai jati diri bangsa Indonesia?

2.  Paradigma Pendidikan  Dialogal

Tidaklah salah jika dikatakan bahwa sejarah kehidupan manusia adalah dialektika antara kontinuitas dan diskontinuitas, kompetisi antara konsolidasi dan transformasi, suksesi antara order dan change; atau dalam definisi  Presiden Soekarno, sejarah adalah simfoni revolusioner  dari usaha menjebol dan membangun (Kleden, 1987: 214).   Jika  konsep  sejarah  ini diangkat  menjadi konsep pedagogik maka pendidikan adalah dialektika antara yang mendidik dan yang dididik,  antara yang mengatur dan yang diatur, antara yang mengarahkan dan yang diarahkan. Kedua unsur pendidikan ini sama-sama ada dan tidak dapat saling meniadakan.

Kesadaran dialektik kependidikan  semacam itu  mengandung signifikasi tertentu, yaitu relasi antara yang mendidik dan yang dididik bukanlah relasi alamiah yang mekanis, tetapi jaringan makna fungsional yang sangat lekat dengan realitas kebersamaan. Jaringan makna fungsional itu terwujud dalam apa yang disebut Habermas (Hardiman, 1992: 102-103) praksis, yaitu tindakan dasar manusia sebagai spesies. Menurut Habermas, ada dua macam praksis: kerja dan komunikasi. Kerja adalah tindakan dasar manusia terhadap alam untuk mencapai sebuah kesuksesan, sedangkan komunikasi adalah tindakan dasar manusia terhadap sesama manusia untuk mencapai pemahaman timbal-balik. Kedua dimensi praksis ini tidak dapat direduksikan satu sama lain.

Tanpa keinginan untuk mengesampingkan urgensi praksis kerja, praksis komunikasi merupakan basis pendidikan yang kontekstual  dengan derap perubahan zaman ini. Relasi antara yang mendidik  dan yang dididik adalah tindakan  komunikatif yang diarahkan pada pencapaian  pemahaman timbal-balik yang konstruktif  dalam proses pemanusiaan manusia muda agar menjadi manusia yang berkarakter. Tindakan komunikatif merupakan faktor sosial yang sangat menentukan sebuah integrasi sosial, yaitu pemeliharaan kesatuan dunia kehidupan sosial melalui nilai-nilai dan  norma-norma.  Integrasi sosial itu hanya akan menjadi sebuah proposisi (ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar tidaknya) jika nilai-nilai dan norma-norma sosial kemanusiaan tidak dapat dikomunikasikan secara bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun