Tindakan komunikatif dalam ranah kependidikan itu mensyaratkan adanya hubungan dialogal antara yang mendidik dan yang dididik.  Hubungan dialogal  merupakan relasi kesederajatan antara komunikator dan komunikan berdasarkan argumentasi  martabat kemanusiaan yang melingkupinya; tidak mengenal  pola komunikasi top-down atau bottom-up atau pun distingsih formasi atasan dan bawahan yang biasa digunakan dalam kependidikan  struktural (politis) dan yang bersifat  hierarki  absolut.  Mengapa?  Karena  pendidikan  dialogal  tidak berporos pada dimensi kekuasaan subjek atas objek, tetapi  berporos pada martabat manusia untuk menyempurnakan kehidupan manusia itu sendiri melalui penyempurnaan dunia sekitarnya. Hal ini tidak berarti bahwa struktur atau hirarki sosial dalam ranah kependidikan tidak dibutuhkan. Struktur sosial selayaknya dipahami sebagai sarana pengoptimalan peran masing-masing komponen kependidikan dalam mewujudkan suatu tujuan pendidikan. Â
Konsep pendidikan dialogal,  yang berporos pada kesederajatan martabat manusia,  dibangun di atas fondasi  (1) humanistik, (2) etika dan moral,  (3) demokrasi dan solidaritas sosial. Artinya, ketiga faktor ini menjadi syarat terciptanya pendidikan dialogal dalam dunia pendidikan. Secara negatif dapat dikatakan bahwa  pendidikan dialogal tidak akan berjalan sebagaimana mestinya jika tidak ada penghargaan terhadap martabat manusia, tidak ada penghormatan terhadap etika dan moral, serta tidak ada implementasi demokrasi dan solidaritas sosial.  Â
a. Â Fondasi Humanistik
Pendidikan dialogal tidak dapat dipikirkan tanpa fondasi humanistik. Dinamika kependidikan ini dapat disebut bermartabat jika tumbuh dan berkembang dalam perspektif humanistik, yaitu melihat manusia sebagai pusat segala sesuatu dan yang memiliki kapasitas kemampuan yang kreatif, rasional, dan estetis untuk menyempurnakan diri. Dalam diri setiap manusia peserta didik terdapat keinginan yang perfektif:  "Suatu keinginan untuk menemukan sumber dan kriteria bagi apa yang baik, benar, dan indah dalam diri manusia. Keinginan ini mengandung suatu keyakinan, bahwa pada akhirnya setiap manusia harus memiliki sesuatu untuk dirinya sendiri dalam kebenaran dan kebaikan (To Thi Anh, 1985: 37)  Hal ini berarti bahwa pendidikan dialogal benar-benar mengapresiasi peserta didik sebagai  makhluk yang paling berharga.  Pendidikan dialogal tidak dapat mengurung kreativitas, rasionalitas, dan estetika yang dimiliki oleh masing-masing pribadi peserta didik.
Argumentasi filosofis pendidikan dialogal itu memang mau menegaskan bahwa aktivitas pendidikan harus bersumber dan bergerak dalam penghargaan terhadap martabat manusia, yaitu semua manusia diciptakan dengan martabat yang  sama serta dilengkapi dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak dapat  diganggu-gugat  oleh  kepentingan yang nonhumanistik. Kehidupan bersama dalam sebuah wadah sosial harus diarahkan pada pemeliharaan hak dan kewajiban manusia agar mampu menyempurnakan dirinya dan dunia sekitarnya.
Namun, kenyataan empiris dunia pendidikan di tanah air menunjukkan bahwa operasionalisasi pembelajaran masih kuat diwarnai praktik pendidikan tradisional, yang lebih berpihak pada peningkatkan kemampuan matematis dan bahasa serta penyampaian formal administratif daripada memberi ruang yang leluasa bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan hidup. Peserta didik cenderung  dianggap sebagai sebuah "botol kosong" yang harus diisi dan dipenuhkan dengan seribu satu liter "air" pengetahuan dan keterampilan yang disiapkan pendidiknya; semua potensi positif yang ada dalam diri peserta didik, termasuk motivasi diri dan gaya belajarnya, tidak terlalu diperhatikan pendidik sebagai kekuatan dahsyat untuk mencapai kesempurnaan diri peserta didik.
Menurut Barbara Prashing (1998: 29), semua manusia dalam berbagai usia dapat mempelajari apa pun apabila dibiarkan melakukannya dengan gaya unik yang sesuai dengan kekuatan pribadi melekat pada dirinya. Mereka akan lebih mampu menampilkan kinerja yang konsisten apabila kondisi bekerjanya sesuai dengan preferensi gaya individual mereka. Apabila keragaman manusia dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses belajar maka hasilnya akan positif: peserta didik akan merasa senang, memperoleh sensasi keberhasilan  meraih sesuatu tanpa frustrasi dan tres, mengalami peningkatan motivasi, dan selalu dapat mengendalikan proses belajar. Peserta didik yang melakukan aktivitas belajar dengan gayanya yang unik sudah pasti didak akan merasa  terbebani dalam mempelejari suatu materi pembelajaran.
Dalam perspektif humanistik,  pendidikan dialogal mengharamkan tindakan edukatif yang: (1) eksploitatif, yaitu memanfaatkan sumber daya peserta didik untuk kepentingan pendidik atau institusi pendidikan, (2) represif, yaitu memberi ruang terjadinya pengekangan dan penindasan yang menimbulkan kematian psikologis peserta didik yang dilakukan oleh pendidik atau institusi pendidikan, (3) tidak adil,  yaitu ketidaksamaan perlakuan terhadap peserta didik, baik dalam aspek  politik, hukum, ekonomi, kultural, dan ideologi maupun dalam pendampingan dan penilaian
peserta didik  dengan rasionalisasi kepentingan tertentu (Windhu, 1992: 113-118).
     Â
b.  Imperatif  Etika dan Moral