Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Habituasi Multikarakter Keberbangsaan melalui Paradigma Pendidikan Dialogal

26 Oktober 2022   12:59 Diperbarui: 26 Oktober 2022   13:15 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ABSTRAK 

Reformasi bidang sosial politik sejak tahun 1998 memunculkan juga sikap anomali yang menggerus jati diri bangsa Indonesia. Identitas keindonesiaan bangsa ini semakin hari semakin meredup di tengah deburan gelombang globalisasi dan reformasi. Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (identitas nasional) sepertinya hanya dijunjung di atas kepala dan terasa "jauh  panggang  dari  api"  dalam  praksis  keindonesiaan. 

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional sejak tahun 2010, mendengungkan pendidikan watak atau karakter bagi anak-anak bangsa usia sekolah. Untuk mengakarkan multikarakter keberbangsaan melalui pendidikan, paradigma pendidikan dialogal dapat menjadi model aktivitas pembelajaran yang konstruktif dan suportif terhadap habituasi nilai-nilai keberbangsaan. Konsep pendidikan dialogal,  yang berporos pada kesederajatan martabat manusia,  dibangun di atas fondasi  (1) humanistik, (2) etika dan moral,  (3) demokrasi dan solidaritas sosial. Habituasi multikarakter melalui paradigma pendidikan dialogal, pada dasarnya, membangun kultur kesebangsaan yang kuat. Membangun kultur kesebangsaan berarti membiasakan setiap warga negara hidup dalam penghayatan yang baik dan benar terhadap nilai-nilai kehidupan. Semua komponen pelaksana pendidikan dibiasakan dengan nilai-nilai kehidupan bersama sebagai bangsa: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu yang positif, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, peduli sosial, peduli lingkungan, kritis, terbuka, adil, gotong royong,  dan menghargai jalan musyawarah dalam mengambil keputusan. 

Kata Kunci: habituasi, multikarakater, dan paradigma pendidikan dialogal

HABITUALIZATION  OF  NATIONAL MULTICHARACTER THROUGH THE DIALOG  PARADIGM OF EDUCATION

ABSTRACT 

Reformation in the political and social fields since 1998 also gave rise to the anomalous attitude that erode the national identity of Indonesia. Identity of indonesianization as a nation are getting increasingly dimming day in the middle of the edge of the wave of globalization and reformation. Pancasila and national motto Bhinneka Tunggal Ika (national identity) seems only to be accepted  in the top of the head and to be tasted "roast away from fire" in praxis  of indonesianization. Therefore, the Ministry of National Education, since 2010, blazed abroad character education for children of school age. To root the national multicharacter  through education, the dialog paradigm of education  can become a constructive and supportive learning activity models  towards habituation of national values. The concept of dialog education  which pivots on a aqual human dignity, built on a foundation of humanistic (1),  ethics and morals (2), democracy and social solidarity (3). Habitualization of national multicharacter through dialog paradigm of education, in essence, build a strong culture of nation. Building a culture of nation means familiarize every citizen to live in a good and true acceptation to values of life. All components of implementing education familiarized with values of life together as a nation: religious, honest, tolerance, discipline, hard work, creative, independent, democratic, positive curiosity, love of the fatherland, to appreciate the achievements, friendly, peace-loving, social care, care for the environment, critical, open, fair, mutual respect, and the deliberations in taking decisions.

Keyword: habitualization, multicharacter, and dialog paradigm of edukation

 

1.  Pendahuluan

Reformasi, yang sudah berjalan sepuluh tahunan, merupakan the third way (Giddens, 2000) kehidupan demokrasi sosial di Indonesia. Setelah Orde Lama (masa kepemimpinan Presiden Soekarno) dan Orde Baru (masa kepemimpinan Presiden Soeharto), gerakan reformasi tampil sebagai "jalan ketiga"  yang menuntut perubahan paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bidang: hak asasi manusia, pendidikan, kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan tekonologi informasi.    Dimensi-dimensi keberbangsaan dan kebernegaraan itu mulai ditata kembali dalam perspektif demokrasi dan globalisasi karena tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kita berubah di dalam waktu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun