Mohon tunggu...
Pierre Goretti
Pierre Goretti Mohon Tunggu... lainnya -

I'm living my truth without your lies… // usahakan tetap waras, berdamailah dan jadilah bahagia :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebotol Bir dan Secangkir Coklat Panas IV ( Cangkir Terakhir)

5 Juli 2016   22:45 Diperbarui: 6 Juli 2016   09:09 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Cup"]Jangan lupa cangkir yang ini :)

Baru saja tiba sekembalinya dari rumah sakit, Noni mendapati sebuah bingkisan yang dibungkus apik dengan pita kuning sebagai aksennya. Dengan penasaran Noni menghampiri bingkisan itu, pertama-tama mencari sebuah kartu ucapan yang mungkin saja membantu menghilangkan rasa penasarannya. Nihil. Dengan tubuh yang masih lemah, Noni terduduk dikursi sambil membuka bingkisan yang tak bisa dikatakan kecil itu.

Sebuah kue tart coklat dengan tulisan “ Billion thank you and I love you.” Tanpa nama pengirim, Noni sudah tahu siapa pelakunya, dengan perlahan dia bangkit dari kursinya, menguatkan langkah untuk masuk ke dalam rumah dan merebahkan diri yang dirasanya semakin lemah. Mengambil ponsel dalam tasnya segera menekan tombol speed dial.

“Hallo Noni…” terdengar suara menyambut panggilan Noni.

“Kamu iseng banget sih, ada acara apa coba kirim-kirim tart coklat kaya gini.”

“ya..”

“eits, aku belum selesai.” Sela Noni sambil sejenak mengatur nafasnya. “ Terima kasih ya untuk kirimannya, aku suka.” Lanjut Noni dan diakhiri dengan bunyi batuknya yang sudah semakin sering terdengar.

“Hehehe makasih ya, kamu sudah terima pemberian aku, aku juga senang dengarnya. I love you, Non.”

Noni tersenyum membalas pernyataan tersebut, “Tapi maksud kalimatnya apa?”

“Iya, aku bersyukur aja kamu masih mau terima kedatangan aku kembali ke kehidupan kamu, meskipun secara logika dan ego harusnya..”

“Stop.” Lagi, Noni menyela pembicaraan yang belum selesai itu. “Kedatangan kamu kembali itu kerinduan aku, kekecewaanku yang dulu saat kehilangan kamu kalah dengan rasa keinginan aku untuk bisa mengenal kamu, kabar kamu, keberadaan kamu.” Seperti terdengar suara Noni agak bergetar diakhir pembicaraan. Seketika pembicaraan via telepon itu menjadi hening dan begitu melankolis.

“Non..”

“Ya?”

“Masih mau bicara lewat sini atau langsung?” tiba-tiba suara di balik telpon itu terdengar begitu dekat dan aroma khas lelaki tercium segar jelas dalam penciuman Noni. “I love you, Noni.” Sebuket mawar merah muda kini menutup pandangannya, tidak perlu berbalik badan untuk melihat siapa yang ada dibelakangnya, Noni hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. “I love you… I love you... I love youuuuuuuu.” Tubuh itu memeluk mesra tubuh Noni yang semakin mengecil, menggoyangkannya ke kanan dan kekiri.

“Ujang, kamu tuh gak bosan-bosan kirimin aku ina-itu, lihat tuh banyak banget kiriman kamu.”  Noni menunjuk lemari cabinet dan meja yang ada di sekeliling kamar mungilnya itu. Tumpukan film dari berbagai genre, CD lagu-lagu instrument yang up beat dan beberapa yang menenangkan, Novel-novel ringan terbitan local, barang-barang make up dan segala macam variasi yang diberikan Ujang tak henti sejak lima bulan lalu sekembalinya dia dari pelariannya yang mendadak.

“Semua ini gak akan cukup untuk tebus waktu aku yang hilang sia-sia sama kamu cuma karena keegoisan aku dulu, aku kasih ini ke kamu biar kamu selalu ngerasa kalau aku dekat kamu, aku ada sama kamu, meskipun kamu larang-larang aku untuk kirim kamu ini semua karena perasaan gak enak kamu ke aku, tapi aku..”

“Ok, stop. Hari ini pembicaraan kita terlalu melankolis Jang, dan itu bisa buat aku makin sulit bernafas.” Noni kembali menyela pembicaraan Ujang yang mulai memancing emosi Noni, ingin rasanya mendengar semua kalimat manis dari ujang tapi rasanya tidak Noni tidak sanggup mendengarnya dengan kondisinya saat ini. Ujang mencoba mengerti, walaupun rasanya ingin sekali ia melanjutkan isi hatinya agar wanita pujaannya itu kembali percaya pada dirinya.

***

Hari ini Ujang berulang tahun, Noni mengucapkan doanya melalui telepon, bercerita tentang segala sesuatu semalam suntuk dan terhenti saat Noni tertidur. Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari, waktu dimana mata sudah mengajak untuk berkatup dan pikiran lelah untuk berfikir, bahkan wanita kesayangannya sudah tak tahan melawan kantuk dan meninggalkannya dalam lelap. Seperti ada yang mengusik hatinya, Ujang terlihat begitu gelisah, melawan pikirannya sendiri yang berkelana dan tak mau berhenti. Sejam, dua jam berlalu dan Ujang masih berputar-putar gelisah tak beralasan, hingga sejenak mendapati lelap yang diinginkannya sebelum terbangun karena cipratan air hujan yang masuk melalui jendela kamarnya yang tak tertutup semalaman.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, langit terlihat begitu cerah dipagi yang masih baru, segera Ujang mandi dan pergi menuju rumah Noni, terlalu pagi memang, tapi rasanya dia sudah tidak sabar untuk ada disamping Noni, ya sekedar untuk ada di samping Noni, melihat keberadaannya.

Akhir pekan, pagi selepas hujan, kondisi jalanan lengang dan Ujang tiba di rumah Noni sebelum jam delapan pagi. Dengan sedikit sungkan Ujang mengetuk pintu rumah Noni, disambut Ayah membukakan pintu.

“Ujang?” Tanya Pria paruh baya dengan nada Tanya yang jelas.

“Iya om, umm… gak papa kan om? Kalau masih terlalu pagi saya nunggu diluar atau di motor juga gak masalah si om.” Entah kalimat apa yang dikeluarkan Ujang dalam kekikukannya.

“Tidak apa Jang, ayo masuk, kami mengerti kok.” Sahut Tante Lady, Ibu dari Noni, yang mendengar kedatangan dan percakapannya. “Tunggu ya, Tante coba lihat Noni di kamarnya.”

Sementara Ujang berbincang dengan Om Subrata, Tante Lady menghampiri Noni dikamarnya, begitu ringkih, tubuh Noni terlihat meringkuk dengan selimut yang tersibak, entah mengapa Tante Lady ingin meneteskan air mata begitu saja saat melihatnya, tapi Tante Lady harus menyembunyikan semua kesedihannya, menarik nafasnya dalam dan menghembus, mengatur nafasnya kemudian menghampiri Noni yang sudah terlihat menggeliat.

“Mama?”

“Selamat pagi cantik, sudah mau bangun atau masih mau leyeh-leyeh di kasur?”

“Masih mau dikasur ma, boleh?”

“Boleh sih, tapi… gak nyesel?”

“Maksudnya?”

“Si Ujang sudah nunggu kamu diruang tamu.”

“Aduh Ujangngngng…” dengan nada sedikit meninggi karena kaget dan bingung suara Noni terdengar keluar kamar hinggap di telinga Ujang.

“Kamu gak perlu keluar kamar kok, kalau masih mau leyeh-leyeh mama bisa minta Ujang menunggu, dia pasti ngerti.” Sambil memeluk gadisnya yang semakin menirus, Tante Lady berupaya menyamankan Noni dari kekagetannya.

“Iya, kamu gak perlu turun dari tempat tidur Non, aku nunggu kamu kok.” Belum selesai kekagetan Noni karena kedatangannya yang tidak biasa, kini Ujang bersama Papanya sudah ada di tepi pintu kamar. Ujang mendekat menghampiri meja sebelah tempat tidur Noni dan menaruh secangkir coklat panas untuk Noni.

Semua saling menatap dan tersenyum penuh makna melihat ekspresi Noni yang kesal, senang tapi manja, ditambah aroma coklat yang begitu mampu membuat Noni merasa nyaman. “Aku mau leyeh-leyeh aja tapi sama Ujang.” Gumamnya pelan, seolah hanya bicara pada dirinya sendiri. “Boleh.” Sahut Tante Lady dan Om Subrata kompak, ternyata kamar Noni yang tidak begitu besar dan keheningan pagi itu membawa suara Noni yang lembut mampu tertangkap jelas ditelinga orang tuanya.

“Serius Om?” Spontan Ujang merasa kegirangan dengan ijin yang didengarnya itu. “I trust you.” Bisik  Om Subrata tepat ditelinga Ujang sambil menepuk pundak Ujang dan meninggalkannya.

“Mama tinggal kalian dulu yah.” Meninggalkan anak gadisnya bersama dengan teman lelakinya di kamar, pagi hari, tentu bukan hal biasa dan lazim bagi keluarga itu, tapi Tante Lady kenal betul bahasa tubuh suaminya, Ia selalu percaya akan kebijakan suaminya, tanpa bertanya dan berargumen.

Usai menyeruput coklat panas buatan ujang, Noni kembali menyandarkan tubuhnya pada dinding yang merapat dengan tempat tidurnya, memberikan kode kepada Ujang untuk duduk disampingnya. Dengan nafas yang semakin berdengik, Noni menyadarkan kepalanya pada bahu Ujang. Udara yang dingin semakin meningkatkan frekuensi batuknya pagi ini. “Ada apa Jang?” Tanya Noni singkat tapi penuh makna sambil mengatur nafasnya yang semakin sesak.

“Nggak ada apa-apa Non, cuma mau lihat wajah kamu, cuma mau lihat kondisi kamu, cuma mau ada disamping kamu aja, gak apa kan?” tiba-tiba suara ujang terdengar bergetar dan diakhiri dengan dengusan nafas yang panjang.

“Gak apa kok Jang.”

Hening, hanya suara dengusan nafas yang berulang terdengar bersautan. “Kamu juga gak masalah kan Jang?” Lanjut Noni pelan sambil terus mengatur nafasnya yang sesak.

“Aku? Masalah? Kenapa Non?”

Air mata Noni menetes dan terjatuh membasahi bahu Ujang sebelum dia mampu berkata, Ujang ingin bereaksi menghapus air mata Gadisnya itu, tapi sepersekian detik ia mengurungkan niatnya, dia merelakan Noni untuk meluapkan emosinya, dengan menahan air mata yang sudah mulai ikut menumpuk, Ujang menelan ludah, seolah melonggarkan tenggorokannya.

“Kamu gak masalah kan kalau aku tinggal nanti? Kalau aku harus pergi lebih dulu dari kamu. Kalau aku harus…” Ucapan Noni terhenti, Ujang pun tetap berdiam, bukan karena ingin terus mendengarkan penjelasan Noni tapi karena Ujang harus mengontrol emosinya agar tidak membuat Noni semakin lemah dalam kondisinya.

“Maafin aku ya Non, maafin orang-orang seperti aku yang membuat kamu mengalami penyakit ini. Aku pasti mengalami masalah kalau memang kamu pergi meninggalkan aku lebih dulu, tapi yang aku mau sekarang, kamu harus ke rumah sakit, semalam suntuk aku gelisah mikirin kamu, tubuh kamu makin mengecil, nafas kamu makin sesak, pokoknya kamu harus..” Ujang memutar arah tubuhnya, mengambil posisi untuk menggendong Noni dan membawanya ke Rumah Sakit.

“Jang,… penyakit ini … tidak enak,…” Noni berupaya berargumen menahan aksi dari Ujang dengan nafasnya yang tersengal-sengal. “bahkan… bernafas pun… sudah… tidak menyenangkan buat… aku, aku mohon,… biarkan aku menikmati…. sisa hidupku… dengan orang… orang-orang… yang aku sayang…, bukan… dengan obat… dan… para medis.” Kali ini air mata Noni berjatuhan dari matanya yang memohon.

Tak ada lagi kekuatan, Ujang menarik kepala Noni dan meletakkannya di dadanya, Ujang menangis dan mencium kening Noni dengan lekatnya. Tanpa bisa berkata Ujang dan Noni saling berdoa dalam hati, saling meminta kekuatan untuk orang yang disayangi.

“Pakaian aku.. ada di laci itu…., surat aku ada di… bawah pakaianku, buat Mama…, buat Papa dan… buat kamu.”

Ujang ingin menghentikan kicauan dari mulut Noni tapi dia tak mampu berkata dengan semua emosi kesedihan yang sedang ditahannya. Ujang hanya menggeleng-gelengkan kepala dan memeluk Noni semakin erat. Dibalik dinding kamar Noni, dekat pintu kamar yang terbuka lebar, tidak hanya Ujang yang berupaya keras menahan suara dari tangisannya, kedua orang tua Noni, Tante Lady dan Om Subrata ternyata mengawasi pembicaraan mereka dari balik dinding itu, mereka saling berpelukan dan menangis satu sama lain dan menahan suara duka dari dalam jiwa itu.

***

Dengan gaun putih yang didesain dan dijahit sendiri olehnya, Noni terpejam tenang di atas pembaringannya. Wajahnya beriaskan make up natural karya Tante Lady, rambutnya yang dipertahankan panjang diarahkan kedepan seolah selendang hitam menghiasi gaunnya di satu sisi. Ada sedikit senyum di bibirnya yang menandakan kebahagiaannya.

Semua tamu datang dengan mengenakan pakaian sesuai tema yang diajukan Noni, Putih. Alunan music instrument dari salah satu kaset yang pernah diberikan oleh Ujang pun diputar sesuai dengan permintaan Noni.

Terlihat di sisi pembaringan Noni, para tamu datang dan bersalaman dengan Tante Lady dan Om Subrata sambil mengucapkan salam dukacita. Ujang tak perduli dengan semua tamu yang datang, dengan posisi duduk di samping jenazah Noni, Ujang memegang tangan Noni yang terkatup seolah berdoa.

***  

Benar juga kata Noni selama ini, aroma coklat selalu menenangkan, hangatnya mampu menstabilkan perasaan yang tak nyaman. Sambil menyeruput coklat panas, Ujang membaca surat itu.

Hello Ujang, Kesayanganku, sukacitaku.

Aku pergi dulu ya, sekarang skor kita 1-1, bedanya dulu kamu pergi tanpa kabar sedangkan aku sekarang pergi dengan pamit lebih dulu sama kamu.

Aku mengucap syukur, karena di sisa-sisa usiaku, aku bisa merasakan cinta yang aku impikan, cinta yang bueeesssaaaaaarrrrr sekali, yang bertubi-tubi yang tidak habis-habisnya dan tidak bosan-bosannya kamu berikan untuk aku. Aku beritahu kamu satu rahasia aku ya, setiap aku menerima bingkisan dari kamu rasa senang aku melambung jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh sekali dan malamnya berkali – kali syukur selalu aku ucapkan dalam doaku karena kamu, termasuk saat aku mengingat kembali moment-moment itu, kelak nanti kalau aku suda di Surga aku pasti akan ceritakan kebaikan hati kamu, cinta kamu ke aku  sama semua malaikat-malaikat supaya seisi Surga tahu bahwa ada cinta di dunia ini.

Aku minta maaf ya kalau selama ini aku tidak mampu membalas cinta kamu yang begitu besar sesuai dengan harapan kamu. Maaf kalau selama ini aku tidak pernah membalas kata cinta dari kamu, aku takut kamu akan semakin cinta dan kelak susah melepas aku (PD banget aku ya hehehhe)

Kamu sehat-sehat ya, ingat kamu pasang ring di jantung kamu untuk memperpanjang usia kamu, bukan untuk menyesali apa yang sudah terjadi. Kalau kamu kelak bertemu cinta dalam diri gadis lain, jangan lupa untuk berani menunjukkannya seperti apa yang pernah kamu lakukan sama aku selama ini ya, aku pasti senang sekali bisa melihat kamu mencintai dan dicintai di dunia.

Ingatkan diri kamu, Ingatkan sekitar kamu, merokok aktif itu merenggut hak kehidupan perokok pasif. Jangan lagi ya.

Kalau kamu rindu aku, secangkir coklat panas pasti selalu bisa menyamankanmu.

I Love You, Ujang.

 

Salam,

Noni  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun