Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Investasi Surat Utang Negara di Masa Resesi

8 Desember 2020   08:30 Diperbarui: 8 Desember 2020   08:30 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

versi lebih pendek dari tulisan ini dimuat di kolom opini Bisnis Indonesia, 2 Desember 2020.

======

Kinerja Surat Utang Negara (SUN) sepanjang tahun berjalan mencapai 12,5% (per 25 November), jauh diatas kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang koreksi 9,8%. Momentum kinerja SUN ini melanjutkan kinerja 2019, dimana return investasi SUN sebesar 13,8%, melebihi kinerja IHSG yang sekitar 4,2%.

Kinerja SUN yang superior di saat ekonomi resesi, menjadikan SUN sebagai pilihan investasi favorit saat ini. Namun, seperti peringatan di brosur produk investasi: Kinerja masa lalu bukan merupakan jaminan, indikasi atau perkiraan untuk kinerja masa depan.

Perkiraan Return Investasi SUN

Yield SUN 10-tahun saat ini 6,2%, dibawah rata-rata yield era 2012-2020 yang sekitar 7,3%. Yield 6,2% ini memang masih diatas yield SUN terendah di tahun 2012, yaitu 5,1%. Sejalan semakin rendahnya imbal hasil SUN, volatilitas harga SUN semakin meningkat.

Menghitung perkiraan return investasi SUN sangat sederhana. Bila imbal hasil SUN tenor 10-tahun saat ini 6,2%, dengan pajak 15%, maka imbal hasil bersih yang investor dapatkan dalam jangka panjang (sampai jatuh tempo) hanya 5,3%.

Kenaikan harga SUN (capital gain) yang besar sepanjang 2019-2020, membuat penasihat finansial mengiming-iming return investasi SUN minimal 8% di tahun 2021. Perlu diperhatikan, capital gain SUN di tahun 2019-2020 diperoleh setelah harga SUN mengalami koreksi tajam sepanjang 2018. Hal serupa di periode 2014-2017, dimana rata-rata return investasi SUN yang tinggi adalah 'hasil kejatuhan' harga SUN di tahun 2013.

Karena yield SUN saat ini rendah (6,2%), investor konservatif sebaiknya mengasumsikan harga SUN stagnan di 2021. Bahkan, investor yang skeptis akan mempertimbangkan koreksi harga ekstrem SUN seperti terjadi pada tahun 2013, 2015, dan 2018.

Prospek Ekonomi Makro vs Likuiditas

Asumsi potensi koreksi harga SUN (kenaikan yield SUN) mengingat kondisi rasio beban utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus naik. Tren kenaikan beban utang pemerintah sudah terjadi sejak 2013, yang saat itu sekitar 25%PDB. Pandemi Covid-19 menyebabkan beban utang pemerintah naik tajam ke 38%PDB pada 2020, dibandingkan 30%PDB pada akhir 2019.

Penguatan nilai tukar Rupiah dan rendahnya inflasi sering dianggap sebagai indikator pendukung bullish investasi SUN. Masalahnya, penguatan Rupiah sangat tergantung arus modal portofolio SUN, yang tertarik karena yield SUN tinggi. Saat yield SUN sudah rendah, seperti di awal 2013 dan 2018, maka setiap sentimen negatif dapat memicu arus modal keluar dengan cepat.

Sedangkan inflasi rendah saat ini dikarenakan daya beli masyarakat yang jatuh, bukan karena peningkatan produktivitas. Jadi inflasi rendah ini indikasi kinerja ekonomi menurun, bukan stabilisasi ekonomi makro.

Stabilnya pasar finansial di saat ekonomi makro memburuk terjadi karena injeksi likuiditas ke pasar oleh bank sentral. Pemulihan harga SUN (yield turun) terjadi berhubung investor lebih berani mengambil risiko karena ketersediaan likuiditas (liquidity driven rally), bukan rally karena membaiknya kondisi ekonomi makro (fundamental driven rally).

Misal, the Fed Amerika, European Central Bank, dan Bank of Japan melakukan quantitative easing (QE) sehingga menambah likuiditas ke sistem keuangan secara esktrem. Pada November 2020, rasio aset Bank Sentral terhadap PDB di Amerika, Uni Eropa, dan Jepang masing-masing mencapai 33%, 23%, dan 127%; naik tajam dibandingkan akhir 2019 yang masing-masing sekitar 19%, 15%, dan 104%.

Sebagai dampak QE, yield Treasury tenor 10-tahun di Amerika, Jerman, dan Jepang turun drastis ke sekitar 0,8%, negatif 0,6%, dan 0,02%. Imbal hasil Treasury di negara maju yang sangat rendah tersebut memicu arus modal masuk ke berbagai emerging market dengan imbal hasil relatif tinggi seperti Indonesia.

Pada saat bersamaan, Bank Indonesia (BI) dan Bank Komersial melakukan pembelian SUN secara agresif sepanjang tahun, masing-masing mencapai Rp472 triliun dan Rp362 Triliun (per 19 November). Pembelian SUN oleh BI adalah bagian dari skema burden sharing bersama dengan pemerintah dalam rangka pembiayaan penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Di sektor perbankan, meningkatnya simpanan dana pihak ketiga (DPK) kontras dengan lesunya penyaluran kredit. Karena penyaluran kredit stagnan, bank komersial memilih menyimpan dana di SUN yang aman sehingga membantu penurunan dan stabilisasi imbal hasil SUN.

Apakah kondisi ekonomi ke depan akan memburuk atau membaik, akibatnya pada skenario investasi SUN sama-sama negatif.

Bila ekonomi Indonesia semakin menurun kinerjanya, sehingga beban utang pemerintah naik diatas 40% PDB, imbal hasil SUN cenderung akan naik.

Sebaliknya, bila vaksin Covid-19 tersedia dan harapan pemulihan ekonomi terjadi, maka investor global akan mengurangi investasi safe haven asset seperti US Treasury sehingga terjadi siklus kenaikan yield global. Risiko kenaikan yield US Treasury potensial memicu arus modal keluar dari SUN Indonesia. Dan bila ekonomi Indonesia pulih mengikuti skenario pemulihan ekonomi global, maka bisnis perbankan kembali ekspansi sehingga permintaan SUN menurun dan imbal hasil SUN juga potensial naik.

Prospek Investasi SUN 2021

Saat banjir likuiditas, tidak ada investor yang perduli dengan kondisi fundamental ekonomi. Apalagi bila eforia dan momentum harga terus mendukung sikap spekulatif investor.

Sebagaimana Chuck Prince, mantan CEO Citigroup, pernah menyatakan "When the music stops, in terms of liquidity, things will be complicated. But as long as the music is playing, you've got to get up and dance. We're still dancing" (Financial Time, 7 Juli 2007).

Dan saat ini 'musik' tersebut adalah banjir likuiditas dari QE Bank Sentral negara maju. Melihat eforia investasi SUN saat ini dan imbal hasil SUN yang relative rendah, penulis berpendapat bahwa prospek investasi SUN di tahun mendatang memiliki risiko koreksi harga yang tinggi dengan potensi return yang rendah (high risk, low return).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun