Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Investasi Surat Utang Negara di Masa Resesi

8 Desember 2020   08:30 Diperbarui: 8 Desember 2020   08:30 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penguatan nilai tukar Rupiah dan rendahnya inflasi sering dianggap sebagai indikator pendukung bullish investasi SUN. Masalahnya, penguatan Rupiah sangat tergantung arus modal portofolio SUN, yang tertarik karena yield SUN tinggi. Saat yield SUN sudah rendah, seperti di awal 2013 dan 2018, maka setiap sentimen negatif dapat memicu arus modal keluar dengan cepat.

Sedangkan inflasi rendah saat ini dikarenakan daya beli masyarakat yang jatuh, bukan karena peningkatan produktivitas. Jadi inflasi rendah ini indikasi kinerja ekonomi menurun, bukan stabilisasi ekonomi makro.

Stabilnya pasar finansial di saat ekonomi makro memburuk terjadi karena injeksi likuiditas ke pasar oleh bank sentral. Pemulihan harga SUN (yield turun) terjadi berhubung investor lebih berani mengambil risiko karena ketersediaan likuiditas (liquidity driven rally), bukan rally karena membaiknya kondisi ekonomi makro (fundamental driven rally).

Misal, the Fed Amerika, European Central Bank, dan Bank of Japan melakukan quantitative easing (QE) sehingga menambah likuiditas ke sistem keuangan secara esktrem. Pada November 2020, rasio aset Bank Sentral terhadap PDB di Amerika, Uni Eropa, dan Jepang masing-masing mencapai 33%, 23%, dan 127%; naik tajam dibandingkan akhir 2019 yang masing-masing sekitar 19%, 15%, dan 104%.

Sebagai dampak QE, yield Treasury tenor 10-tahun di Amerika, Jerman, dan Jepang turun drastis ke sekitar 0,8%, negatif 0,6%, dan 0,02%. Imbal hasil Treasury di negara maju yang sangat rendah tersebut memicu arus modal masuk ke berbagai emerging market dengan imbal hasil relatif tinggi seperti Indonesia.

Pada saat bersamaan, Bank Indonesia (BI) dan Bank Komersial melakukan pembelian SUN secara agresif sepanjang tahun, masing-masing mencapai Rp472 triliun dan Rp362 Triliun (per 19 November). Pembelian SUN oleh BI adalah bagian dari skema burden sharing bersama dengan pemerintah dalam rangka pembiayaan penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Di sektor perbankan, meningkatnya simpanan dana pihak ketiga (DPK) kontras dengan lesunya penyaluran kredit. Karena penyaluran kredit stagnan, bank komersial memilih menyimpan dana di SUN yang aman sehingga membantu penurunan dan stabilisasi imbal hasil SUN.

Apakah kondisi ekonomi ke depan akan memburuk atau membaik, akibatnya pada skenario investasi SUN sama-sama negatif.

Bila ekonomi Indonesia semakin menurun kinerjanya, sehingga beban utang pemerintah naik diatas 40% PDB, imbal hasil SUN cenderung akan naik.

Sebaliknya, bila vaksin Covid-19 tersedia dan harapan pemulihan ekonomi terjadi, maka investor global akan mengurangi investasi safe haven asset seperti US Treasury sehingga terjadi siklus kenaikan yield global. Risiko kenaikan yield US Treasury potensial memicu arus modal keluar dari SUN Indonesia. Dan bila ekonomi Indonesia pulih mengikuti skenario pemulihan ekonomi global, maka bisnis perbankan kembali ekspansi sehingga permintaan SUN menurun dan imbal hasil SUN juga potensial naik.

Prospek Investasi SUN 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun