Perilaku investor asing saat ini sangat berbeda dengan respon mereka paska koreksi signifikan harga SUN dan kurs Rupiah di tahun 2008, 2013, 2015, dan 2016. Â
Pada masa koreksi itu, investor asing konsisten mengakumulasi SUN dalam sekala besar. Misalnya rekor arus modal masuk (inflow) asing tahunan tertinggi ke SUN terjadi di 2014 dan 2017, masing-masing sebesar Rp 138 triliun dan  Rp 170 Triliun. Saat ini, untuk periode tahun berjalan per 28 September 2018, inflow investor asing di SUN hanya sekitar Rp 15 Triliun.
Di tahun 2018, puncak inflow modal asing ke SUN terjadi pada pertengahan Januari dan April masing-masing berkisar Rp 44 triliun dan Rp 37 triliun. Tetapi, saat terjadi penjualan SUN oleh asing, harga SUN terkoreksi tajam dan Rupiah melemah signifikan.Â
Ketika investor global kembali membeli SUN sepanjang Juli-Agustus, dan akhir September pemulihan harga SUN terbatas dan koreksi kurs Rupiah berlanjut. Investor global yang membeli SUN sepertinya bersikap menunggu dan meminta imbal hasil (yield) yang lebih tinggi.
Perbedaan perilaku investor asing diatas mengindikasikan perubahan struktural yang bersifat jangka panjang, yaitu ancaman kenaikan bunga global yang berkelanjutan.Â
Perubahan struktural ini dikonfirmasi di mana perbaikan peringkat investasi Indonesia sejak 2012 dan perolehan layak investasi dari S&P di 2017 tetap disertai oleh kenaikan yield SUN Â dan pelemahan kurs Rupiah.
Ada tiga faktor yang membuat investasi SUN saat ini menjadi kurang menarik, yaitu:
Pertama, faktor tren kenaikan US Treasury yield yang dimulai pada semester kedua 2016 dari titik terendah 1,4%, masih terus belanjut. Setelah cenderung konsolidasi dan bertahan dibawah 3% sepanjang Januari-Agustus 2018, saat ini US Treasury yield kembali menembus 3,1%. Membengkaknya defisit anggaran pemerintah Amerika membuat penawaran US Treasury terus bertambah. Akibatnya, harga US Treasury cenderung turun dan yield naik.
Potensi kenaikan US Treasury yield juga disertai momentum penguatan mata uang Dolar Amerika sejak awal 2018. Indek Dolar Amerika (DXY Index) naik ke 95 dari 89 di akhir Januari. Sangat kontras dengan periode Januari-2017 -- Januari-2018, dimana DXY Index melemah dari 102 ke 89. Akibatnya, arus modal global ke emerging market, termasuk Indonesia, berkurang tajam.
Tren penguatan Dolar Amerika yang terjadi sejak akhir 2011 diperkirakan akan kembali berlanjut sejalan dengan isu perang dagang, momentum rally saham di Amerika, dan kecenderungan investor global mengamankan investasi finansialnya.
Kedua, melemahnya fundamental makro Indonesia. Meski pertumbuhan ekonomi mencapai 5% dan inflasi rendah, namun membengkaknya defisit transaksi berjalan tetap mengkhawatirkan. Sedangkan komitmen kebijakan stabilisasi ekonomi makro pemerintah melemah. Ambisi pembangunan proyek infrastruktur dan stabilisasi harga BBM/listrik memperberat keuangan negara.