Publikasi di kolom OPINI, Harian KONTAN, 4 Oktober 2018
Tulisan ini awalnya diupayakan terbit pada pertengahan September 2018, saat yield SUN mencapai 8.6%. Tapi kemudian tertunda krn lebih dominan berita nilai tukar.Â
Saat yield SUN turun ke 8.1%, baru dipublikasi perlu revisi sana-sini terkait data-data dan cerita ada yg jadi kurang gresss. Tapi, tulisan ini semakin relevan saat ini sejalan dengan kembali terkoreksinya bursa SUN dimana yield mencapai 8.7% per 12Oktober.
So, sesekali editor koran yg menjadi market timer dinamika bursa dan tulisan
 = = =
Di tahun 2018 sampai akhir September, Indeks Harga Surat Utang Negara (SUN) dari IBPA mengalami koreksi 10,0%, sehingga Total Return Investasi SUN menjadi negatif 4,6% (Total Return = Akumulasi Kupon + perubahan Harga SUN).Â
Sejalan koreksi harga, yield SUN tenor 10-tahun naik menjadi 8,1%, dibandingkan yield awal tahun sekitar 6,3%. Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika juga mengalami pelemahan menembus Rp 15.000 , terendah dalam 20-tahun terakhir.
Dari sisi valuasi, yield SUN di 8,1% membuat harga SUN relatif murah. Spread SUN saat ini terhadap inflasi, bunga kebijakan Bank Indonesia (BI 7DRR), US Treasury Yield, masing-masing sekitar: 5,2%, 2,4%, dan 5,0%.Â
Spread saat ini lebih tinggi dibandingkan spread awal tahun yang masing-masing sekitar: 2,7%, 2,0%, dan 3,9%. Spread terhadap yield SUN negara berkembang tetangga seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Thailand juga positif, masing-masing mencapai: 0,5%, 3,1%, 4,0%, dan 5,3%.
Valuasi SUN yang murah ternyata belum cukup menarik investor asing untuk membeli SUN berdenominasi Rupiah. Namun, investor asing tetap membeli SUN berbasis mata uang asing (Dolar Amerika).Â
Investor global ternyata meyakini kekuatan fundamental ekonomi Indonesia dan kemampuan Pemerintah membayar hutang, tetapi menghindari risiko rugi kurs bila membeli SUN berdenominasi Rupiah.
Perilaku investor asing saat ini sangat berbeda dengan respon mereka paska koreksi signifikan harga SUN dan kurs Rupiah di tahun 2008, 2013, 2015, dan 2016. Â
Pada masa koreksi itu, investor asing konsisten mengakumulasi SUN dalam sekala besar. Misalnya rekor arus modal masuk (inflow) asing tahunan tertinggi ke SUN terjadi di 2014 dan 2017, masing-masing sebesar Rp 138 triliun dan  Rp 170 Triliun. Saat ini, untuk periode tahun berjalan per 28 September 2018, inflow investor asing di SUN hanya sekitar Rp 15 Triliun.
Di tahun 2018, puncak inflow modal asing ke SUN terjadi pada pertengahan Januari dan April masing-masing berkisar Rp 44 triliun dan Rp 37 triliun. Tetapi, saat terjadi penjualan SUN oleh asing, harga SUN terkoreksi tajam dan Rupiah melemah signifikan.Â
Ketika investor global kembali membeli SUN sepanjang Juli-Agustus, dan akhir September pemulihan harga SUN terbatas dan koreksi kurs Rupiah berlanjut. Investor global yang membeli SUN sepertinya bersikap menunggu dan meminta imbal hasil (yield) yang lebih tinggi.
Perbedaan perilaku investor asing diatas mengindikasikan perubahan struktural yang bersifat jangka panjang, yaitu ancaman kenaikan bunga global yang berkelanjutan.Â
Perubahan struktural ini dikonfirmasi di mana perbaikan peringkat investasi Indonesia sejak 2012 dan perolehan layak investasi dari S&P di 2017 tetap disertai oleh kenaikan yield SUN Â dan pelemahan kurs Rupiah.
Ada tiga faktor yang membuat investasi SUN saat ini menjadi kurang menarik, yaitu:
Pertama, faktor tren kenaikan US Treasury yield yang dimulai pada semester kedua 2016 dari titik terendah 1,4%, masih terus belanjut. Setelah cenderung konsolidasi dan bertahan dibawah 3% sepanjang Januari-Agustus 2018, saat ini US Treasury yield kembali menembus 3,1%. Membengkaknya defisit anggaran pemerintah Amerika membuat penawaran US Treasury terus bertambah. Akibatnya, harga US Treasury cenderung turun dan yield naik.
Potensi kenaikan US Treasury yield juga disertai momentum penguatan mata uang Dolar Amerika sejak awal 2018. Indek Dolar Amerika (DXY Index) naik ke 95 dari 89 di akhir Januari. Sangat kontras dengan periode Januari-2017 -- Januari-2018, dimana DXY Index melemah dari 102 ke 89. Akibatnya, arus modal global ke emerging market, termasuk Indonesia, berkurang tajam.
Tren penguatan Dolar Amerika yang terjadi sejak akhir 2011 diperkirakan akan kembali berlanjut sejalan dengan isu perang dagang, momentum rally saham di Amerika, dan kecenderungan investor global mengamankan investasi finansialnya.
Kedua, melemahnya fundamental makro Indonesia. Meski pertumbuhan ekonomi mencapai 5% dan inflasi rendah, namun membengkaknya defisit transaksi berjalan tetap mengkhawatirkan. Sedangkan komitmen kebijakan stabilisasi ekonomi makro pemerintah melemah. Ambisi pembangunan proyek infrastruktur dan stabilisasi harga BBM/listrik memperberat keuangan negara.
Komitmen pembangunan infrastruktur harus didukung sebagai investasi strategis jangka panjang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, subsidi stabilisasi harga BBM atau energi ditengah kenaikan harga minyak dunia merupakan kebijakan populis yang akan memperburuk defisit APBN dan transaksi berjalan.
Dampak negatif memprioritaskan dan memperbesar alokasi subsidi BBM/energi tidak dapat dicegah, yaitu berupa pelemahan Rupiah dan peningkatan rasio utang pemerintah terhadap PDB.Â
Saat ini, rasio utang pemerintah terhadap PDB yang mencapai 30% memang aman. Yang perlu diperhatikan, setelah turun ke titik terendah 24% pada 2012, indikator rasio utang pemerintah terhadap PDB konsisten mengalami kenaikan.Â
Berlanjutnya defisit APBN, pelemahan nilai tukar Rupiah, dan kenaikan yield SUN; memungkinkan rasio utang pemerintah terhadap PDB pada tahun 2021-2022 terus naik ke 33% Â sampai 35%.
Meski rasio ini masih aman, perlu diingat bahwa potensi gejolak finansial global saat ini sekalanya jauh lebih besar dibandingkan gejolak di tahun 2008, 2013, dan 2015.
Ketiga, posisi investor global di SUN sudah sangat tinggi (overweight). Porsi kepemilikan asing di SUN sempat mencapai 41% pada Januari 2018, tertinggi dalam sejarah.Â
Di seluruh dunia, ada tiga negara lain yang porsi kepemilikan SUN-nya lebih tinggi dari Indonesia, yaitu (% porsi kepemilikan asing): Peru (48%), Ceko (42%), dan Afrika Selatan (42%). Sejalan dengan perubahan sentimen, porsi kepemilikan asing di SUN menurun ke 37%.
Kenaikan porsi kepemilikan asing di SUN sering dipersepsikan positif: kepercayaan investor global kepada Indonesia tinggi. Tetapi, kepercayaan pasar juga mudah berubah dan memicu kepanikan.Â
Dengan kepemilikan asing yang tinggi, investor asing yang membeli SUN melakukannya dengan sangat hati-hati sehingga kenaikan harga SUN dan penguatan kurs Rupiah relatif terbatas. Sebaliknya, saat investor asing panik dan menjual SUN, kejatuhan harga SUN dan depresiasi Rupiah menjadi sangat besar, seperti yang terjadi di tahun 2013, 2015, dan baru-baru ini. Â
Rekomendasi
Secara valuasi, yield SUN relatif tinggi (= harga murah) dan cukup menarik. Tetapi prospek tren kenaikan bunga global, penguatan Dolar Amerika, melemahnya fundamental ekonomi Indonesia, dan porsi kepemilikan asing yang tinggi di SUN menjadikan potensi risiko koreksi harga SUN sangat tinggi. Kami merekomendasikan investor tetap memperpendek durasi portofolio SUN dan hanya berinvestasi di SUN tenor 5-tahun atau lebih pendek.
Bila skenario ekstrim terjadi, seperti yield SUN menembus 9% dan porsi kepemilikan asing di SUN turun di bawah 35%, baru investor bisa mempertimbangkan membeli SUN tenor panjang (10 tahun -- 30 tahun). Apalagi bila disertai peningkatan spread yield SUN terhadap US Treasury yield diatas 6%.
Publikasi Harian KONTAN, Kamis, 4 Oktober 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H