Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tasbih yang Digenggaman Aisyah

11 April 2021   01:09 Diperbarui: 11 April 2021   01:13 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Om, Dokter bilang Mama uda boleh pulang dalam beberapa hari."

"Ke rumah Om aja, ya. Ada Tantemu di rumah yang juga bisa bantu jaga Mamamu bergantian."

"Apa nggak ngerepotin, Om?"

"Kayak sama orang lain aja, deh."

Kondisi Mama kian membaik setelah melewati masa kritisnya. Aku hampir saja kehilangan Mama karena percobaan buhun dirinya. Walau pun kondisi kesehatan Mama mulai membaik, tapi kondisi mentalnya justru semakin memburuk. Pandangan mata Mama kosong. Senyumnya hilang. Aku bahkan hampir tak pernah mendengar Mama memanggil namaku setelah sadar dari masa kritisnya.

"Mar, kondisi kejiwaan Mamamu gimana?"

"Aku nggak  bisa diagnosa Mama sekarang, Om. Kami punya kode etik yang nggak bisa kami langgar. Mungkin setelah Mama keluar dari rumah sakit ini, aku baru bisa bawa Mama konsultasi. Tapi kalo sekilas lihat kondisi Mama cukup serius." Kenyataan ini yang membuatku terpukul. Aku, seorang psikolog klinis yang sedang merasa gagal menolong Mamaku sendiri.

"Tapi Mamamu bisa sembuh, kan?"

"Aku nggak bisa menjawab terlalu cepat untuk pertanyaan Om yang satu itu."

Tante Qanita menyambut kami dengan begitu hangat. Dia bahkan sudah menyiapkan makanan kesukaan Mama.

"Aku bawa Mama ke kamar dulu ya, Tan. Biar Mama bisa istirahat." Aku pamit membawa Mama dari meja makan.

Kutemani sejenak perempuan hebatku itu sampai tertidur pulas sebelum akhinya aku kembali ke ruang tengah untuk mengobrol bersama Om Adi dan Tante Qanita.

"Besok aku mau bawa Mama ke Rumah Sakit Jiwa tempatku bertugas."

"Tapi Mamamu kan nggak gila, Mar." Tante Qanita membantah cepat.

"Benar Mama nggak gila, Tan. Tapi besar kemungkinan Mama depresi. Dan itu yang mendorong Mama melakukan percobaan bunuh dirinya kemarin."

Aku paham betul apa yang sedang dihadapi Mama. Sepanjang pernikahannya dengan Papa, Mama sudah melewati hari demi hari yang tak mudah. Bahkan setelah bercerai dengan Papa pun, hidupnya tak lantas terlepas dari neraka yang diciptakan Papa untuk kami.

Mama berjuang dengan semua kekuatannya. Memaksa dirinya untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal, menggendong beban yang bahkan melebihi kemampuannya. Mama lebih dari sekedar kuat untukku. Bukan hanya hitungan satu atau dua tahun, tapi puluhan tahun. Aku bisa paham jika luka batinnya terlalu dalam.

"Seriusan kamu mau aku yang jadi konselor Mamamu?" Wawan terkejut ketika aku memintanya menjadi konselor untuk Mama.

"Aku butuh orang yang netral, Wan. Nggak mungkin aku kan?"

"Kau mau di sini atau nunggu di luar?"

"Aku diluar aja, ya. Aku takut emosiku mempengaruhi kalian."

Aku sudah mempersiapkan diri untuk kabar terburuk tentang kondisi Mama. Depresi. Itu jelas sudah aku siapkan sejak awal terjadi pada Mama.

"Mar, sudah selesai." Wawan memanggilku di ruang tunggu.

"Kita kerja di bidang yang sama, Mar. Kau pasti tau kondisi Mamamu."

"Diagnosa kita bisa jadi berbeda. Mamaku pasienmu, dan aku adalah keluarga pasien. Jelaskan kondisi Mamaku." Desakku.

"Presistent Depressive Disorder. Post-Traumatic Stress Disorder. Selebihnya kamu pasti tau apa yang harus kita lewati untuk memulihkan Mamamu."

Perempuan hebatku sedang patah. Aku yang setiap hari bertemu dengannya, yang mati-matian berjuang untuk bisa menjadi seorang psikolog seperti yang dipesankannya, ternyata gagal melihat robohnya benteng pertahanan Mama. Aku membiarkan batinnya terluka begitu parah.

***

"Hei, kamu pasti Maryam. Aku Gibran."

Entah apa yang membuatku tergerak untuk menjawab panggilan masuk di Hp Mama kali ini. Sudah begitu lama aku mengabaikan benda milik Mama yang satu ini.

"Aku sudah lama mencari kabar Mamamu. Tapi sudah beberapa bulan belakangan nomornya selalu mati. Aku pikir malah sudah berganti nomor." Aku masih berusaha menyimak dalam diam suara asing di seberang sana.

"Aisyah apa kabar?"

Aku bisa menangkap nada penuh kecemasan dari lelaki yang katanya bernama Gibran itu.

"Om, Mama sudah tidur. Teleponlah lain waktu." Jawabku sambil  mengelak.

Hei Aisyah, 

Entah hanya intuisiku saja yang berlebihan atau memang benar adanya. Aku mencemaskan kondisimu. Hatiku bilang kau sedang tidak baik-baik saja. Kalau kau baca pesanku ini, setidaknya balaslah supaya aku yakin kalau kondisimu tidak seperti yang aku pikirkan. Kau mau bertahan berapa lama lagi untuk tidak membalas pesanku, Aisyahku?

Pesan singkat dari Om Gibran membuatku bertanya-tanya. Selama ini, setelah bertahu-tahun Mama bercerai dengan Papa, Mama bahkan tak pernah bercerita tentang lelaki lain. Apa lagi sampai memiliki ikatan batin sekuat ini. Yang terkonekasi kalau Mama sedang tidak baik-baik saja.

"Om, ini aku. Maryam. Ada yang perlu aku sampaikan tentang Mama." Kali ini, dengan keyakinan yang kuat bahwa Om Giran adalah pribadi yang istimewa untuk Mama, aku memberanikan diri mencarinya.

"Jam makan siang nanti. Di Ann Coffee." Tanpa menunda lama, Om Gibran membalas undanganku.

Entah kebetulan atau memang Om Giban paham, Ann Coffee adalah coffee shop favorit kami. Mama begitu menyukai tempat ini. Dan itu diwariskannya padaku.

"Ada apa, Maryam?" Aku terkejut ketika seorang lelaki sebaya Mama tiba-tiba duduk di depanku dan dengan mantap menyebut namaku.

"Om Gibran?" Tanyaku memastikan.

"Parasmu serupa paras Mamamu ketika seumuranmu sekarang."

Tanpa buang waktu, aku menjelaskan kondisi Mama. Dari raut wajahnya, aku semakin yakin kalau Om Gibran bukan sekedar teman untuk Mama.

"Selesai jam kerja nanti, bawa Om ketemu Mamamu." Pintanya tanpa nada bergurau.

Aku tak ingin menebak-nebak lebih awal tentang respon Mama ketika bertemu Om Gibran nanti. Tapi nama lelaki itu jelas disebutkan Mama ketika sesi hipnoterapi dengan Wawan kemarin. Secara sadarnya, Mama hampir tak pernah merespon apa pun kecuali jka tasbih ditangannya dirampas. Tasbih yang sudah sejak aku kecil selalu aku lihat ada di genggaman Mama.

"Aisyah..." Sapaan Om Gibran membuat pandangan Mama beralih.

Ada energy positif yang sedang berusaha disampaikan Om Gibran untuk Mama. Aku bisa merasakannya.

"Aisyah.... Aisyah..." Suara Om Gibran mulai bergetar.

Pertama kalinya setelah badai hidup yang Mama lewati memuncak, aku melihat Mama bisa menangkap dengan matanya apa yang sedang dia lihat. Pandangannya tak  lagi kosong.

"Kau masih Aisyah-ku. Kau bahkan masih menyimpan tasbih ini."

Lelaki itu memasangkan kembali kerudung Mama yang terjatuh di bahu Mama. Membetulkannya sampai rapi.

"Setau Om, Gibran itu dulu pernah jadi cinta monyet Mamamu. Tapi setelah itu, ya nggak kedengaran pernah pacaran. Mereka baru ketemu lagi waktu Mamamu dtempatkan di Pulau Obi. Ya setelah ada kamu, Mar."  Aku menyimak penjelasan Om Adi tentang Om Gibran.

"Setau Om, Mamamu dulu memutuskan untuk mengundurkan diri demi menghindar dari Gibran. Dia nggak mau pernikahannya dengan Papamu berantakan. Walau pun Om tau pasti, Mamamu bahkan tak pernah mencintai Papamu."

Aku rasa umurku sudah cukup dewasa untuk tau semua. Aku membiarkan Om Adi menjelaskan apa pun yang dia ketahui tentang masa lalu Mama.

"Padahal kalau mau jujur, Papamu bahkan tak  pantas untuk diperjuangkan apa lagi untuk mendapatkan kesetian Mamamu. Tapi Mamamu malah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangganya dengan Papamu. Hanya demi menjaga supaya kamu tetap punya sosok ayah. Setiap kali Om Tanya mau nunggu apa lagi baru berani ambil keputusan, Mamamu selalu bilang...'nunggu Maryam yang minta aku ninggalin Papanya'"

Dan benar. Mama akhirnya berani melakukannya karena permintaanku. Aku tak tega melihat Mamaku disakiti setiap hari. Tubuhnya sudah terlalu lelah menahan hantaman. Batinnya bahkan sudah meronta-ronta sejak lama.

***

"Om mau minta ijin darimu, Mar. Bolehkah Om jadi ayah sambungmu? Jadi pelindung untuk Ibumu di umurnya yang sudah tidak muda lagi?"

Aku sudah menduga kalau Om Gibran akan menyampaikan hal ini padaku. Hanya saja, aku tak menyiapkan jawabanku lebih dulu.

"Kalau terlalu cepat untukmu, Om masih bersedia menunggu. Om tau, Mamamu tidak akan melakukan apa pun yang membuatmu tak bahagia. Kebahagiaanmu diatas segalanya untuk dia" Sambungnya ketika melihatku sedikit terganggu dengan pernyataannya.

Aku tau itu. Mama sangat mencintaiku. Sekali pun aku selalu mengingatkannya pada laki-laki yang membuat keadaannya sangat memprihatinkan seperti sekarang. Papaku...

"Bukan itu maksud Maryam, Om. Tapi kondisi Mama sekarang masih sangat tidak baik. Om yakin bisa menghadapi kondisi Mama yang seperti ini."

"Om yakin kamu nggak butuh jawaban. Yang kamu butuh pasti bukti."

Wawan pun menjelaskan, kembalinya Om Gibran di hidup Mama nyatanya memang membawa pengaruh baik. Dan aku juga meihatnya. Aku tak punya alasan untuk menarik kembali Om Gibran jauh dari sisi Mama.

***

Hari-hari Mama sekarang dipenuhi oleh cinta. Walau pun Mama masih belum sembuh betul dari depresinya, tapi setidaknya Mama mulai berani untuk hidup normal kembali. Sesekali ketika 'serangan' itu datang, Om Gibran selalu dengan sabar memeluk Mama sampai suasana hatinya kembali pulih. Ketika Mama bahkan mejerit-jerit histeris, Om Gibran bahkan tanpa ragu membiarkan tubunya jadi pelampiasan gejolak Mama. Ketimbang Aisyah menyakiti dirinya sendiri lagi, lebih baik dia menyakitiku. Om Gibran selalu bilang seperti itu. Mereka selalu kencan di teras rumah walau hanya dengan secangkir teh chamomile atau  kopi hitam dan singkong goreng. Om Gibran menggantikan seprei dan gorden kamar mereka sedemikian demi merubah suasana hati Mama, bahkan tak pernah tidur lebih awal sebelum Mama demi memastikan Mama tidur dengan nyenyak.

Sungguh hal-hal yang tak pernah kulihat dilakukan oleh Papa sepanjang pernikahannya dengan Mama.

Om Gibran juga ikut merawat anggrek-anggrek kesayangan Mama di setiap akhir pekan. Pemandangan yang rasanya lebih indah dari berwisata keluar kota. Cara Om Gibran memperlakukan Mama benar-benar membuatku lupa pada umur mereka. Dan lupa kalau dia juga adalah ayah sambungku. Mereka pantas bahagia. Om Gibran bahkan sudah menunggu Mama puluhan tahun, dengan cinta yang tak pernah pudar. Aku melihat mereka saling jatuh cinta setiap hari. Mama sudah melewati badai yang tak mudah. Bertahan dengan pernikahan yang jadi luka terbesar di hidupnya, demi menyelamatkanku dari stigma masyarakat tentang anak broken home, demi menjaga kehormatanku.

Sungguh aku tak pernah tau dari mana Mama mengumpulkan kekuatan untuk bertahan selama ini. Ketika Mama memutukan untuk bunuh diri, aku baru paham, Mama benar-benar ada di titik putus asa yang teramat parah. Untuk pertama kalinya dia berani mengambil tindakan tanpa memikirikan perasaanku. Betapa tidak, bahkan untuk mengambil keputusan bercerai dengan Papa saja, Mama menunggu ijinku.

Sore itu, di halaman rumah, aku melihat Om Gibran menggandeng mesra tangan Mama dibawah hujan. Entah kenapa kali ini aku yakin kalau hujan tak akan membuat Mamaku sakit. Aku menoton mereka bermain hujan seperti anak kecil. Riang tanpa dibuat-buat. Aku bisa mendengar suara tawa Mamaku.

Pernikahan sering kali tentang bertahan dalam luka, bukan bertahan dalam cinta. Memilih memelihara luka ketimbang berperang dalam norma, adat dan stigma yang ada di masyarakat. Menyetel pasangan sesuai keinginan, membuat mereka bahkan kehilangan diri sendiri. Ikatan yang akhirnya seolah mengijinkan kita melakukan apa pun pada pasangan karena merasa 'memiliki'. Semua sering kali hanya tentang diri sendiri, lupa bahwa pasangan kita pun punya hidupnya sendiri. Hidup yang tak seharusnya dirampas oleh siapa pun. Lingkaran yang seharusnya jadi penyembuh, sering kali jadi pemicu. Dikangkangi oleh patriarki, dipenjara oleh adat, ditekan alasan demi nama baik keluarga.

Ma, dari semua penyitas gangguan mental, menyelatkanmu adalah prioritasku. Kau tak perlu memaksakan diri untuk terlihat kuat di  hadapan siapa pun. Kau yang terhebat yang aku punya, Ma. Betapa selama ini kau sudah berjuang melebihi batas kuatmu. Sekarang berbahagialah, Ma. Jangan pernah patah lagi, ya. Ada Maryam dan Om Gibran yang akan jadi sayap Mama untuk terbang.Sungguh surga pun tak rela jika kau harus menangis lagi, Ma.

"Aisyah, aku jatuh cinta padamu."

Aku mendengar Om Gibran menyatakan cintanya pada Mama. Pernyataan cinta yang setiap hari diucapkannya. Dan dibuktikan lewat tindakan.

Aku bisa melihat pipi Mama memerah. Pertama kalinya hingga diumurku yang sekarang, aku melihat Mama tersipu malu.Ahh, seperti itu ternyata jatuh cinta.

Medan, 11 April 2021

Untuk siapa pun yang sedang berjuang melawan gangguan mental...

Kalian hebat. Kalian berharga. Kalian bahkan lebih hebat dari apa yang kalian pikirkan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun