"Selesai jam kerja nanti, bawa Om ketemu Mamamu." Pintanya tanpa nada bergurau.
Aku tak ingin menebak-nebak lebih awal tentang respon Mama ketika bertemu Om Gibran nanti. Tapi nama lelaki itu jelas disebutkan Mama ketika sesi hipnoterapi dengan Wawan kemarin. Secara sadarnya, Mama hampir tak pernah merespon apa pun kecuali jka tasbih ditangannya dirampas. Tasbih yang sudah sejak aku kecil selalu aku lihat ada di genggaman Mama.
"Aisyah..." Sapaan Om Gibran membuat pandangan Mama beralih.
Ada energy positif yang sedang berusaha disampaikan Om Gibran untuk Mama. Aku bisa merasakannya.
"Aisyah.... Aisyah..." Suara Om Gibran mulai bergetar.
Pertama kalinya setelah badai hidup yang Mama lewati memuncak, aku melihat Mama bisa menangkap dengan matanya apa yang sedang dia lihat. Pandangannya tak  lagi kosong.
"Kau masih Aisyah-ku. Kau bahkan masih menyimpan tasbih ini."
Lelaki itu memasangkan kembali kerudung Mama yang terjatuh di bahu Mama. Membetulkannya sampai rapi.
"Setau Om, Gibran itu dulu pernah jadi cinta monyet Mamamu. Tapi setelah itu, ya nggak kedengaran pernah pacaran. Mereka baru ketemu lagi waktu Mamamu dtempatkan di Pulau Obi. Ya setelah ada kamu, Mar." Â Aku menyimak penjelasan Om Adi tentang Om Gibran.
"Setau Om, Mamamu dulu memutuskan untuk mengundurkan diri demi menghindar dari Gibran. Dia nggak mau pernikahannya dengan Papamu berantakan. Walau pun Om tau pasti, Mamamu bahkan tak pernah mencintai Papamu."
Aku rasa umurku sudah cukup dewasa untuk tau semua. Aku membiarkan Om Adi menjelaskan apa pun yang dia ketahui tentang masa lalu Mama.