"Mar, sudah selesai." Wawan memanggilku di ruang tunggu.
"Kita kerja di bidang yang sama, Mar. Kau pasti tau kondisi Mamamu."
"Diagnosa kita bisa jadi berbeda. Mamaku pasienmu, dan aku adalah keluarga pasien. Jelaskan kondisi Mamaku." Desakku.
"Presistent Depressive Disorder. Post-Traumatic Stress Disorder. Selebihnya kamu pasti tau apa yang harus kita lewati untuk memulihkan Mamamu."
Perempuan hebatku sedang patah. Aku yang setiap hari bertemu dengannya, yang mati-matian berjuang untuk bisa menjadi seorang psikolog seperti yang dipesankannya, ternyata gagal melihat robohnya benteng pertahanan Mama. Aku membiarkan batinnya terluka begitu parah.
***
"Hei, kamu pasti Maryam. Aku Gibran."
Entah apa yang membuatku tergerak untuk menjawab panggilan masuk di Hp Mama kali ini. Sudah begitu lama aku mengabaikan benda milik Mama yang satu ini.
"Aku sudah lama mencari kabar Mamamu. Tapi sudah beberapa bulan belakangan nomornya selalu mati. Aku pikir malah sudah berganti nomor." Aku masih berusaha menyimak dalam diam suara asing di seberang sana.
"Aisyah apa kabar?"
Aku bisa menangkap nada penuh kecemasan dari lelaki yang katanya bernama Gibran itu.