"Ma, apa pun sakit Delima, Mama nggak boleh sedih, ya. Delima janji Delima bakal sembuh. Delima nggak mau Mama sedih terus."
Julia menyembunyikan tangisnya. Dia tak ingin Delima melihat air matanya lagi.
Sudah dua tahun sejak vonis dokter pertama Delima tak pernah lagi mengulang kejangnya. Dia selalu penuh semangat. Bahkan ketika hari-harinya harus dipenuhi aktivitas minum obat dan konsultasi dengan dokter. Setiap jadwal check up tiba, Delima selalu bersemangat. Dia tak pernah mengeluh. Termasuk ketika Julia melarangnya untuk mengkonsumsi susu dan coklat yang sangat disukainya.
Delima mau sembuh. Delima nggak mau Mama sedih. Delima mau jaga Mama kalau Mama tua nanti. Delima selalu mengulang-ulang kalimat itu.
Dari Delima, Julia belajar bagaimana berharap. Bersabar dan tak mengeluh menjalani apa yang sudah Tuhan takdiran. Delima sudah membuktikan, pengharapan yang akan menjadikan mujizat itu nyata. Dan cinta yang memberikan kekuatan untuk melewati semua.
Kau bahkan masih harus menahan sakit dihantam Bapakmu sendiri karena tanganmu yang gemetaran tak terkendali. Mama bahkan tak pernah tau betapa sakitnya seluruh tubuhmu ketika saraf-saraf tangamu gemetaran. Kau bahkan tak pernah peduli dengan rambutmu yang kian aneh karena efek obat menahun. Ma, tak apa kondisi Delima aneh begini. Satu hari nanti, Delima pasti sembuh. Kau selalu bilang begitu. Dan kau sudah tepati janjimu, Nak. Ucap Julia dalam hati.
Julia memeluk Delima penuh cinta ketika dokter membacakan hasil EEG Delima. Dua tahun Delima berjuang. Tak pernah mengeluh. Membiarkan dirinya kehilangan masa kecilnya yang penuh warna. Demi satu harapan. Sembuh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H