Dari kisah nyata...
Di sudut kota Medan.
Suasana meja makan berubah menjadi menyeramkan. Delima untuk kesekian kalinya memecahkan gelas berisi penuh susu. Suara teriakan Agus merubah suasana malam itu menjadi penuh air mata. Delima meringis menahan sakit dari kuatnya hantaman Agus yang bertubi-tubi. Tak ada iba, Agus berklai-kali memukul Delima dengan sekuat tenaga.
"Pak, sudah! Itu hanya gelas." Julia mencoba menghentikan amarah Agus.
"Mau berapa banyak lagi gelas yang di pecahkan anak ini. Dia rusak setiap suasana indah di rumah ini." Agus tak sedikit pun menurunkan emosinya.
"Sudah! Cukup! Tolong berhentilah." Julia memohon sambil berlinang air mata.
Agus berlalu. Meninggalkan ruang makan yang sudah berantakan. Julia berhamburan memeluk anaknya yang gemetar mematung di ujung sana. Tubuh mungil Delima penuh lebam. Dia hanya bisa menangis. Bibir mungil Delima sudah tak mampu berucap sakit,lebam di sekujur badannya sudah menjelaskan semua. Sambil menahan sesak karena tangis yang tumpah, Julia menggendong Delima. Menggolekkan anak semata wayangnya, mengobati seluruh bekas luka Delima.
"Del, besok kita berobat, ya." Bisik Julia lirih.
"Iya, Ma. Tapi Mama jangan nangis lagi, ya."
Sudah hampir sebulan belakangan Delima kerap kali menjatuhkan apa pun yang dia genggam. Sebentar seperti kehilangan kesadaran ketika menjatuhkan barang-barang. Dan seolah tanpa mengerti apa pun, dia menahan semua hantaman Ayah kandungnya. Seketika kesadarannya kembali, Delima sering bertanya pada Julia kenapa Agus sering memukulnya akhir-akhir ini. Kenapa semua tiba-tiba berantakan, dan kenapa dia kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat.
Mata Julia tak berhenti menatap perempuan kecil yang sedang tertidur di hadapannya. Air matanya tak juga mau berhenti mengalir. Hatinya hancur. Delima bahkan tak pernah berucap benci pada Agus setiap kali Julia menanyakan apakah dia membenci Ayahnya itu.