Bertahun sudah Vega memilih pekerjaan sebagai seorang Barista. Berada di balik gagang porta filter dan meracik kopi untuk setiap pengunjung yang datang. Dari balik bar dia bisa menjadi saksi dari begitu banyak kisah mereka yang datang. Vega begitu mencinta kopi. Kopi baginya bukan sekedar pekerjaan, tapi kebahagiaan.
Sambil menunduk tanpa kalimat sepatah kata pun, Vega menyodorkan espresso hasil kalibrasinya pagi itu. Hal rutin yang selalu dilakukan setiap barista yang bertugas di shiftnya. Hal rutin teraneh yang dia lakukan bertahun-tahun. Bekerja, dengan minim sekali komunikasi dengan atasannya.
Vega menangkap arti di balik ekspresi datar Deta. Rupanya sensori Deta kian tajam. Padahal Vega hanya sedikit saja menaikkan tingkat kehalusan hasil giling biji kopinya. Vega bergegas membuatkan espresso yang baru. Sesuai karakter standar seharusnya.
"Taste good. Uda ok ini." Deta mengomentari espresso yang baru diseruputnya.
Sudah tanpa perlu instruksi lanjutan Vega membuatkan Piccolo untuk Deta. Mereka terbiasa kerja dengan cara otomatis seperti itu. Sereba otomatis. Atau mungkin mereka berkomunikasi menggunakan telepati.Â
"Ve, bean baru, nih. Cupping yok." Yogi melemparkan contoh biji kopi yang baru dibawanya.
"Bentar, Gi. Banyak orderan, nih." Sambung Vega tanpa beralih perhatian dari mesin kopinya.
"Buruan... nggak usah banyak alesan. Itu kan ada Meta." Desak Yogi.
Vega tak menyahut kembali. Dia mempersiapkan segala keperluan cupping dengan jeli. Beberapa detik Vega memperhatikan dengan teliti biji kopi yang ada ditangannya, menikmati aroma brown sugar bercampur chamomile dan earthy yang menyerebak ke seluruh indera penciumannya. Itu yang Vega sebut dengan surga.
Bukan hal sulit untuk Vega mencari jodoh ratio yang baik antara tingkat roasted, wash methode, dan tingkat kehalusan giling, dan perbandingan air supaya bisa dinikmati siapa pun. Vega tak hanya jeli mengenali karakter kopi, dia juga wahid mengenal selera kopi penikmatnya. Vega tak pernah memaksakan orang menyukai kopi buatannya. Tapi dia membuatkan kopi sesuai selera mereka.
"Dapet dari mana single origin begini? Bisa konsisten? Aku takut entar waktu jalan, malah susah cari barangnya." Deta pecinta single origin menyambut antusias kopi yang baru di brew Vega.
 "Nah itu dia masalahnya, Ta. Itu juga yang aku khawatirkan." Yogi menambahkan.
"Tugasmu yang mikirin kopi ini mau diapain, Ve." Sambung Yogi.
"Nah, kan... Giliran begini, buangnya ke aku." Sahut Vega kesal.
"Lalu maksudmu, siapa lagi yang bisa mikirin hal beginian. Ini kopi jelas punya nilai jual. Tapi cuma bisa masuk di musim panen. Resiko"
"Iya iya aku tau. Kita jadiin paket hampers Natal aja, ya. Kasih aku harga belinya., supaya aku bisa hitung harga jual. Detail isis paket, packaging, design dan lain-lain kasih aku waktu beberapa hari untuk mikir." Jabar Vega.
"Bukan mikir, Neng. Kerja." Goda Yogi.
Vega tak menyahut lagi. Dia bergegas meninggalkan meja cupping mereka. Meminta tim lainnya mengemasi sisa-sisa cupping mereka.
"Tangan Vega makin dingin." Ucap Yogi seolah melaporkan perkembangn hasil kerja Vega.
"Aku tau." Sahut Deta singkat.
"Kemarin sore Lauren nelpon aku. Dia terima berkas lamaran Vega."
Yogi bahkan tak melihat respon apa pun dari Deta. Sahabatnya itu masih terlihat asik menikmati cold brew yang baru saja di antarkan waitress. Hasil racikan Vega. Rasanya Vega memang benar-benar menyatu dengan kopi. Tak hanya espresso based, manual brew pun dikuasainya dengan sangat baik.
"Ta, kau dengar apa yang aku bilang kan?" Yogi coba memastikan.
"Lalu?" Deta balik bertanya.
"Ya apa kek gitu. Kalem aja dengar musibah di depan mata." Gertak Yogi.
"Percaya aku. Vega nggak bakalan kemana-mana." Sahut Deta penuh keyakinan.
"Ah, terserah kau sajalah. Kau kan tau Vega orang yang sulit sekali ditebak."
"Justru Vega orang yang paling mudah ditebak. Clear as crystal."
***
Vega memaparkan hasil pemikirannya untuk hampers Natal seperti yang sudah dia janjikan. Seperti biasa, semua sesuai yang diharapkan. Hampers yang di dominan warna emas dan hitam itu terlihat begitu elegant.
"Langsung naik ke media, ya." Sambut Deta membahasakan persetujuan untuk apa yang dipaparkan Vega.
Tak butuh waktu lama untuk bisa mendapatkan orderan pertama dan berikutnya.
"Ve..."
"Iya, Pak. Piccolo, kan?!" Tebak Vega.
"Tolong kamu antar ke meja balkon ya."
Tebakan Vega benar. Bukan kebetulan Sudah sejak pagi dia belum menyuguhkan secangkir espresso hasil kalibrasinya atau pun Piccolo rutin untuk Deta.
Vega menuruti instruksi Deta. Di meja balkon, Deta sedang sibuk dengan layar hp nya. Tanpa kata, Vega meletakkan Piccolo rutin untuk Deta dan bergegas pergi.
"Duduk. Sebentar!" Ucap Deta datar, tanpa penekanan apa pun.
Vega menurut. Meletakkan tray yang dibawanya di pangkuannya. Menyiapkan diri mendengarkan apa yang akan disampaikan Deta.
"Seberapa lama kau akan tetap tinggal?" Tanya Deta dengan nada bicara sangat serius.
"Permisi, Pak. Saya mau nyiapin orderan hampers. Quota sudah full. Saya mesti cepat selesaikan semua." Vega berusaha mengelak.
"Semakin cepat kamu jawab saya, semakin cepat kamu bisa pergi dari meja ini."
"Bapak tau jawabannya." Vega tak lagi menggubris ucapan Deta.
Ya Ve, aku tahu jawabannya. Aku hanya ingin memastikan. Dan kau, tak ingin aku memperoleh kepastian itu.
***
Deta tak pernah lagi melihat Vega ada di dalam barnya. Bermain-main bersama biji kopi dan seperangkat alat-alat barista lainnya. Tak ada lagi Vega yang setiap hari bisa memahami diamnya. Bersinergi sampai hampir ke seluruh hal, bahkan dalam diam sekali pun. Paham apa yang dia mau bahkan tanpa berucap.
"Aku sudah ingatkan! Musibah ada di depan mata." Yogi menemui Deta setelah menerima pesan singkat lewat WA.
"Kali ini aku salah. Vega memang sulit di tebak. Aku terlalu yakin." Ucap Deta penuh sesal.
"Dia beneran gabung sama Gudang Kopi? Aku cek ke sana kok kayaknya aku nggak dapat info apa pun, ya." Sambung Deta.
"Menurutmu kalau orang lain tau Vega lepas dari kita, berapa banyak perusahaan kopi yang ngejar dia? Ya pasti mereka nutupin soal Vega lah. Lagian aku dengar, Vega nggak di operasional lagi. Dia yang handle R&DÂ di sana." Ungkap Yogi.
Deta meraih Piccolo yang ada di hadapannya. Sudah beberapa menit lalu diantarkan waitress tapi tak disambut Deta.
Wajah Deta berubah sumringah. Lehernya berputar kesana kemari. Dia tahu betul siapa yang meracik Piccolo itu. Dilangkahkannya kaki menuju bar. Ada Vega di sana. Lengkap dengan apron baristanya.
"Keluar" Ucap Deta kegirangan.
"Kenapa, Pak? Masih banyak orderan." Jawab Vega.
"Berhenti meracik kopi untuk siapa pun. Â Sudah cukup bertahun-tahun kau diam di dalam sana, meracik kopi untukku. Menyelami seleraku bahkan tanpa aku jelaskan. Sudah cukup bertahun-tahun aku duduk di counter bar ini hanya demi bisa memperhatikanmu di dalam sana. Melihatmu dari layar CCTV ketika aku nggak ada di outlet."
"Kesambet, Pak?" Tanya Vega penuh cemas bercampur bingung.
"Aku Tanya sampai kapan kau akan tetap tinggal." Ulang Deta.
"Aku jawab, Bapak tau jawabannya." Kenang Vega.
"Lalu kau pergi?" Tanya Deta.
"Aku pergi karena sertifikasi Key grader." Polosnya Vega menjawab pertanyaan Deta.
Bertahun-tahun Vega menyiapkan Piccolo untukku di jam-jam konsentrasiku menurun.  Bertahun-tahun aku memilih menjadi saksi proses kerja kerasnya menjadi seorang abdi kopi sejati seperti sekarang. Bertahun-tahun aku memilih memperahtikannya dari balik counter bar dan layar CCTV-ku. Membiarkan dia melewati tiap momentnya dan hanya bisa menjadi pengamat setia. Bahkan ketika hampir sekujur tangannya terguyur air  panas. Aku hanya bisa mengutuk diriku yang tak bisa mengoleskan salap luka bakar untuknya. Bertahun-tahun kami bahkan tak sadar kalau hati kami saling ketergantungan.
Ve, kamu memang sulit dipahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H