"Ma,,,"Aku tahu Ibu menunggu penjelasanku. Tapi tak satupun kalimat yang bisa kuucapkan.
"Sudahlah, Nak. Kau tak perlu jelaskan kalau tak sanggup. Hidungmu itu sudah seperti tomat merahnya. Tak puas rupanya kau menangis tadi?"
Sulit memang menyembunyikan sesuatu darinya. Aku menarik napas panjang. Menenangkan diriku sendiri dan memberanikan diri menceritakan semua padanya. Aku bukan takut dimarahi. Aku takut membuatnya kecewa, aku tak ingin membuatnya menangis.
Aku menceritakan semua seperti yang sesungguhnya terjadi. Anak laki-laki dua puluh dua tahun ini bercerita sambil berlinang air mata seperti anak kecil yang ketakutan karena baru memecahkan kaca jendela tetangga sebelah rumah.
"Lalu karena apa kau menangis?" Pertanyaan Ibu membuatku kaget. Dia bertanya kenapa aku menangis. Apa dia tak berpikir aku baru saja melewati hari yang berat.
"Gerobak kita rusak. Lalu pakai apa kita besok berjualan, Ma? Kalau aku bisa menjaga gerobak itu baik-baik, gerobak itu pasti tak akan rusak."
"Ya pakai kaki." Ibuku menjawab sederhana. Aku mengernyitkan alisku.
"Mamak masih bisa jualan besok. Pake Bakul. Ya digendong saja. Dulu juga sebelum ada sepeda itu, Mamak jualannya jalan kaki gendong bakul."
Tangisku bukannya terhenti malah semakin jadi. Ibu benar, aku ternyata belum dewasa. Mana ada lelaki dewasa menangis.
"Ma, Firman minta maaf."
"Maaf kenapa?"