"Ma, naiklah ke atas sepeda. Firman dorong dari belakang."
Ibuku pasti sudah lemas sekali. Puasa sepanjang hari dan hanya bisa berbuka puasa dengan air putih.
"Kau tak kedinginan rupanya?" Ibu selalu mencemaskanku.
"Nggak, Ma." Jawabku tanpa menghentikan kaki melangkah mendorong gerobak sepeda kami.
Aku langsung membereskan gerobak kami. Kalau bagian ini, aku sudah terbiasa melakukannya. Ini memang tugasku setiap kali Ibuku pulang berjualan keliling. Ibu sibuk mengeringkan beberapa genangan di dalam rumah. Rumah reot kami memang sudah bocor di beberapa titik.
"Ma, Mamak makanlah dulu. Biar Firman yang pel lantai itu setelah selesai beresin gerobak ini." Aku benar-benar mengkhawatirkan Ibuku.
"Sudahlah. Ini kan bukan pekerjaan berat." Sekali lagi. Ibuku memang keras kepala.
Setelah semua rapih, Ibu menumis sayur tauge. Hanya itu yang kami punya, sisa dari bahan membuat pecal tadi siang. Tak ada lauk lain.
"Malam ini, makanlah seperti ini dulu. Besok Mamak baru bisa beli ikan asin di pajak."
Di Medan ini, kami biasa menyebut pasar dengan sebutan pajak. Seperti itu keberagaman di bumi pertiwi ini.
Aku tak pernah menuntut apa pun dari Ibu. Buatku, dia adalah jawaban dari apa pun yang kuperlu, dan kucari di dunia ini.