Malam semakin larut. Jarum jam sudah menunjuk angka 10 lewat 15 menit. Mestinya di waktu-waktu seperti ini waktunya beranjak ke peraduan untuk menyambut mimpi dan membiarkan tubuh berisirahat sepuasnya. Tapi tidak dengan Asmuni. Lelaki yang usianya baru saja menginjak kepala lima ini masih benar-benar terjaga.
Sejak tadi dia mondar-mandir di dalam rumah. Sesekali mengambil minum di dapur lalu ke kamar kerjanya, lalu ke ruang tamu. Ke dapur, ruang tamu, kamar kerja. Keningnya berkerut-kerut pertanda sedang memikirkan sesuatu dalam-dalam. Sampai-sampai sapaan-sapaan istri tercinta tidak terlalu dihiraukannya.
Empat jam yang lalu, dia terlibat percakapan serius dengan kawan kuliahnya yang saat ini menjadi salah satu pejabat teras partai berlambang unicorn. Partai ini adalah partai besar di tanah air dan banyak meraup suara konstituen pada pemilihan legislatif belum lama ini. Bono, nama kawan tersebut.
Berbeda dengan Asmuni yang memang cerdas dan bersinar, Bono adalah typical mahasiswa yang kemampuan akademiknya sebatas rata-rata. Hanya saja sejak dulu Bono memang terkenal supel, mampu bergaul dengan mudah. Lingkar pertemanannya cukup luas, mulai dari pejabat organisasi mahasiswa, dosen, tukang kebun sampai preman-preman di sekitar kampus. Bakat inilah yang membuat karir politiknya melejit sampai di jajaran petinggi parpol.
Beberapa waktu terakhir parpol ini menjalin komunikasi dengan Asmuni mengenai peluangnya berlaga di pemilihan gubernur ibu kota. Namanya memang kinclong pada sejumlah survei elektabilitas. Sayangnya, Asmuni ini politisi non-partai dan sejak awal membangun citra sebagai orang independen, tidak bisa ditarik sana-sini sebagai petugas partai. Ini membuat parpol mesti berhitung dengan cermat jika ingin mengusungnya. Jadi lobi-lobi dari partai unicorn ini adalah kesempatan baik untuknya. Dia punya elektabilitas dan parpol punya mesin politik. Klop sudah.
Hanya saja, sampai menjelang tenggat waktu pendaftaran calon gubernur ke KPU, partai belum memberikan kepastian untuknya.
"Malam ini kita dapat kepastian, Bro," ucap Bono di ujung telepon sore tadi.
"Sebenarnya peluang saya berapa besar sih, Bro?" tanya Asmuni lagi.
"Saat ini bisa dibilang fifty-fifty. Suara petinggi parpol terbelah dua, sebagian mendukung kamu, sebagian tidak. Sebenarnya Ibu Ketum sudah sempat diyakinkan beberapa hari lalu. Tapi pasti ada pembisik-pembisik yang membuatnya goyah lagi. Kamu tahu sendiri kan, ada beberapa orang dekat Ketum yang kurang suka denganmu, Bro,"
"Saya mengerti."
"Oke, sebentar lagi rapatnya dimulai. Saya juga akan berusaha semampunya mendukung kamu. Mohon doanya di sana, Bro. Sebentar kalau sudah ada hasil rapat, saya kabari secepatnya."
"Oke, Bro. Semoga rapatnya berjalan lancar dan kondusif."
Percakapan mereka diakhiri.
Sekarang setelah berjam-jam kemudian, belum ada telepon atau pesan dari Bono. Rapat para petinggi parpol itu benar-benar menyita waktu. Asmuni berusaha berpikir positif. Pembicaraan dalam rapat pasti berlangsung sengit. Ini artinya dia juga punya cukup banyak pendukung pada ring satu partai. Ini membuatnya semakin penasaran dengan hasil akhir rapat.
Rasa penasaran ini semakin menggebu-gebu seiring jarum jam yang terus menanjak. Dua puluh menit lagi jam menunjuk angka 12, tepat tengah malam. Asmuni menatap layar handphone-nya, berharap segera ada kabar dari Bono. Lingkar hitam di matanya semakin menebal.
"Mas, tidur aja dulu. HP-nya gak usah dimatikan," seru istrinya dari dalam kamar.
Asmuni menyahut seadanya.
Setelah menunggu beberapa menit lagi, dia memutuskan untuk menelepon.
HP Bono pun berdering nyaring, belasan kilometer jauhnya di sisi lain kota. Dua detik, tiga detik, empat detik, panggilan tersebut belum dijawab.
Istri Bono yang terganggu dengan suara HP itu pun menyenggol perut Bono dengan keras. Suara dengkuran Bono berhenti dan sekonyong-konyong dia ikut terbangun dan langsung meraih HP yang diletakkan di atas lemari mini di samping ranjang. Telepon selarut ini pertanda ada berita penting yang harus segera ditanggapi, jadi Bono tidak mencari kaca matanya terlebih dahulu untuk membantunya membaca nama si pemanggil. Dia langsung menjawab panggilan tersebut.
"Ya, halo, ..."
"Bono, Sorry mengganggu. Ini masih rapat ya?" suara Asmuni terdengar.
Hah, Asmuni? Sial! Bono memaki dirinya sendiri dalam hati. Dia lupa sekali memberi kabar pada kawannya yang satu itu. Dia pun segera menegakkan posisi duduknya dan mengatur kembali intonasi suaranya.
"Baru aja selesai, Bro. Wah, rapatnya alot sekali. Eh, saya telepon tiga menit lagi ya. Ditunggu, Bro,"
"Oke, siap, siap,"
Telepon terputus. Jantung Asmuni semakin berdebar-debar. Sementara itu, Bono meneguk air putih dalam gelas besar yang diletakkan di atas meja rias sambil memikirkan kata-kata yang akan disampaikannya. Setelah menemukan rangkaian kata yang tepat, dia pun kembali melakukan panggilan ke nomor Asmuni
"Bagaimana jadinya, Bro?" tanya Asmuni di ujung telepon.
Bono mengembuskan napas panjang dengan berat. "Well, mohon maaf sebesar-besarnya, Bro. Saya dan teman-teman sudah berjuang sekuat-kuatnya. Pada akhirnya Ibu Ketum lebih condong ke suara yang kontra. Jadi... kamu tidak jadi diusung partai. Sekali lagi, mohon maaf."
Kini giliran Asmuni yang mengembuskan napas panjang dan berat. "Jadinya siapa yang akan diusung partai?" tanyanya lagi.
"Sudah ada beberapa kandidat, tapi belum ada yang definitif. Masih akan diputuskan lebih lanjut dalam satu atau dua hari ini. Pembahasan nama kamu yang memang benar-benar menyita agenda pembahasan malam ini, Bro," sahut Bono. "Partai akan merilis informasi resminya segera."
"Baiklah, Bro. Terima kasih banyak ya informasinya."
"Siap. Selamat beristirahat, Bro,"
Setelah percakapan selesai, Bono mengelus dadanya lega. Dia benar-benar lupa segera mengabari Asmuni. Padahal rapat sore tadi berlangsung singkat saja, karena mayoritas pejabat parpol memang menentang rencana mengusung Asmuni sejak awal.
Asmuni dengan berat melangkahkan kakinya masuk ke kamar tidur. Pupus sudah cita-citanya menjadi orang nomor 1 di ibu kota. Isterinya ikut prihatin dan mencoba membuatnya lebih tenang dengan kata-kata penguatan.
"Siapa sih tadi, Pah?" tanya istri Bono begitu Bono kembali menghempaskan tubuhnya di pembaringan.
"Bukan siapa-siapa, Mah. Biasa, orang-orang minta jatah. Sebentar lagi kan musim Pilkada. Ayuk, tidur lagi," sahut Bono sambil membalikkan badan memunggungi istrinya. Tidak lama kemudian suara dengkurannya kembali terdengar. Telepon barusan jadi serasa iklan yang numpang lewat saja.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H