"Oke, sebentar lagi rapatnya dimulai. Saya juga akan berusaha semampunya mendukung kamu. Mohon doanya di sana, Bro. Sebentar kalau sudah ada hasil rapat, saya kabari secepatnya."
"Oke, Bro. Semoga rapatnya berjalan lancar dan kondusif."
Percakapan mereka diakhiri.
Sekarang setelah berjam-jam kemudian, belum ada telepon atau pesan dari Bono. Rapat para petinggi parpol itu benar-benar menyita waktu. Asmuni berusaha berpikir positif. Pembicaraan dalam rapat pasti berlangsung sengit. Ini artinya dia juga punya cukup banyak pendukung pada ring satu partai. Ini membuatnya semakin penasaran dengan hasil akhir rapat.
Rasa penasaran ini semakin menggebu-gebu seiring jarum jam yang terus menanjak. Dua puluh menit lagi jam menunjuk angka 12, tepat tengah malam. Asmuni menatap layar handphone-nya, berharap segera ada kabar dari Bono. Lingkar hitam di matanya semakin menebal.
"Mas, tidur aja dulu. HP-nya gak usah dimatikan," seru istrinya dari dalam kamar.
Asmuni menyahut seadanya.
Setelah menunggu beberapa menit lagi, dia memutuskan untuk menelepon.
HP Bono pun berdering nyaring, belasan kilometer jauhnya di sisi lain kota. Dua detik, tiga detik, empat detik, panggilan tersebut belum dijawab.
Istri Bono yang terganggu dengan suara HP itu pun menyenggol perut Bono dengan keras. Suara dengkuran Bono berhenti dan sekonyong-konyong dia ikut terbangun dan langsung meraih HP yang diletakkan di atas lemari mini di samping ranjang. Telepon selarut ini pertanda ada berita penting yang harus segera ditanggapi, jadi Bono tidak mencari kaca matanya terlebih dahulu untuk membantunya membaca nama si pemanggil. Dia langsung menjawab panggilan tersebut.
"Ya, halo, ..."