"Jadi, .... Kalau rakyat cerdas seperti kamu, Den, yang bahaya pemerintahnya ya," potong Parjo lalu tertawa.
Mau tidak mau Deden dan Sule ikut tertawa.
Saat itu pisang goreng tersisa satu potong di atas piring. Seperti dikomando, secara bersamaan ketiganya menjulurkan tangan untuk mengambil pisang goreng tersebut. Melihat yang lain mau mengambil, juluran tangan mereka tiba-tiba juga berhenti bersamaan.
Deden menarik tangannya. Begitu pula Sule dan Parjo. "Udah, ambil aja, Jo," perintah Deden.
"Le, buat kamu aja. Saya sudah kenyang, kok," sahut Parjo.
Sule menatap lucu. "Bohong! Kenyang kok masih ngambil?"
Ketiganya lalu tertawa lagi. "Eh, teman-teman," sambung Deden lagi. "Saya jadi mikir juga. Masih ingat kan, yang lalu kita selalu berantem gara-gara mau memenangkan ayam jago masing-masing. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya yang ayam aduan itu ya kita-kita ini, rakyat jelata! Karena rakyatnya yang berantem, elit politiknya yang jadi penonton. Rakyatnya udah babak belur berkelahi, eh, ujung-ujungnya pemimpinnya deal-deal politik."
"Betul itu, Bang," jawab Sule. "Ada yang sampai saling menjelekkan, tidak mau saling ngomong, blokir-blokiran, gara-gara beda pilihan capres."
"Nah, karena kamu lagi cerdas sore ini, pisang gorengnya buat kamu saja," ucap Parjo sambil mengangkat piring pisang goreng ke depan wajah Deden. Dikandang paksa seperti itu, Deden tidak bisa menolak lagi.
"Nah, begitu kira-kira tawaran koalisinya, Bang. Tidak bisa nolak, harus diterima," celetuk Sule.
Suara tawa lepas ketiganya kembali terdengar.