Dari langit malam kadang-kadang ada bintang yang gugur lalu berjatuhan ke bumi. Bintang-bintang itu pecah seperti cahaya kunang-kunang, berserakan, lalu jatuh menghempas tanah, pasir, bebatuan dan rerumputan.
Di salah satu sudut hutan, Cleo memungut pecahan bintang-bintang dengan gelisah. Rambut berwarna emas yang terurai indah di kedua bahunya bergerak-gerak seirama dengan gerakan tangannya. Setiap pecahan yang ditemukan dimasukkan dengan hati-hati ke dalam tas kain yang tersampir di pundaknya.
Sebagai peri malam yang bekerja untuk membersihkan pecahan-pecahan bintang, Cleo sebenarnya sudah sangat piawai. Biasanya pecahan-pecahan bintang itu akan dikumpulkan berbulan-bulan lamanya, sebelum dimasak dalam periuk besar khusus untuk memasak bintang-bintang. Dengan beberapa mantra yang hanya dikuasai oleh peri-peri malam seperti dirinya, asap dari periuk tersebut akan membumbung tinggi sampai pada akhirnya kembali menjadi bintang-bintang muda yang menghiasi langit malam.
Hal yang membuat Cleo gelisah adalah akhir-akhir ini bintang yang berguguran lebih banyak dan semakin sering terjadi dari biasanya. Periuk memasak bintang biasanya baru akan penuh dan digunakan untuk memasak beberapa bulan sekali. Akhir-akhir ini dalam hitungan minggu periuk tersebut sudah penuh.
Semakin banyak bintang yang jatuh menjadi tanda bahwa langit sedang tidak baik-baik saja. Langit sedang kepanasan. Mungkin ada perang di antara para dewa di atas sana. Mungkin juga alam semesta yang memang sudah tua tidak lama lagi akan jatuh dan sirna.
Setelah matahari pagi mulai muncul di ufuk timur, Cleo menghentikan pekerjaannya. Dia kini mengaso di atas dahan pohon kenari sembari memperhatikan embun-embun yang jatuh dari langit. Sepasang sayapnya yang lembut seperti bulu merpati direntangkan panjang-panjang sehingga hampir menutupi seluruh dahan pohon yang ditempatinya.
Aku tahu harus ke mana untuk menanyakan fenomena ini, batinnya. Aku akan ke Ratu Demelia di bumi selatan. Dia pasti memiliki jawabannya dan tahu apa yang harus kita lakukan.
Ratu Demelia adalah ratu para peri malam yang tinggal di belahan bumi selatan.
Cleo memutuskan untuk berangkat senja nanti. Perjalanan ke sana cukup jauh, jadi dia harus berangkat lebih awal. Dia pun menghentakkan kakinya ke dahan pohon, lalu terbang menembus lebatnya pepohonan. Dia akan beristirahat sejenak di rumah peri yang terletak di salah satu gugus awan-awan.
Tapi sebelum berhasil menembus lebatnya pepohonan, matanya yang tajam menangkap kemilau kecil dari balik rerumputan di bawah sana. Dia sudah sangat mengenal kilau khas dari pecahan bintang-bintang. Rupanya masih ada pecahan bintang yang dilewatkannya.
Dia pun berbalik arah dan terbang kembali ke bawah. Tapi begitu mendekati pecahan itu, dia terkejut. Seorang gadis kecil tahu-tahu muncul dan lebih dahulu memungut pecahan bintang tersebut. Gadis kecil berusia sebelas atau dua belas itu takjub pada benda yang ditemukannya. Bentuknya seperti pecahan gelas kaca, hanya saja cahaya yang dipancarkannya begitu indah.
Cleo mendarat hati-hati sambil tersenyum. Dia memandang wajah gadis kecil yang masih terkagum-kagum. Pakaian gadis kecil itu sederhana, seperti pakaian anak-anak desa pada umumnya. Dia membawa sebuah bakul dari anyaman rotan. Mungkin dia akan mengumpulkan ranting kayu untuk kayu bakar, mengumpulkan jamur atau mencari bahan makanan lainnya.
Dia akan membiarkan pecahan bintang itu menjadi suvenir untuk si gadis kecil. Tapi sebelum kembali terbang, lagi-lagi dia terkejut.
Gadis kecil itu ternyata kini sedang menatapnya lekat-lekat. Mulut dan mata gadis itu terbuka lebar saking terkejutnya.
"Hei, kamu bisa melihatku?" tanya Cleo penasaran. Memang sosok para peri tidak bisa dilihat manusia biasa. Wah, banyak keanehan yang terjadi akhir-akhir ini.
Gadis kecil itu mengangguk pelan-pelan.
"Kamu ... malaikat atau peri?" tanyanya ragu. "... atau hantu hutan?"
Cleo tertawa. "Tentu saja aku bukan hantu. Aku seorang peri. Kamu bisa memanggilku, Cleo. Wah, aku baru bertemu dan bercakap-cakap seperti ini dengan manusia. Siapa namamu, cantik?"
"Kamu beneran peri?" tanya gadis itu lagi.
"Ya, tentu saja. Kalau kamu bisa melihatku berarti kamu juga bisa menyentuhku," Cleo mengulurkan tangannya ke depan gadis itu.
Gadis itu menyentuh tangan Cleo. Setelah berhasil menjabat tangan Cleo, wajahnya menjadi lebih hangat. "Namaku Siera. Rumahku ada di belakang pepohonan itu, ibu Peri Cleo."
Cleo mengangguk-angguk. Senyuman manis masih menghiasi wajahnya.
"Baiklah, Siera. Senang bertemu denganmu. Aku harap pertemuan ini jadi rahasia kita berdua saja ya. Kamu menemukan pecahan bintang yang mestinya aku temukan lebih dulu. Aku seorang peri malam yang bertugas mengumpulkan pecahan-pecahan bintang yang jatuh dari langit. Jadi kamu mau menyimpannya atau memberikannya kepadaku, Siera?"
Siera mengulurkan tangannya yang berisi pecahan bintang itu. "Ibu peri saja yang simpan. Kalau aku membawanya pulang, aku takut tidak bisa menyimpan rahasia kita bertemu seperti ini."
Cleo tertawa lagi, lalu menerima pemberian Siera.
"Baiklah, Siera. Terima kasih banyak ya. Aku harus segera pergi, karena aku tidak begitu tahan dengan sinar matahari seperti kalian. Kapan-kapan kita bertemu lagi. Tapi jangan lupa ... "
Cleo menempelkan telunjuk di depan bibirnya sambil mengedipkan sebelah mata pada Siera. Siera mengangguk dan ikut menempelkan telunjuk di depan bibir sambil tersenyum.
Dengan sekali kepakan sayap, Siera pun melesat tinggi ke atas dan menghilang di balik rimbunnya pepohonan.
Pertemuannya dengan Siera barusan menimbulkan kesan mendalam. Dia tidak sabar ingin menceritakannya nanti pada sesama peri malam, juga Ratu Demelia. Sesampainya di rumah peri, dia kembali terkejut. Di teras rumah sudah ada Ratu Demelia dengan pakaian kebesarannya bersama seorang peri pengawal.
"Ah, Ratu Demelia, mengapa tidak memberi kabar kalau akan berkunjung? Mari masuk ke dalam."
Cleo membuka pintu, meletakkan tasnya, lalu buru-buru menata meja dan kursi untuk kedua tamunya. Ratu Demelia yang anggun tersenyum. "Tidak perlu, Cleo. Aku lebih suka berkunjung seperti ini, supaya tidak membuat kalian para peri kerepotan. Aku juga tidak akan berkunjung lama."
Beberapa saat kemudian, tiga peri itu larut dalam percakapan hangat sambil duduk mengitari meja dan menyesap teh melati yang masih hangat.
"Kamu pasti melihat fenomena langit yang aneh akhir-akhir ini? Bintang-bintang semakin sering berguguran." Ratu Demelia membuka percakapan yang lebih serius.
"Benar sekali, Ratu. Aku sebenarnya baru akan berkunjung ke selatan untuk menanyakannya langsung. Apa yang terjadi di atas sana ya? Apa ada perang di antara para Dewa?"
Ratu meletakkan cangkir tehnya sambil menggeleng.
"Bukan, Cleo. Sayang sekali, ini asalnya dari bawah. Dari bumi para manusia."
Cleo mengernyitkan kening kebingungan. "Mengapa bisa?"
Pengawal ratu meletakkan bola kristal ke tengah meja. Dari dalam bola terlihat aneka pemandangan berbagai belahan bumi silih berganti.
"Manusia-manusia di bawah sana semakin tidak peduli pada alam," ucap Ratu Demelia. "Mereka berpikir mereka-lah penguasa bumi, langit dan lautan sehingga memperlakukan alam semena-mena. Lihat apa akibatnya? Hutan dan pepohonan berkurang jumlahnya, tanah menjadi tandus dan gersang, lautan tercemar, udara mengandung racun, banyak hewan-hewan yang kehilangan rumah. Bumi semakin panas, sehingga langit pun ikut merasakan hawa panas itu. Jika kita para peri tidak melakukan sesuatu, keadaan akan semakin parah."
"Betul sekali, Ratu. Yang aku takutkan, jumlah bintang yang berguguran akan lebih banyak dari yang mampu kita lahirkan lagi dari asap-asap periuk bintang kita," sahut Cleo. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ratu?"
"Kita ikut bertanggungjawab menjaga keseimbangan alam semesta, Cleo, jadi kita harus mulai memberitahu manusia-manusia itu mengenai keseimbangan ini. Bagaimana sebaiknya mereka memperlakukan alam dengan baik, agar alam pun memperlakukan mereka dengan baik. Kita semua punya pengetahuan itu. Masalahnya adalah ... "
"Kita tidak bisa bercakap-cakap dengan manusia seperti ini. Kita tidak kasat mata bagi mereka," sambung Cleo.
Ratu Demelia mengangguk. Tapi dia lalu meneruskan ucapannya dengan intonasi yang lebih kecil, seperti akan memberitahukan sebuah rahasia penting, "Sebenarnya, ada satu, dua, tiga orang manusia yang mampu melihat dan bercakap-cakap dengan kita. Mereka yang memiliki hati yang tulus dan pikiran yang lurus."
Cleo kini bimbang apakah akan menceritakan pengalaman barusan atau tidak.
"Tugas kita adalah menemukan manusia-manusia seperti itu. Kita bisa mulai mengajarkan keseimbangan alam dari mereka ini. Jadi mungkin sebaiknya kamu harus lebih sering mengumpulkan pecahan bintang saat manusia masih terjaga, Cleo. Lalu amati mereka satu per satu."
Cleo mengangguk. Dia teringat lagi pada jari telunjuk di depan bibir Siera, jadi dia memutuskan untuk sementara menjaga rahasia pertemuannya.
"Itu yang hendak kami sampaikan, Cleo," Ratu Demelia dan peri pengawal berdiri, pertanda akan bersiap-siap pergi. "Jangan ragu memberitahu kami jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu."
"Baik, Ratu Demelia. Terima kasih banyak sudah berkunjung ke rumah yang sederhana ini," sahut Cleo.
Tidak lama kemudian Ratu dan pengawalnya berpamitan dan pergi ke tempat lain menggunakan portal sihir yang biasa digunakan para pemimpin kaum peri.
Setelah menuangkan pecahan bintang yang dikumpulkannya ke dalam periuk raksasa di belakang rumah, Cleo bersandar ke kursi sambil membayangkan wajah polos Siera. Ya, sebagai peri malam, dia mungkin bisa melakukan misi besarnya menjaga keseimbangan alam semesta dimulai dari gadis mungil itu.
---Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H