Adam mengurungkan langkahnya.
"Mengapa di kuburan? Mereka semua sudah mati, bukan? Mengapa tidak di antara manusia-manusia yang masih hidup seperti kebiasaan pengantin-pengantin bunuh diri lainnya?"
Adam tersenyum hambar. Ya, ini bisa jadi awal percakapan panjang mereka.
"Buat apa lagi tuan ...."
"Panggil saja Terra," sahut malaikat penjaga.
"Buat apa lagi, Tuan Terra. Bukankah manusia-manusia itu sudah meledakkan dirinya sendiri berkali-kali? Mereka semua punya detonator sendiri bernama benci, dendam dan amarah. Aku pernah mengalaminya, Tuan Terra."
Terra, sang malaikat penjaga tertegun namun tetap mendengarkan. "Lanjutkan..."
"Ya. Aku penuh dengan amarah, kebencian dan dendam. Hampir setiap hari aku meledak karena menyimpan perasaan-perasaan itu. Percayalah, Tuan, bukan itu yang menyakitkan. Bagian yang paling sulit dan menyakitkan adalah, aku harus mengumpulkan keping demi keping diriku yang sudah tercerai-berai lalu menyatukannya kembali seperti semula.Â
Bayangkan, Tuan. Jadi aku tidak menyesal memilih jalan ini, meledakkan diriku dalam arti yang sebenarnya, agar aku tidak perlu menderita lebih lama lagi. Mengapa di tengah-tengah mereka yang sudah mati? Katakanlah, aku membuat semacam pesta selamat datang untuk diriku sendiri, Tuan Terra. Mungkin mereka akan lebih menyukaiku nanti."
Setelah penjelasan panjang itu malaikat Terra mengangguk-angguk kecil.
"Aku nyaris menaruh simpati padamu, Tuan Adam. Tapi... keputusan sudah final. Silakan, pintu 7C," ucapnya sembari mengangkat tangan ke arah jejeran pintu.