---
Matahari masih mengintip malu-malu, saat Elon melajukan mobilnya menelusuri jalanan kota yang masih lengang. Biasanya kedai nasi kuning Opa Hans baru buka jam 6 pagi. Tapi karena jaraknya masih cukup jauh dari rumah, Elon harus bergegas lebih awal. Nasi kuning Opa Hans juga selalu ramai oleh pembeli. Dia tidak ingin terlalu lama mengantre karena tiba kesiangan.
Prediksi Elon tidak meleset. Sesampainya di kedai waktu sudah menunjukkan pukul 6.10. Pembeli sudah mulai berdatangan, baik yang membungkus atau makan di tempat.
Aroma nasi kuning yang khas, santan berpadu dengan kunyit, padan dan sereh menguar tajam. Siapapun yang menghirup aroma itu, pasti langsung terbayang gurihnya nasi kuning di atas piring. Opa Hans menggunakan ruko yang tidak terlalu besar sebagai kedai nasi kuningnya. Di depan ruko ada gerobak saji, tempat melayani pesanan. Di situ sudah antre beberapa pembeli yang menunggui pesanannya diracik. Pembeli yang ingin makan di tempat bisa langsung masuk ke dalam ruko, di antara kursi dan meja yang tersedia di sana.
Elon buru-buru menghampiri gerobak saji nasi di depan ruko. Para pembeli dilayani oleh dua lelaki. Yang satu anak muda berusia 20-an tahun, sedangkan yang satu lagi terlihat sudah cukup tua, dari postur dan gurat wajahnya, juga rambut putih peraknya yang sudah menipis. Tapi walaupun sudah cukup berumur, tangannya masih terampil menyendok nasi kuning dan aneka lauk ke dalam piring-piring pembeli. Lelaki tua itu tidak lain adalah sosok Opa Hans yang masih setia melayani pembelinya.
Elon beruntung, begitu gilirannya tiba, Opa Hans langsung yang melayaninya. Opa Hans langsung tersenyum hangat sambil menanyakan pesanannya. Dia sudah kesulitan menghafal nama pelanggannya satu per satu, tapi wajah-wajah pelanggan tetap bisa diingatnya dengan mudah.
"Nasi campur komplit satu, Opa. Ng... ini yang pesan mamanya Hery ..."
Opa Hans terdiam sejenak lalu tertawa sambil menepuk bahu Elon. Seperti ada lampu di kepalanya yang tiba-tiba menyala sehingga wajahnya jadi lebih cerah.
"Saya ingat sekarang. Kamu cucunya, kan? Anaknya Melia?"
Elon membenarkan sambil ikut tersenyum.
"Siap! Saya sudah hafal selera Oma kamu," sambung Opa Hans lagi. Lalu tangannya bergerak melapisi kertas nasi dengan potongan daun pisang. "Oma sehat-sehat, Nak? Sudah lama kami tidak bertemu."
Ekspresi Elon berubah. "Oma lagi sakit ... "
Kesibukan Opa Hans terhenti tiba-tiba. "Oh ya? Sakit apa? Sudah lama sakitnya?"
"Mm.. sudah seminggu ini,"
Melihat ekspresi Elon itu, Opa Hans memberi isyarat kepada pegawainya untuk mengambil alih menangani pembeli. Setelah itu dia mengajak Elon masuk ke dalam ruko agar bisa bercerita lebih jelas. Di salah satu meja, mereka duduk bercakap-cakap. Elon bercerita kondisi Omanya mulai dari awal sakit sampai malam tadi Oma tiba-tiba memesan nasi kuning. Padahal selama ini makanan yang halus seperti bubur saja susah sekali dihabiskan. Makanya mereka semua jadi bingung dan sedih.
Dari air mukanya Opa Hans juga terlihat sedih dan prihatin mendengar berita itu.
"Elon, nanti siang saya ke rumah untuk menjenguk Oma ya. Sekarang saya buatkan dulu pesanannya. Mudah-mudahan Oma bisa lekas sehat lagi. Kamu jangan pikir aneh-aneh dulu ya, harus tetap berpikir yang terbaik!" Opa Hans mencoba memberi semangat pada Elon.
Tidak lama kemudian, mereka kembali beranjak ke depan ruko dan Opa Hans kembali meracik nasi kuningnya.
Dia menyendok nasi kuning yang masih mengepul dari wadah besar ke atas kertas nasi yang sudah dialasi daun pisang tadi. Setelah itu Opa Hans mulai menyendok satu per satu lauk teman nasi kuning. Yang pertama telur rebus dan daging toppa lada. Toppa lada ini seperti rendang, hanya saja waktu masaknya lebih singkat dan rasa cabainya lebih terasa. Lalu sedikit mi goreng dan irisan tipis-tipis kentang kering yang diberi bumbu bawang merah.
"Biasanya Oma pakai paru, Elon."
Elon mengiyakan.
Opa Hans pun mengambil mangkok berukuran sedang di laci atas gerobak berisi paru. Paru yang dimaksud adalah paru sapi goreng. Paru sapi yang sudah dipotong-potong dimasak setengah matang terlebih dahulu. Setelah itu dimasak kembali dengan air asam jawa ditambah bumbu-bumbu seperti sereh, daun salam, ketumbar dan gula merah. Setelah masak, paru kemudian digoreng garing sampai berubah warna menjadi coklat tua. Paru goreng ini memang menambah cita rasa tersendiri pada sajian nasi kuning.
Terakhir, Opa memasukkan abon sapi dan sesendok sayur labu siam tumis. Labu siam ini adalah salah satu karakter nasi kuning khas Makassar. Setelah lauk pauknya lengkap, Opa Hans pun membungkus rapi-rapi nasi kuningnya, memasukkan ke dalam plastik bersama sambal yang sudah diracik terpisah  lalu menyerahkannya ke tangan Elon. Dengan lauk sekomplit itu, kisarannya harga nasi kuning biasanya 25-30 ribu rupiah per porsi.
Elon pun menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. Tapi Opa Hans mengangkat telapak tangannya. "Ini Opa kasih ke Oma kamu, Elon. Tidak perlu bayar ya," ucapnya.
Elon sedikit terkejut, tapi kemudian membungkuk hormat. "Terima kasih banyak ya, Opa."
Elon pun pamit dan bergegas kembali ke rumah.
Wangi nasi kuning dan lauk pauknya yang khas langsung memenuhi kamar Oma Sara, begitu nasi kuning itu dibuka dan diletakkan di atas piring makan. Oma Sara yang sudah pada posisi duduk di samping tempat tidur nampak senang dengan pemandangan itu. Dia tersenyum, walau wajahnya masih nampak lemah.
"Kamu sudah hafal selera Oma," ucapnya pada Elon.Â
"Opa Hans yang hafal, Oma. Nah, Oma makan yang banyak ya, biar cepat sehat lagi," timpal Elon. Di situ juga ada Melina, mamanya, dan om Hery. Wajah mereka semua lebih hangat melihat semangat Oma.
Tidak lama berselang, suami Melina masuk dengan pakaian rapi untuk pamit pada semuanya. Oma pun teringat sesuatu lalu menegur Elon.
"Elon, kamu tidak masuk kerja? Kok belum siap-siap?"
"Iya, iya. Sebentar lagi."
"Udah sana kalau gitu. Itu papa kamu saja sudah siap. Nanti terlambat kamu."
"Iyaa," sahut Elon lalu pamit pada mama dan omnya untuk siap-siap ke kantor.
Elon tadinya berencana menunggui Oma makan untuk memastikan Oma bisa makan dengan lahap. Tapi semua orang tahu kalau Oma sudah komando seperti itu, mending jangan didebat. Bisa panjang buntutnya, apalagi pagi ini Oma semangatnya sedang bagus. Jangan sampai rusak oleh hal-hal sepele.
***
Hari itu terasa berjalan lebih panjang. Elon harus menghadiri dua meeting berturut-turut. Juga ada kerjaan yang mengharuskannya lembur. Saat makan siang dia hanya sempat menanyakan kabar Oma lewat pesan ke ibunya. Syukurlah, Oma pagi tadi makan dengan lahap. Ibunya juga mengabarkan siang ini Opa Hans datang menjenguk.
Menjelang maghrib, Elon masih sibuk memeriksa beberapa dokumen. Besok rapat mereka akan berlanjut dan giliran timnya yang akan melakukan presentasi. Jadi dia benar-benar harus mempersiapkan materi dengan baik. Merasa baru akan pulang satu dua jam ke depan, dia pun bermaksud memberi kabar ke mamanya lewat telepon.
Nada sambung yang berbunyi cukup lama tanpa jawaban membuatnya mengernyitkan kening. Tidak biasanya Mama lambat mengangkat telepon. Dia pun menghentikan panggilannya. Lalu mengulanginya kembali dua menit kemudian. Masih sama seperti tadi, panggilannya tidak kunjung dijawab. Kekhawatiran kembali mengisi benaknya. Bayangan tentang nasi kuning terakhir kembali muncul.
"Halo, Elon..."
Hhh, syukurlah mama menjawab panggilannya. Mama? Ini bukannya suara Oma?
"Oma? Mama ke mana?"
"Mamamu lagi beres-beres di dapur. Baru seminggu ini Oma tinggal itu dapur sudah kayak kapal pecah. Jadi Oma suruh mama sama om tante kamu bagi tugas. Ada yang membersihkan, ada yang masak makan malam. Kamu belum pulang, Elon?" suara Oma terdengar lebih ringan.
"Lagi lembur, Oma. Oma... kok Oma yang pegang HP mama? Oma sudah sehat?"
"Iya, HP mamamu ini ditaruh di atas lemari TV. Oma sudah bisa bangun dan jalan-jalan ini. Jadi ... kamu tidak makan malam di rumah? Kalau bisa disempatkan makan malam di rumah, Elon, mumpung kita lagi kumpul-kumpul."
Elon baru akan menjawab 'tidak sempat' tapi semangatnya yang naik membuatnya berubah pikiran. Kerjaan dibawa pulang saja.
"Iya, Oma. Elon makan malam di rumah. Sebentar lagi pulang."
Setelah telepon ditutup, Elon langsung membereskan pekerjaannya. Tidak butuh waktu lama setelah itu, dia sudah meninggalkan kantor.
Oma benar-benar sudah lebih bugar dari pagi tadi. Kehidupan kembali bersinar di matanya. Gayanya yang khas, detail dan cerewet kembali muncul. Tidak ada hal kecil yang tidak dikomentari. Buku yang tidak dikembalikan ke tempat semestinya, air akuarium yang mulai keruh, ikan yang digoreng terlalu masak dan seterusnya. Tapi itulah Oma. Malah ini yang membuat Elon dan keluarganya semakin lega.
Malam itu mereka semua makan dengan gembira. Seperti biasa kalau Oma dan anak-anaknya sudah berkumpul, kisah-kisah di masa lalu pun diputar kembali, baik itu kisah yang lucu, bahagia atau sedih. Mereka kadang saling ledek sampai biasa harus ditengahi oleh Oma.
Dan seperti biasa pula, Elon cukup jadi pendengar dan komentator saja. Dia sudah belajar, kalau reuni seperti ini lebih baik menanggapi biasa-biasa saja. Soalnya salah ngomong sedikit, pembicaraan bisa seketika berbelok dan dia kembali dicecar pertanyaan-pertanyaan klise seperti sudah punya pacar belum, kapan rencana nikah? dan seterusnya. Jadi lebih baik main aman.
Saat malam sudah larut dan semua orang, termasuk Oma kembali ke kamar masing-masing. Elon menyempatkan diri ngobrol bersama mamanya yang sedang berleha-leha di sofa di ruang tengah sambil menonton TV. Dia masih penasaran apa sebenarnya yang membuat Oma seperti tiba-tiba sehat kembali.
"Persisnya mama juga tidak tahu. Tapi tadi mama perhatikan setelah Opa Hans berada di rumah ini, Oma jadi seperti berubah begitu."
Elon memicingkan mata. Kalau tidak salah Opa Hans kan juga sudah lama ditinggal mati istrinya. "Jangan-jangan ..."
"Mama belum pernah cerita, ya," sambung Melia lagi. "Dulu itu Oma kamu pernah cerita sama mama kalau Opa Hans itu sebenarnya cinta pertama Oma saat mereka masih SMA. Tapi cerita tentang itu duluuu sekali. Mama juga masih seumuran kamu. Sayangnya mereka tidak bisa lanjut, karena Opa Hans kuliah dan kerja cukup lama di Jakarta. Saat kembali ke Makassar mereka sudah punya keluarga masing-masing."
"Bisa jadi ya, Ma. Tapi apa iya, Oma masih punya rasa sama Opa Hans? Mereka sudah tua begitu."
"Huss...! Namanya juga cinta, isi hati orang. Siapa yang tahu? Isi hati kamu, anak mama sendiri saja mama tidak tahu. Apa sudah ada anak orang yang diincar-incar? Atau bagaimana."
"Hmm... mama mulai!," sungut Elon. Melia pun terkekeh karena berhasil menggoda anak semata wayangnya itu.
Setelah membiarkan mamanya tertawa puas, Elon pamit duluan ke kamar soalnya dia masih harus menuntaskan pekerjaanya.
Sudah berhari-hari penghuni rumah itu tidak bisa tidur pulas seperti biasanya. Malah malam kemarin kekhawatiran "nasi kuning terakhir" muncul di benak para anak dan cucu. Jadi, semoga malam ini alam semesta menebarkan kedamaian dan kehangatan ke atas rumah Oma Sara.
---
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H