Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kisah di Antara Halte dan Hujan

28 Oktober 2022   12:34 Diperbarui: 28 Oktober 2022   12:37 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh Pexels dari pixabay.com

Hujan di bawah purnama masih terus mengguyur kota dengan deras. Suhu udara dingin menggigit. Di bawah atap halte bus, Vi merapatkan sweater-nya mencoba menghalau udara dingin itu jauh-jauh. Kembali diliriknya angka waktu di layar gawai. Sudah pukul 8.10 sekarang.

Belum terlalu larut, tapi jalanan di depan halte sudah lengang. Mungkin karena tidak ada yang mau berlama-lama di bawah guyuran hujan ini. Gadis tomboy itu mendengus kesal.

Raul sudah terlambat 10 menit dari waktu janjian mereka di tempat itu. Tanpa kabar dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Vi memutuskan untuk menunggu 10 menit lagi. Bus kota terakhir menuju ke arah rumahnya akan melintas di sekitar waktu itu. Jika Raul belum muncul, dia memilih pulang dan menghempaskan diri di atas kasur sampai pagi.

Iseng-iseng dia mengulurkan tangannya ke bawah hujan yang jatuh dari atap halte. Tiba-tiba senyumnya tersungging. Ingatannya berlari jauh. Pertemuan pertamanya dengan Raul juga terjadi saat hujan menggila seperti ini.

Saat itu mereka berdua baru selesai melakukan transaksi di salah satu bank. Hujan deras membuat mereka "terperangkap" di areal ATM di teras bank tersebut. Sapa awal dari Raul terjadi karena melihat kartu ATM yang tergeletak di lantai. Raul memungut kartu ATM dan menyerahkannya ke Vi karena berpikir itu kartu miliknya. Tapi rupanya bukan. Nasabah lain yang baru masuk ke ATM center yang menjatuhkannya. Tapi kisah sederhana itu sukses mengawali persahabatan mereka.

Sinetron Korea dan liga Inggris. Dua hal inilah yang mempererat persahabatan mereka. Wah, mereka bisa ngobrol berjam-jam tanpa bisa distop kalau topiknya dua hal itu. Satu lagi, dua-duanya penggemar alpukat. Jadi kalau lagi hangout, menu minuman mereka pasti tidak jauh-jauh dari kehadiran alpukat entah itu dijus, dijadikan es buah atau di-mix dengan kopi.

Lima menit berlalu. Vi mencoba menghubungi kembali nomor Raul, tapi masih tetap di luar jangkauan. Tidak biasanya Raul melewatkan waktu janjian. Selalu ada kabar sebelumnya jika dia akan terlambat.

Halte di jalan Mawar ini sudah jadi saksi bisu pertemuan demi pertemuan mereka. Kantor Vi dan Raul berjauhan letaknya. Yang satu di ujung utara kota yang satu lagi di ujung selatan. Jadi jika ingin ketemuan mereka memang suka membuat janji di halte yang posisinya di tengah kota ini. Masing-masing naik bus sesuai jurusan dari kantor masing-masing dan ketemunya di halte ini.

Setelah itu tergantung kesepakatan. Ketemuan untuk sekadar jalan-jalan, nonton film terbaru atau ngobrol ngalor ngidul di kedai kopi.

Delapan menit berlalu.

Ada apa dengan Raul ya? Jangan-jangan dia kenapa-kenapa? batin Vi.

Dia tiba-tiba ingat masih menyimpan nomor Andra, teman satu kost Raul. Dia pun bergegas mengeluarkan gawai dari saku sweater dan melakukan panggilan ke nomor Andra.

"Loh, bukannya Raul sama kamu, Vi?" balas Andra dari seberang setelah Vi mengucapkan salam dan menanyakan keberadaan Raul.

"Emang rencananya mau ketemuan, Dra. Tapi dari tadi ditunggu belum muncul-muncul nih. HPnya juga mati," sahut Vi setengah berteriak untuk mengalahkan suara hujan.

"Oh gitu. Jadi gimana? Aku bantu cek ke teman-teman atau gimana, Vi?"

"Ng... mungkin gak usah dulu Dra. Siapa tahu HP-nya low batt. Aku tunggu lagi sebentar."

"Oke kalu gitu. Kalau ada apa-apa telepon, ya."

"Sipp, Dra. Bye..."

Mereka mengakhiri percakapan. Vi mulai gelisah tapi tetap berusaha untuk menjauhkan kepalanya dari  pikiran aneh-aneh.

Sudah 10 menit. Dari tirai hujan yang masih rapat, Vi bisa melihat sorot lampu bus kota dari kejauhan. Busnya sebentar lagi tiba. Vi mulai kebingungan.

Suara gemuruh halus mesin lainnya terdengar mendekat. City car berwarna merah gelap berhenti di depan halte. Pintu belakang terbuka dan dari dalam seorang cowok berkemeja biru gelap berlari menerobos hujan menuju ke halte. Ada buket bunga di tangan kanannya.

"Raul!" seru Vi.

Mobil yang ditumpangi Raul kembali bergerak maju dan menghilang di antara rinai hujan.

"Duh, Vi, maaf sekali ya. Kamu gak kenapa-kenapa?" sahut Raul sembari menyibak air hujan yang tinggal di rambut dan bahunya.

"Yee, mestinya aku yang nanya begitu. HP kamu mana sih?"

Raul tersenyum pahit sambil mengeluarkan gawai dari saku celananya.

"Mati total, Vi. Tidak sempat di-recharge tadi, mana tidak bawa power bank lagi."

"Terus kamu dari mana saja?" cecar Vi sengit.

"Aku tadi cari toko bunga yang masih buka, makanya lama. Ini buat kamu ..."

Hidung Vi kembang kempis. Dia tersipu-sipu karena di hadapannya, Raul menyodorkan satu buket kembang Camelia berwarna merah jambu.

"Buat apa ini? Tumben?" Vi menerima bunga itu dan berusaha menyembunyikan perasaannya.

Raul tersenyum lagi. "Kita sudah berteman... delapan bulan. Aku mau lebih dari itu, Vi. Aku cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu. Aku takut kamu tidak mau membuka hati lagi sama cowok lokal seperti aku, gara-gara terlalu bucin sama Lee Min Ho,"

Vi pun terkekeh.

"Kamu mau gak jadi pacar aku?" sambung Raul lagi.

Vi terdiam sejenak. Tapi rona bahagia di wajahnya sudah memberikan jawaban sejernih kristal untuk Raul. "Iya, aku mau, Raul. Aku juga cinta sama kamu," sahut Vi lirih. Keduanya lalu larut dalam pelukan mesra dan hangat. Bahkan dinginnya udara tidak akan bisa mengusir kehangatan itu.

Terdengar suara rem angin dari bus kota yang berhenti di depan halte. Mereka melepaskan pelukan.

"Pulang ke rumahku yuk," pinta Vi manja.

"Loh, tidak jadi makan-makan?"

"Ng... jadi. Tapi lokasinya pindah ke rumah. Aku mau masak yang spesial buat kamu. Tomboy-tomboy gini aku juga bisa masak loh."

Raul menatap tak percaya.

"Serius, Vi? Eh, sayang. Serius kamu bisa masak? Ayuk kalau gitu. Mau masak apa?"

Vi menggandeng tangan Raul lalu keduanya bergegas masuk ke dalam bus.

"Mi instan.... Hehe,"

Raul menutupi wajahnya dengan gaya lucu.

"Tapi kan dimasak dengan penuh cinta."

"Iya.. iya." Keduanya kini duduk manis. Vi menyandarkan kepalanya di lengan Raul yang kokoh.

"Eh, mama papa kamu ada?"

"Iya. Oh ya, papa tuh cari-cari kamu loh untuk tanding catur lagi. Hanya aku selalu bilang kamu sibuk. Kayaknya masih penasaran, gara-gara main terakhir itu kalah melulu."

Keduanya lalu tergelak.

"Masih sih?" ucap Raul. "Nanti aku ngalah deh kalau gitu. Masa mau menang sendiri dari calon mertua,"

Vi tertawa lagi sambil mencubit mesra perut Raul.

Bus yang membawa mereka pun menghilang ditelan hujan yang semakin deras. Satu kisah manis telah dimulai. Hujan yang sudah mempertemukan mereka, apakah hujan juga yang akan menyatukan? 

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun